Samarinda (ANTARA) - Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menyoroti kabar mengenai dugaan layanan yang kurang baik dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdoel Wahab Sjahranie terhadap seorang pasien balita berusia 16 bulan yang sebelumnya menjalani tiga kali operasi akibat cairan di otaknya.
Kepala Dinkes Kaltim dokter Jaya Mualimin di Samarinda, Rabu, menegaskan bahwa pihaknya memiliki fungsi pengawasan terhadap seluruh rumah sakit di Kaltim, baik milik provinsi maupun kabupaten/kota.
"Kalau ada keluhan di rumah sakit, masyarakat bisa menyampaikan langsung ke rumah sakit bersangkutan melalui kotak aduan yang biasanya tersedia di fasilitas pelayanan publik," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa jika keluhan tidak mendapatkan respons yang memadai dari pihak rumah sakit, masyarakat dapat melaporkannya ke Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim.
"Dinas Kesehatan telah menyediakan kanal aduan. Kami bakal memanggil bidang pelayanan dan direksi rumah sakit untuk menindaklanjuti laporan tersebut," katanya.
Pihaknya terus memperbaiki tata kelola pelayanan publik agar dapat memberikan kepuasan maksimal kepada masyarakat. Indeks kepuasan masyarakat yang excellent menjadi salah satu indikator keberhasilan pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) seperti rumah sakit.
Jika indeks kepuasan tidak baik, Dinkes Kaltim mengevaluasi berbagai aspek layanan di rumah sakit tersebut.
Menanggapi kekhawatiran terkait potensi perbedaan layanan bagi pasien BPJS kelas 3, dokter Jaya meminta seluruh rumah sakit meningkatkan mutu layanannya dan memberikan sosialisasi yang komprehensif terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.
Ia menekankan bahwa tidak boleh ada perbedaan standar pelayanan antara pasien BPJS dan pasien umum.
Ia menegaskan bahwa tidak boleh ada rumah sakit, terutama IGD, menolak pasien dengan alasan administrasi seperti belum membayar uang muka. "Di IGD tidak ada lagi DP. Semua pasien harus dilayani," ucap Jaya.
Sebelumnya, RSUD Abdoel Wahab Sjahranie (AWS) Samarinda memberikan klarifikasi terkait isu pengusiran pasien balita bahwa situasi tersebut kemungkinan akibat miskomunikasi dan melakukan konfirmasi lebih lanjut.
Arysia menjelaskan pula bahwa kasus yang dialami pasien balita tersebut memiliki potensi risiko tinggi. Pada anak di bawah usia dua tahun, tingkat kegagalan alat medis yang dipasang bisa mencapai empat persen.
"Kami menduga bukan kesalahan pada proses pemasangan alat, melainkan lebih kepada kegagalan alat itu sendiri. Hal ini juga sesuai dengan sejumlah penelitian medis yang ada," tegasnya.