Balikpapan (ANTARA) - Direktur Suryawinata Heinzelmann Architecture and Urbanism (SHAU) Daliana Suryawinata bercerita dengan gambar-gambar dari berbagai proyek ruang publik yang sudah dikerjakannya bersama SHAU atau pun dari berbagai proyek oleh arsitek dan firma arsitek lainnya. SHAU sendiri adalah firma arsitektur yang punya kantor di Belanda, Jerman, dan Bandung, Indonesia.
Gambar-gambar yang secara fotografi dan komposisi sangat estetis itu pun membuat waktu 150 menit terasa kurang, membuat pembawa acara terpaksa membatasi pertanyaan hadirin di Ballroom Kaltim Lantai 1 Hotel MaxOne Jumat pekan lalu tersebut.
Daliana menjelaskan, bahwa ruang publik lebih dari sekadar hiasan kota. Di tengah semakin padatnya kehidupan urban, kehadiran ruang terbuka memberi peluang interaksi sosial, memberikan ketenangan, dan memperbaiki kualitas lingkungan.
Di layar besar di belakangnya ditampilkan sebuah ruang terbuka yang dikelilingi gedung-gedung dengan cekungan di tengahnya. Watersquare Benthemplein di Rotterdam, Belanda.
Cekungan dengan teras bertingkat seperti tangga atau amphiteater di tengah ruang terbuka tersebut ternyata berfungsi sebagai tempat penampungan air bila diperlukan. Saat hujan lebat dan lama, misalnya, air dari selokan bisa melimpah dan menjadi banjir. Namun dengan adanya tempat yang lebih rendah lagi, yaitu cekungan tadi, maka dapat dicegah banjir yang bisa masuk rumah dan tempat usaha warga.
Bila cuaca baik dan tak banyak hujan, cekungan itu kering seperti kolam yang tak ada airnya. Di sekelilingnya warga bisa bersantai atau beraktivitas lain yang disukainya.
Cekungan itu juga mempercantik ruang terbuka tersebut. Cekungan dan ruang terbuka itu pun menjadi identitas dan penanda khas lingkungan selain menjadi bukti laporan kepada masyarakat bahwa uang pajak mereka digunakan maksimal dan bisa dirasakan langsung manfaatnya.
Daliana, yang juga kandidat doktor di bawah bimbingan Prof Winy Maas, dosen terkemuka di jurusan Urbanism and Architecture di Delft University of Technology di Belanda, meneruskan penjelasannya. Bahwa Watersquare Benthemplein bukan proyek yang tiba-tiba kontraktornya datang ke lokasi bawa buldozer dan eskavator, sementara warga sekitarnya bingung sedang dibangun apa di lingkungan mereka.
Watersquare Benthemplein dirancang firma arsitek De Urbanisten. Proyek ini menggabungkan fungsi pengelolaan air hujan dengan ruang publik yang multifungsi, menciptakan tempat yang estetis sekaligus fungsional. Desain ini menunjukkan bagaimana solusi inovatif dapat diterapkan untuk menghadapi tantangan urban seperti banjir sambil memperkaya kualitas hidup masyarakat.
“Sejak tahap perencanaan awal, arsiteknya banyak mendapat masukan dari warga lingkungan Agniese yang tinggal dan yang beraktivitas di situ seperti dari para guru dan siswa kampus Zadkine College and the Graphic Lyceum, para jemaat gereja setempat, hingga dari mereka yang berolahraga di gym David Lloyd yang semuanya berlokasi di lingkungan tersebut,” papar Daliana.
Dalam tiga kali pertemuan, warga dan semua yang berkepentingan berdiskusi tentang suasana seperti apa yang diinginkan tercipta dari keberadaan penampungan air tersebut. Termasuk pula keadaan bila kolam penampungan sedang penuh airnya.
"Di Balikpapan mungkin kita bisa terapkan di sejumlah bendali yang ada dengan sejumlah penyesuaian," kata Wahyullah Bandung, arsitek dan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalimantan Timur.
Ia juga bercerita tentang perpustakaan kecil Warak Kayu yang dikerjakan SHAU di Semarang, Jawa Tengah. Ruang publik ini seluruhnya dibangun dari kayu daur ulang.
Daliana menyebutkan bangunan ini berhasil menjadi ruang baca yang memberikan akses literasi, akses pengetahuan, bagi masyarakat sembari mengusung pesan keberlanjutan, pemanfaatan kembali kayu yang mulanya sudah dibuang.
"Bukan hanya tempat membaca, tetapi simbol bagaimana desain dapat membawa dampak besar bagi kehidupan masyarakat," ujarnya, dimana SHAU juga menerapkan cara yang sama seperti De Urbanisten di Rotterdam untuk membangun Warak Kayu. Bahkan turut membantu memikirkan bagaimana mengelola bangunan dan melanggengkan layanan perpustakaan tersebut.
Di Bandung, Jawa Barat, SHAU membuat karya serupa, yaitu perpustakaan kecil yang dinamai Bima. Perpustakaan ini terletak di sebuah taman yang sebelumnya kurang dimanfaatkan. Bangunan ini menarik perhatian dengan fasad panel kaca daur ulang. Perpustakaan Bima kemudian berkembang menjadi tempat interaksi sosial bagi warga sekitar.
