Samarinda (ANTARA Kaltim) - Wakil Jaksa Agung D. Andhi Nirwanto mengemukakan bahwa konsep penegakan hukum ke depan harus mempertimbangkan "Economic Analysis of Law" atau penegakan hukum melalui pendekatan ekonomi.
"Jadi, penegakan hukum tidak hanya sekadar melalui aturan hukum, tetapi juga mempertimbangkan pendekatan ekonomi dengan cara-cara memperhitungkan `benefit cost ratio` atau manfaat biaya. Ini sudah diterapkan di beberapa negara dan ke depan kita harus mempertimbangkan hal tersebut," kata Andhi Nirwanto kepada wartawan di Samarinda, Senin.
Ia mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi kasus nenek Asyani yang saat ini sedang menjalani proses hukum di PN Situbondo terkait kasus dugaan pencurian kayu.
Menurut Andhi, jaksa hanya menjalankan tugas sebagai penuntut umum dalam menangani kasus-kasus seperti yang dialami nenek Asyani.
"Fungsi jaksa adalah sebagai penuntut umum. Artinya, kami melanjutkan proses dari penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum lain. Memang sesuai dengan asas legalitas selama ini, sepanjang ada aturan hukumnya dan melanggar, itu perlu ditangani penegakan hukumnya," jelasnya.
Menurut dia, perlu adanya wacana perubahan undang-undang khususnya KUHP, mengingat aturan tersebut adalah peninggalan Belanda.
"Ke depan seharusnya asas `Restorative Justice` atau penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan perlu dipertimbangkan. Hukum atau KUHP kita berasal dari Belanda dan itu berlaku sejak kita masih dijajah dan belum pernah diubah," katanya.
"Jadi, marilah kita bersama-sama mendorong agar KUHP itu segera dilakukan perubahan secara mendasar, yang mendasarkan pada hukum dan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kita kan punya Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum. Kalau sila-sila dalam Pancasila itu betul-betul diterapkan, saya yakin keadilan, kemanfaatan dan kepastian itu akan terjamin," ungkap Andhi Nirwanto.
Ia mencontohkan, di Belanda sendiri, KUHP-nya sudah mengalami perubahan berkali-kali dan juga menerapkan "afdoening buiten proccess" atau penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Maknanya, lanjut Andhi Nirwanto, penuntut umum diberi kewenangan untuk tidak melakukan penuntutan suatu perkara ke pengadilan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain kerugiannya sudah dipulihkan, tindak pidananya diancam pidana paling lama enam tahun serta tersangkanya berusia lanjut.
"Di sana (Belanda) dibatasi usia 70 tahun, kalau konsep itu bisa diterapkan di sini, tapi syaratnya harus dituangkan dalam KUHP, tidak mungkin ada nenek-nenek yang sudah lanjut usia sampai ke persidangan. Cukup diselesaikan dengan cara Restorative Justice," ujar Andhi Nirwanto.
Dampak positifnya juga banyak, salah satunya Lembaga Pemasyarakatan tidak akan melebihi kapasitas.
"Seperti sekarang, seluruh Lapas dan Rutan mengalami kelebihan kapasitas karena semuanya disidangkan dan dipenjara. Nah, konsep memenjarakan atau pembalasan sebenarnya ke depan itu harus mulai dipikirkan dan mulai menggunakan pendekatan lain, bahkan kedepan kalau bisa pendekatan hukum melalui konsep pendekatan ekonomi tersebut," ungkap Andhi Nirwanto. (*)