Oleh Amirullah
Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Berbagai kasus penegakan hukum di Provinsi Kalimantan Timur, menjadi sorotan masyarakat pada 2011.
Kematian seorang anak polisi, Ramadhan atau yang dikenal Madan, menyisakan keprihatinan yang mendalam.
Pasalnya, anak polisi tersebut dicurigai tewas di kantor Polresta Samarinda pada Minggu pagi (16/10) setelah ditangkap karena diduga terlibat jaringan pelaku pencurian kendaraan bermotor.
"Anak polisi saja bisa diperlakukan seperti itu, apalagi masyarakat umum," kata paman Madan, La Bia.
Namun, keluarga Madan sedikit bisa bernafas lega setelah Polda Kaltim menyerat lima oknum polisi yang diduga melakukan penganiayaan hingga menyebabkan tewasnya siswa kelas II sebuah SMA di Samarinda itu.
"Lima oknum polisi telah kami tetapkan tersangka karena diduga telah melakukan penganiayaan terhadap para tersangka curanmor termasuk Madan. Kasus ini telah ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kaltim karena kelima oknum polisi tersebut akan diproses ke peradilan umum," ungkap Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Kaltim, Komisaris Besar Anthonius Wisnu Sutirta.
Namun, penetepan lima oknum polisi tersebut tidak serta-merta membuat keluarga Madan puas.
"Kami menuntut agar polisi transparan pada proses penyidikan tewasnya anak kami (Madan), sebab kami mensinyalir adanya upaya menghilangkan barang bukti yang digunakan pelaku menganiaya Madan," ungkap La Bia.
Belum tuntas kasus Madan, Kaltim kembali menjadi sorotan oleh putusan bebas hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda terhadap 15 anggota DPRD Kutai Kartanegara.
Sebanyak 15 anggota DPRD Kutai Kartanegara divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda terkait dugaan korupsi dana operasional DPRD Kutai Kartanegara pada 2005 senilai Rp2,6 miliar.
Pada sidang yang berlangsung Senin (31/10) Majelis Hakim Pengadilan Tipikor membebaskan empat anggota DPRD Kutai Kartanegara nonaktif yakni, Suriadi, Suwaji, Sudarto dan Rusliadi karena dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan JPU.
Kemudian pada Selasa (1/11) Pengadilan Tipikor kembali menvonis bebas Ketua DPRD Kutai Kartanegara nonaktif, Salehuddin serta dua anggota DPRD lainnya yakni, Abubakar Has dan Abdul Sani.
Pada Rabu (2/11) Majelis Hakim menvonis bebas Asman Gilir, Abdul Rahman serta Mus Muliadi.
Kemudian, Pengadilan Tipikor Samarinda kembali membebaskan empat anggota DPRD Kutai Kartanegara nonaktif yakni Sutopo Gasif, Saiful Aduar, Idrus Tanjung dan Mahdalena.
Majelis Hakim berpendapat, anggota DPRD Kutai Kartanegara nonaktif tersebut tidak terbukti melanggar dakwaan primer JPU.
Dakwaan JPU, yakni pasal 2 Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambahkan ke dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait unsur menyalahgunakan wewenang atau jabatan dan dakwaan subsider pasal 3 junto pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 terkait memperkaya diri sendiri junto pasal 55 dan 56 KUH-Pidana.
Terakhir, pada 21 November 2011 Wakil Ketua DPRD Kutai Kartanegara nonaktif, Marwan, juga divonis bebas.
Vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan Tipikor Samarinda tersebut, memunculkan beragam pendapat.
"Hakim Tipikor merupakan hakim 'adhock' dan pada proses pendaftarannya saja sudah bermasalah sehingga saya kurang sependapat jika pengadilan Tipikor yang dibubarkan sebab yang mengambil keputusan yang dinilai bermasalah adalah hakimnya dan bukan lembaga peradilannya," ungkap Pengamat Hukum Kaltim, Prof Sarosa Hamongpranoto, M Hum, SH.
Lembaga peradilan Tipikor masih dibutuhkan karena kualitas dan kuantitas korupsi di daerah cenderung terus meningkat, katanya.
"Keberadaan pengadilan Tipikor di daerah sangat diperlukan sebab tidak semua kasus koruspi harus diselesaikan di Jakarta. Pengadilan Tipikor hanyalah wadah sehingga jika ada keputusan yang dianggap salah, bukan pengadilannya yang mesti dibubarkan," kata mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Mulawarman itu.