Proyek lainnya yang juga menginspirasi adalah Creative Center di Tasikmalaya. Creative Center ini bukan hanya ruang seni, tetapi juga wahana kolaborasi, menjadi tempat berkumpul untuk berbagai komunitas lokal. Desainnya memadukan elemen tradisional dan modern, menciptakan ruang yang menggugah rasa kebanggaan terhadap budaya setempat sekaligus menjadi tempat berkembangnya kreativitas. Proyek ini berhasil mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam berbagai kegiatan, mulai dari seni hingga pendidikan.
“Proyek ini mencerminkan filosofi SHAU: di mana ruang publik harus berfungsi sebagai tempat berkumpul, belajar, dan merasakan kebersamaan,” ujar Daliana yang mendirikan SHAU bersama suaminya Florian Heinzelmann.
Karena itu ruang publik, bukan hanya soal estetika, tetapi juga tentang harmoni ekosistem dan manfaat sosial.
Di dalam lokakarya yang digelar Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kaltim Komisariat Wilayah I yang membawahkan wilayah Balikpapan, Penajam Paser Utara, Kota Nusantara, dan Paser ini, Daliana juga memaparkan delapan prinsip utama dalam desain ruang publik yang sebagian sudah tersebut di atas. Aspek lokasi yang strategis, sedapat mungkin memiliki karakter yang mencerminkan budaya lokal, dan harmonis atau selaras dan terintegrasi dengan alam. Prinsip lainnya mencakup sirkulasi yang nyaman, multifungsi atau bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, serta pemeliharaan untuk jangka panjang.
Cara pemeliharaan yang disukai SHAU adalah yang melibatkan masyarakat dan oleh masyarakat dalam bentuk komunitas. Seperti di Bandung, komunitas yang merawat perpustakaan tersebut, menjaga koleksinya dan sekaligus juga menjaga bangunannya. Komunitas juga bisa secara kreatif mengajak elemen lain masyarakat untuk turut bersama dan berperan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Perusahaan, misalnya, dapat terlibat melalui program tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Apalagi bila karyawan perusahaan tersebut termasuk yang turut banyak menikmati atau bahkan malah dekat dengan lokasi taman atau ruang publiknya.
"Ruang publik harus hidup bersama masyarakatnya," kata Benny Dhanio, arsitek senior dan Ketua IAI Kalimantan Timur sebelum Wahyullah yang turut menjadi hadirin.
Acara ini juga membuka diskusi yang melibatkan berbagai kalangan, dari arsitek, mahasiswa, hingga birokrat. Tema besar seminar, "Menuju Kota Nyaman dan Berkelanjutan", menjadi pengingat bahwa desain yang baik adalah tentang bagaimana membangun ruang yang berfungsi, memberikan rasa kebersamaan, dan mendukung kehidupan di sekitarnya.
Balikpapan sudah memiliki ruang seperti itu seperti Lapangan Merdeka, Taman Tiga Generasi, atau Taman Bekapai yang sudah ada sejak lama, yang sudah pula memenuhi syarat seperti dipaparkan Daliana. Namun perkembangan kota dan jumlah penduduk yang terus meningkat memerlukan ruang-ruang seperti itu perlu ditambah lagi atau direvitalisasi.

“Sebab saat ini Balikpapan kita, sebuah kota dengan sejarah panjang industri migas dan kota jasa, kini menghadapi tantangan baru: membentuk ruang publik yang berkelanjutan dan nyaman agar warga memiliki ruang untuk kembali menyegarkan diri dari tekanan yang dihadapi sehari-hari,”papar anggota Komisi III DPRD Balikpapan Wahyullah Bandung, yang juga arsitek dan Ketua IAI Kaltim.
Wahyullah menjelaskan, ruang publik atau sering diwujudkan sebagai taman kota adalah elemen penting dalam kehidupan perkotaan. Selain menjadi ruang hijau yang menyegarkan, taman kota berfungsi sebagai tempat berkumpul warga, ruang rekreasi, dan penyeimbang ekosistem. Kehadirannya membantu mengurangi polusi udara, menyediakan area resapan air, dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat.
Taman kota juga menjadi ruang sosial yang memperkuat interaksi antarwarga, menciptakan rasa kebersamaan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, ruang publik seperti taman kota adalah investasi jangka panjang untuk membangun kota yang inklusif dan berkelanjutan.
“Jadi kita acara ini juga untuk melibatkan masyarakat dan mendapatkan masukan, mendengarkan aspirasi,” kata Wahyullah.
Sebelum menghadirkan Daliana, dan masih dalam rangkaian kegiatan untuk memeriahkan HUT Ke-128 Balikpapan, IAI Kaltim juga menggelar lokakarya bertema Gagasan Desain Taman Kota pada 11/4 lampau di Gedung Kesenian. Acara itu juga dapat diikuti secara daring melalui aplikasi Zoom.
Kemudian ada juga seminar mengenai arsitektur lansekap dan ruang publik menghadirkan pakar arsitektur lansekap internasional Nur Hepsianti Hasanah dan Leviandri, yang membahas inovasi desain berbasis ekosistem alami dan arsitektur berkelanjutan.
Materi yang disampaikan keduanya memberikan wawasan tentang bagaimana lanskap kota dapat dirancang untuk mendukung keberlanjutan sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Seminar ini juga menjadi ajang diskusi interaktif antara peserta dan narasumber.
Dalam rangkaian kegiatan ini IAI Kaltim juga bekerjasama dengan Pemkot Balikpapan, Universitas Balikpapan, dan Institut Teknologi Kalimantan (ITK).