Dubai/London/Riyadh (ANTARA) - Arab Saudi dan negara-negara OPEC+ lainnya sepakat mendorong peningkatan produksi minyak untuk mengimbangi kehilangan produksi Rusia sekaligus meredakan lonjakan harga minyak dan inflasi serta memperlancar jalan bagi kunjungan "pemecah kebekuan" ke Riyadh oleh Presiden AS Joe Biden.
OPEC+ mengatakan telah setuju untuk meningkatkan produksi sebesar 648.000 barel per hari (bph) pada Juli atau 0,7 persen dari permintaan global dan jumlah yang sama pada Agustus versus rencana awal untuk menambah 432.000 barel per hari selama tiga bulan hingga September.
Langkah itu akan dilihat sebagai tanda kesediaan Arab Saudi dan negara-negara Teluk OPEC lainnya untuk memompa lebih banyak minyak setelah berbulan-bulan tekanan dari Barat untuk mengatasi kekurangan energi global yang diperburuk oleh sanksi Barat terhadap Rusia.
Harga minyak naik di tengah berita tersebut menuju 117 per barel karena para analis mengatakan peningkatan produksi riil tidak akan signifikan karena sebagian besar anggota OPEC kecuali Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sudah memompa pada kapasitasnya. Awal tahun ini, harga minyak mendekati puncak sepanjang masa 147 dolar AS yang dicapai pada 2008.
OPEC+, aliansi Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan negara-negara produsen lainnya, termasuk Rusia, produksinya turun sekitar satu juta barel per hari menyusul sanksi Barat terhadap Moskow atas invasinya ke Ukraina.
Para diplomat AS telah bekerja selama berminggu-minggu untuk mengatur kunjungan pertama Biden ke Riyadh setelah dua tahun hubungan tegang karena ketidaksepakatan mengenai hak asasi manusia, perang di Yaman dan pasokan senjata AS ke kerajaan itu.
Intelijen AS menuduh Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, yang dikenal sebagai MBS, menyetujui pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi pada 2018, sebuah tuduhan yang dibantah sang pangeran.
Arab Saudi dan tetangganya Uni Emirat Arab telah frustrasi pada penentangan pemerintahan Biden terhadap operasi militer mereka di Yaman dan kegagalan untuk mengatasi kekhawatiran Teluk tentang program rudal Iran dan proksi regionalnya.
Dengan perang Ukraina menambah pasar minyak mentah yang ketat, pemerintah AS telah mencari lebih banyak pasokan dari sekutu Teluk seperti Arab Saudi, serta dari Iran yang produksinya telah dibatasi oleh sanksi AS yang dapat dicabut jika kesepakatan nuklir tercapai, dan Venezuela, juga di bawah sanksi AS.
Harga bensin yang meroket telah mendorong inflasi AS ke level tertinggi 40 tahun, memukul peringkat persetujuan Biden saat ia mendekati pemilihan paruh waktu. Biden sejauh ini menolak untuk berurusan dengan MBS sebagai penguasa de-facto Arab Saudi.
Sebuah sumber yang diberi pengarahan tentang masalah itu mengatakan Washington menginginkan kejelasan tentang rencana produksi minyak sebelum kunjungan Biden yang potensial untuk pertemuan puncak dengan para pemimpin Teluk Arab, termasuk MBS, di Riyadh.
Sumber kedua yang akrab dengan diskusi tentang kunjungan Biden mengatakan masalah itu tidak hanya terkait dengan produksi minyak, tetapi juga dengan masalah keamanan Teluk dan hak asasi manusia. Sumber itu mengatakan baik Riyadh maupun Washington telah menunjukkan lebih banyak kesiapan untuk mendengarkan kekhawatiran satu sama lain.
Gedung Putih mengatakan pihaknya menyambut baik keputusan Kamis (2/6/2022) dan mengakui peran Arab Saudi dalam mencapai konsensus OPEC+.
Sanksi Barat dapat mengurangi produksi dari Rusia, pengekspor minyak terbesar kedua di dunia, sebanyak 2 juta hingga 3 juta barel per hari, menurut berbagai perkiraan industri.
Rusia sudah berproduksi di bawah target OPEC+ sebesar 10,44 juta barel per hari pada April dengan produksi berjalan sekitar 9,3 juta barel per hari.
Seorang diplomat Barat mengatakan Rusia mungkin siap untuk menyetujui anggota OPEC+ lainnya untuk mengisi kesenjangan dalam produksinya guna menjaga persatuan dalam kelompok dan mempertahankan dukungan dari Teluk, yang cenderung mengambil sikap netral atas perang Ukraina.