Vonis bebas terhadap 15 anggota DPRD Kutai Kartanegara nonaktif pada Pengadilan Tipikor tersebut kata Sarosa Hamongpranoto belum 'inkrah' (belum memiliki kekuatan hukum tetap) sehingga prosesnya masih panjang.
"Vonis tersebut tidak ada masalah sebab masih harus diuji setelah jaksa menyatakan banding dan dari hasil pengujian Mahkamah Agung tulah bisa dilihat apakah keputusan yang diambil hakim itu salah atau tidak, ujarnya.
"Jadi, vonis tersebut bukan keputusan final sehingga masyarakat tidak perlu menanggapi secara negatif dengan menuntut pembubaran Pengadilan Tipikor," kata Sarosa menambahkan.
Dia menilai bahwa hakim pengadilan Tipikor harus memiliki kompentensi dan pengalaman yang cukup untuk memimpin sebuah proses persidangan tindak pidana korupsi .
"Hakim Tipikor harus melalui proses yang panjang dan bukan setelah dinyatakan lulus kemudian mendapat SK langsung menjadi hakim Tipikor," ujar Sarosa.(*)
Pembantaian Orangutan
Akhir September 2011, perhatian masyarakat yang tidak hanya di Kaltim bahkan hingga ke tingkat nasional dan internasional kembali tertuju pada dugaan kasus pembantaian puluhan Orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Berita di salah satu koran harian di Kaltim membeberkan dugaan pembantaian orangutan tersebut yang diduga dilakukan atas kebijakan sebuah perkebunan kelapa sawit milik Malaysia.
PT. Khaleda Agroprima Malindo, dituding melakukan pembantaian orangutan kurun waktu 2008-2010.
"Indikasi pembantaian orangutan itu memang ada menyusul kebijakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengkategorikan primata tercerdas setelah gorila dan simpanse itu sebagai 'hama' yang harus dibasmi," ungkap Peneliti dari Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman, Yaya Rayadin.
Doktor Ekologi dan Konservasi Satwa Liar itu mengasumsikan, satu ekor orangutan memiliki dayak rusak hingga 100 tanaman sawit yang berumur dibawah satu tahun.
"Perspektif perusahaan perkebunan sawit didasarkan atas dayak rusak satu ekor orangutan yang mampu menghabiskan 30-50 tanaman sawit sehingga jika diasumsikan satu pohon sawit berusia dibawah satu tahun tersebut harganya Rp20 ribu maka satu individu orangutan memberikan kerugian hingga Rp600-Rp1 juta per hari," katanya.
Terjadinya konflik antara orangutan dengan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit itu dikarenakan, tergusurnya habitat orangutan akibat konversi lahan yang dilakukan tanpa perencanaan konservasi orangutan.
"Tanpa disadari, pihak perusahaan telah menghilangkan sumber pakan bagi orangutan sehingga menjadikan kelapa sawit sebagai pakan primata itu," ungkap Yaya Rayadin.
Bagi masyarakat Kecamatan Muara Kaman, selama ratusan tahun tidak pernah terjadi konflik dengan orangutan.
"Selama ini, masyarakat tidak pernah merasa terganggu oleh orangutan, begitupun sebaliknya sehingga saya tidak pernah mendengar ada warga yang memburu apalagi membunuh orangutan," ungkap Kepala Seksi Trantib Kecamatan Muara Kaman, Arsil.
Kepala Desa Puan Cepak Kadir mensinyalir, pembunuhan orangutan oleh warga tersebut berdasarkan kepentingan perusahaan sawit yang beroperasi di desa itu.
"Saya mendapat informasi kalau warga dibayar per ekor untuk membunuh orangutan itu. Namun, saya tidak tahu berapa nilainya tetapi saya menduga warga melakukan itu karena kepentingn perusahaan. Saat ini populasi orangutan yang tersisa sekitar 10 ekor," ujar Kadir.
Setelah sempat menjadi polemik, polisi akhirnya berhasil menangkap dua orang karyawan PT. Khaleda Agroprima Malindo dan menetapkannya menjadi sebagai tersangka.
Tidak hanya itu, polisi kembali menangkap dan menetapkan Manajer PT Khaleda Agroprima Malindo (PT KAM) berinisal P serta karyawan lainnya berinisial W sebagai tersangka.
Namun, pembantaian orangutan itu ternyata tidak hanya terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara setelah terungkap kasus serupa di sebuah areal perkebunan sawit di Kutai Timur.
Pada 1 Desember, Polres Kutai Timur juga menetapkan dua karyawan PT. SRS, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur terkait pembantaian satu ekor orangutan.
