Samarinda (ANTARA) - Sorot mata publik Kalimantan Timur (Kaltim) belakangan ini tertuju pada aktivitas tambang ilegal yang mencoreng kawasan hutan pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda.
Tak lama setelah itu, tumbal tambang pun merambah ke Kota Bontang. Pengorekan sumber daya dari galian C jadi incaran para penambang-penambang yang tak bertanggung jawab, mengorbankan rumah-rumah warga akibat longsor dampak pengerukan ruang terbuka hijau.
Viral dalam konsumsi publik, kasus ini sontak memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Namun, pertanyaan besar yang mengemuka adalah: Ke mana saja para pemangku kebijakan selama ini, ketika praktik kotor ini telah berlangsung lama, bahkan jauh sebelum hutan pendidikan Unmul dan RTH Kota Bontang menjadi sorotan?
Purwadi Purwoharsojo, Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul), dengan prihatin mengungkapkan keheranan atas respons reaktif pemerintah provinsi, aparat penegak hukum (Gakkum), Dinas Lingkungan Hidup (DLH), hingga Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Ini kan sudah lama dikeruk-keruk. Bahkan sudah masuk laporan lama tahun-tahun yang lalu," ungkap Purwadi.
Ia menuturkan bagaimana pihak Unmul, termasuk laboratorium kehutanan, telah berupaya melaporkan aktivitas ilegal ini kepada pihak berwajib, namun sayangnya, praktik perusakan lingkungan dan penjarahan sumber daya alam terus berlanjut.
Keterlambatan respons ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas pengawasan dan penegakan hukum di Kalimantan Timur.
Lebih lanjut, Purwadi menekankan bahwa penelusuran praktik tambang ilegal tidak boleh hanya terfokus pada kasus Unmul semata. Ia menyinggung data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim yang mencatat ratusan titik tambang ilegal tersebar di berbagai wilayah, seperti di sekitar Bontang, Kutai Kartanegara, Kutai Timur (Kutim), dan Berau.
Data konkret mengenai lokasi dan skala operasi tambang ilegal ini seharusnya menjadi acuan bagi aparat untuk bertindak secara menyeluruh dan tidak tebang pilih.
Aspek krusial lain yang disoroti Purwadi adalah perlunya menjerat pihak-pihak yang berada di balik layar praktik tambang ilegal ini. Selama ini, penangkapan cenderung menyasar para pekerja lapangan, operator alat berat yang notabene hanyalah pelaksana.
Di sinilah benang merah menuju persoalan yang lebih besar terkuak: keberadaan pasar gelap batu bara. Purwadi menjelaskan bahwa tambang ilegal secara ekonomi sangat merugikan negara karena hasil penjualannya tidak masuk ke dalam kas negara melalui pajak.
Lantas, bagaimana batu bara ilegal ini bisa beredar dan bahkan diekspor? Purwadi memaparkan alur yang kemungkinan besar terjadi. Batu bara dari tambang-tambang ilegal kecil dikumpulkan oleh pengepul. Karena tidak memiliki izin ekspor, mereka kemudian menjualnya kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki "bendera" atau izin untuk melakukan ekspor, yang seringkali beroperasi sebagai perusahaan trading.
Keberadaan pasar gelap ini menciptakan demand (permintaan) yang tinggi, yang pada akhirnya memicu semakin maraknya penambangan ilegal. Purwadi mengutip hasil kajian dari Jatam yang menunjukkan betapa menggiurkannya bisnis haram ini.
Ia menganalogikan dari sewa alat berat sekitar Rp150 juta, kemudian dikeruk menghasilkan keuntungan Rp850 juta - Rp1 miliar. Hitung-hitungan fantastis inilah yang menjadi daya tarik utama bagi para pemain di pasar gelap batu bara.
Setelah terkumpul, batu bara ilegal ini kemudian dijual dan diekspor oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki izin perdagangan itu. Purwadi menekankan bahwa tidak semua perusahaan bisa melakukan ekspor batu bara karena prosesnya melibatkan regulasi dan perizinan internasional yang ketat.
Oleh karena itu, Purwadi memberikan masukan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum untuk tidak setengah-setengah dalam memberantas praktik tambang ilegal.
"Jadi kalau mau bersih-bersih jangan tanggung-tanggung. Artinya jangan hulunya aja dibersihkan, hilirnya juga nih," tandasnya.
Penelusuran harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari para penggarap di lapangan hingga pihak-pihak penadah yang memfasilitasi penjualan dan ekspor batu bara ilegal.
Purwadi juga menyoroti bagaimana pengangkutan batu bara ilegal menggunakan truk seharusnya dapat ditelusuri jejaknya.
Keberadaan pasar gelap batu bara, menurut Purwadi, bukan hanya merugikan negara dari segi pendapatan pajak, tetapi juga menciptakan keresahan dan merusak tatanan ekonomi yang sehat. Ia menyebutnya sebagai "penyakit ekonomi" atau "ekonomi bawah tanah" yang menggerogoti potensi pendapatan negara dan daerah.
Purwadi juga menagih janji pemerintah terkait penanganan kasus-kasus lingkungan dan pertambangan yang belum tuntas. Ia menyinggung dugaan 21 izin usaha pertambangan (IUP) palsu di Kaltim yang hingga kini belum menemui kejelasan.
