"Adanya pendapat dari paslon lain yang tak mendukung pembangunan IKN menimbulkan stigma negatif bagi mayoritas masyarakat Kalimantan. Itulah yang membuat mereka memperkuat barisan memilih Prabowo-Gibran," ungkap Budiman.
Selanjutnya, imbuh Budiman, faktor Jokowi effect, yaitu loyalitas atas kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo. Survei terakhir menunjukkan bahwa 83 persen masyarakat Indonesia puas dengan kinerja Jokowi.
"Ini berbanding terbalik dengan anggapan bahwa demokrasi kita tidak bagus atau brutal. Justru masyarakat Indonesia menghargai apa yang telah dilakukan Jokowi selama dua periode," jelas Budiman.
Kemudian, ujar Budiman, faktor sentimen, yaitu emosi masyarakat yang cenderung simpati kepada yang diserang atau difitnah. Ini terlihat dari peralihan suara ketika terjadi debat-debat yang sengit antara calon-calon presiden.
Terus dikatakannya, Prabowo-Gibran berhasil memanfaatkan emosi masyarakat dengan menunjukkan sikap tegas, santun, dan berwibawa. Sementara calon lain terkesan menyerang, menghina, atau memvonis.
Budiman menanggapi bahwa hasil hitung cepat ini belum final karena pengumuman resminya dari Komisi Pemilihan Umum. Namun, ia menilai bahwa Prabowo-Gibran memiliki peluang besar untuk memenangkan Pilpres 2024 secara satu putaran.
"Hitung cepat yang dilakukan sejak Pemilu 2004 memiliki angka margin error yang amat rendah," sebutnya.
Pengamat hukum tatanegara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan, ada banyak variabel yang mempengaruhi kemenangan Prabowo-Gibran di wilayah tersebut.
"Salah satunya adalah Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menjadi salah satu program prioritas Prabowo-Gibran. Pasangan ini dianggap merepresentasikan untuk memastikan keberlanjutan pembangunan IKN yang sudah dimulai sejak era Presiden Joko Widodo," ujar akademisi yang akrab disapa Castro tersebut.
Castro menambahkan, mayoritas pemilih di Kalimantan adalah generasi Z yang lebih terpapar media sosial dan lebih melihat hingar-bingar, tren, dan gaya hidup.