Lagi-lagi kasus pembantaian orangutan kembali terungkap setelah polisi pada 15 Desember 2011 menangkap tiga karyawan perusahaan perkebunan sawit di Kecamatan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur terkait pembantaian orangutan.
"Pada 15 Desember 2011, kami berhasil menangkap tiga orang terkait dugaan pembantaian orangutan. Ketiga orang tersebut merupakan karyawan PT CPS. Sementara, satu pelaku berinisial Ij masih dalam pencarian," ungkap Kasat Reskrim Polres Kutai Timur, Ajun Komisaris Sugeng Subagyo.
Ketiga karyawan PT. CPS yang diamankan dan telah ditetapkan tersangka itu kata Sugeng Subagyo yakni, Tj (60) warga Desa Kelinjau Ulu, Kecamatan Muara Ancalong, Tl (56) Mandor Bantu Tebas PT CPS warga Kampung Ilir serta Rh (57) juga warga Desa Kelinjau Ulu, Kecamatan Muara Ancalong.
"Berdasarkan hasil penyelidikan dan keterangan para tersangka, pembantaian orangutan itu diduga dilakukan di Blok F Divisi II PT CPS di Muara Ancalong pada Kamis, 27 Mei 2011 sekitar pukul 16.00 Wita, kemudian orangutan itu dikuburkan pada Jumat (28/5) di areal perkebunan kelapa sawit tempat ketiganya bekerja" katanya.
"Pembantaian itu dilakukan dengan cara, tersangka Tj terlebih dahulu menombak orangutan itu menggunakan kayu yang telah diruncingkan dan mengenai bagian perut kemudian Tl dan Rh membacok orangutan tersebut dengan sebilah parang hingga tewas," ungkap Sugeng Subagyo.
Selain menangkap ketiga karyawan PT CPS tersebut, polisi juga lanjut dia berhasil menyita kerangka orangutan yang telah dikuburkan di areal PT CPS serta parang yang digunakan membacok.
"Kami masih terus mendalami kasus ini terkait kemungkinan keterlibatan Asisten Divisi I PT CPS, berinisial SW sebab berdasarkan keterangan ketiga orang yang telah kami amankan tersebut, setelah membantai orangutan itu kemudian dilaporkan ke SW. Namun, Asisten Divisi I PT. CPS membantu memerintahkan pembantaian tersebut tetapi dia mengakui memerintahkan menguburkan terhadap orangutan," kata Sugeng Subagyo.
Duka di Bumi Mulawarman
Sabtu, 26 November sekitar pukul 16. 30 Wita, perhatian masyarakat kembali tertuju di Tenggarong, ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara akibat runtuhnya jembatan yang menjadi kebanggaan Kaltim tersebut.
Tak satupun warga yang menyangka, Jembatan Kartanegara yang baru berusia 10 tahun tersebut tiba-tiba ambruk dan menewaskan 23 orang dan hingga saat ini 14 orang lainnya masih dalam pencarian.
"Kami menduga, ada unsur kelalaian pada ambruknya Jembatan Kartanegara ini sebab semestinya, saat dilakukan perawatan, jalan ditutup," ungkap tokoh pemuda Muara Kaman, Wahyudi.
Polisi pun akhirnya melakukan penyelidikan terkait ambruknya jembatan tersebut dengan memeriksa sejumlah saksi baik warga yang berhasil selamat maupun pihak kontraktor pelaksana perbaikan Jembatan Kartanegara yakni, PT Bukaka Teknik Utama.
Namun, hingga menjelang masa tanggap darurat jembatan ambruk berakhir yakni pada 25 Desember 2011 polisi yang telah memeriksa 51 orang saksi, termasuk Direktur PT. Bukaka, Sofiah Balfas, belum menetapkan satupun tersangka.
"Kami masih terus melakukan penyelidikan terkait ambruknya Jembatan Kartanegara namun sejauh ini kami belum bisa menyimpulkan apakah ada unsur kelalaian atau tidak sebab proses pemeriksaan masih terus berlangsung," ungkap Kepala sub Bagian Humas Polres Kutai Kartanegara, Ajun Komisaris I Nyoman Subrata.
Berbagai kasus hukum yang menyorot perhatian masyarakat, bukan saja pada tingkat nasional tetapi hingga menjadi sorotan dunia internasional khusunya terkait pembantaian orangutan dan ambruknya Jembatan Kartanegara, menjadi harapan masyarakat agar diselesaikan secara transparan untuk tidak meninggalkan citra buruk bagi provinsi Kaltim. (*)
Catatan Akhir Tahun - Kaltim Jadi Sorotan Terkait Penegakan Hukum
Selasa, 20 Desember 2011 11:17 WIB