Selain itu, Purwadi juga mengingatkan pemerintah akan tanggung jawabnya terhadap kasus meninggalnya 50-an anak di lubang tambang yang hingga kini orang tuanya belum mendapatkan keadilan.
Terkuaknya kasus tambang secara ilegal di Unmul seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menuntaskan berbagai persoalan pertambangan yang selama ini terpendam.
Hal yang menjadi penekanan bahwa penanganan kasus ini tidak boleh hanya fokus pada kerusakan lingkungan di hutan Unmul, tetapi juga harus menyentuh aspek kerugian ekonomi negara akibat praktik pasar gelap batu bara.
Menanti ketegasan pemerintah
Hamparan hijau Kalimantan Timur kian tergerus. Bukan hanya oleh masifnya pertambangan legal yang telah mencaplok 44 persen wilayah daratan sejak 2019, tetapi juga oleh tambang-tambang ilegal yang diam-diam mencuri 31 persen sisanya.
Aktivitas tanpa izin ini, seperti benalu, merusak hutan yang tersisa, mempercepat degradasi dan deforestasi di berbagai penjuru provinsi. Ironisnya, kerusakan lingkungan akibat pertambangan tak pandang bulu, baik legal maupun ilegal sama-sama membawa konsekuensi buruk, terutama dalam hal alokasi ruang yang terlampau luas.
Penelitian Vany Lucas, Andi Muhammad Asrun, dan Nommy HT Siahaan yang berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penegakan Hukum Aktivitas Tambang Batubara Ilegal di Kalimantan Timur” menyoroti betapa mendesaknya penegakan kebijakan yang tegas terhadap praktik haram ini.
Mereka menemukan bahwa akar permasalahan tak hanya terletak pada tindakan pidana para penambang ilegal, yang jelas melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Lebih dalam, penelitian tersebut menguak kompleksitas persoalan yang melibatkan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat, peran serta warga dalam pengawasan, hingga tantangan struktural dan kultural.
Cukup mencengangkan, Konsorsium inisiatif Kalimantan Timur (KIKA) mencatat lonjakan signifikan titik tambang ilegal. Jika pada November 2023 ditemukan 56 titik, maka pada Juli 2024 laporan warga melonjak menjadi sekitar 168 titik yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di Kalimantan Timur.
Lebih lanjut, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kota Samarinda bahkan menemukan 21 Izin Usaha Pertambangan (IUP) palsu.
Penting menjadi sorotan ialah hak-hak lingkungan hidup warga yang seringkali terabaikan. Hak atas lingkungan yang baik dan sehat, hak atas informasi lingkungan, serta hak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan seharusnya menjadi landasan bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan keluhan.
Pada kenyataannya, warga yang melaporkan pencemaran lingkungan justru berpotensi menjadi sasaran gugatan balik oleh pihak yang diduga mencemari. Situasi ini jelas membungkam partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum lingkungan, Vany Lucas dan kawan-kawan kemudian memberikan saran, di antaranya diperlukan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antar lembaga terkait, terutama dalam menjalankan program sosialisasi dan penyuluhan hukum terkait UU Minerba.
Lebih dari itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan, pengendalian, dan pembinaan terhadap kegiatan usaha tambang serta mengubah pola pikir masyarakat melalui program kemitraan dengan perusahaan pemegang izin usaha pertambangan, sehingga mendorong praktik pertambangan yang baik (good mining practice).
Masa depan Kalimantan Timur dan kualitas hidup masyarakatnya sangat bergantung pada ketegasan pemerintah dalam menindak praktik tambang ilegal.
Kebijakan yang tegas dan implementasi hukum yang efektif adalah satu-satunya cara untuk menghentikan laju kerusakan lingkungan dan menjamin hak masyarakat atas lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
Komitmen Gubernur Kaltim
Rudy Mas'ud, Gubernur Kalimantan Timur menunjukkan keseriusannya dalam memberantas praktik pertambangan ilegal yang merusak daerah. Ia menegaskan bahwa pertambangan adalah tanggung jawab bersama, dan pemerintah daerah wajib memberikan dukungan dalam pengawasan, meskipun kewenangan perizinan berada di pusat.
Keterbatasan jumlah inspektur tambang menjadi tantangan, namun Pemprov Kaltim tidak tinggal diam. Koordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait diperkuat untuk menindak tambang ilegal. Fokus juga diberikan pada reklamasi pascatambang, dengan mencari solusi terbaik untuk memanfaatkan kembali lubang tambang yang tersebar di Kaltim.
Namun, permasalahan serius muncul dari 1.743 titik lubang tambang yang belum direklamasi. Lubang-lubang ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam nyawa, terutama anak-anak yang kerap menjadi korban. Gubernur Rudy mengungkapkan kekhawatiran mendalamnya akan ancaman ini.
Air di lubang tambang yang terbengkalai memiliki tingkat keasaman tinggi, sehingga tidak memungkinkan untuk budi daya perikanan. Namun, Pemprov Kaltim berkomitmen untuk mencari terobosan dalam memperbaiki areal rusak, khususnya di perkotaan.
Wacana pemanfaatan lubang tambang sebagai sarana rekreasi atau lahan pertanian memerlukan kajian mendalam. Gubernur Rudy menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek lingkungan dan teknologi rehabilitasi lahan.