Jakarta (ANTARA) - Keduanya menjadi orang pertama di negaranya yang mencapai final sebuah turnamen Grand Slam. Keduanya bakal kembali membuat Wimbledon selalu menghasilkan juara baru sejak 2011.
Selama sebelas tahun terakhir ini, tujuh petenis silih berganti menjuarai tunggal putri Wimbledon. Dalam kurun waktu ini hanya Serena Williams dua kali berturut-turut menjuarai turnamen Grand Slam lapangan rumput ini.
Kini, Ons Jabeur dan Elena Rybakina menjadi dua calon juara baru turnamen yang diadakan di All England Club di London itu.
Bukan hanya itu, tatkala Ons Jabeur dan Elena Rybakina bertemu dalam final turnamen itu Sabtu malam nanti, maka itu untuk kelima kalinya juara Wimbledon akan direbut oleh petenis yang baru pertama mencapai final turnamen ini.
Baik Ons Jabeur maupun Elena Rybakina baru pertama kali ini mencapai final Wimbledon, dan sekaligus baru sekali ini mencapai babak akhir sebuah turnamen Grand Slam.
Situasi itu berbeda dengan tunggal putra yang bahkan sejak 2003 trofi Wimbledon bolak balik antara Roger Federer, Rafael Nadal, Novak Djokovic dan Andy Murray.
Kini dalam edisi 2022, Djokovic di ambang melanggengkan dominasi kuartet itu dalam Wimbledon dengan menghadapi tantangan petenis Australia Nick Kyrgios.
Kyrgios melaju ke final Wimbledon dan sekaligus final Grand Slam perdananya, karena Rafael Nadal tak bisa memainkan laga semifinal karena cedera akibat bertanding maraton lima set melawan Taylor Fritz dalam perempat final.
Jika dalam tunggal putra empat besar tenis sudah terbiasa mencetak rekor demi rekor setiap kali mereka menginjakkan kaki di lapangan, maka dalam final putri malam nanti itu juga tidak akan kalah penting tidak peduli siapa yang menang, Jabeur atau Rybakina.
Jabeur lebih disorot ketimbang Rybakina, padahal keduanya sama-sama menciptakan tonggak sangat penting bagi negaranya.
Jabeur menjadi petenis Tunisia pertama yang mencapai final Grand Slam. Begitu pula Rybakana menjadi orang Kazakhstan pertama yang berada di partai puncak sebuah turnamen tenis Grand Slam.
Tetapi adalah Jabeur yang lebih menyita perhatian dunia, terutama karena rekor demi rekor yang dia cetak dalam dua tahun terakhir.
Juga karena sikapnya yang menawan semua orang terutama setelah orang melihat bagaimana dia menghargai sebuah persahabatan dengan karibnya, Tatjana Maria, yang dia kalahkan dalam semifinal sebelum berjumpa Rybakina nanti.
Ons Jabeur
Oktober tahun lalu Jabeur menjadi petenis Arab pertama yang berperingkat 10 besar dunia. Kini dia menjadi petenis Arab dan Afrika pertama yang berperingkat dua di dunia.
Petenis berusia 27 tahun itu juga adalah perempuan Arab pertama yang mencapai perempatfinal final Grand Slam dalam Australian Open 2020.
Tahun lalu dia menjadi orang Arab pertama yang mencapai delapan besar Wimbledon. Tahun ini dia menjadi petenis putri Arab dan Afrika pertama yang menjuarai WTA 1000 setelah menjadi kampiun di Madrid Open.
Tahun ini pula dia menjadi petenis Arab dan Afrika pertama yang mencapai semifinal dan final Wimbledon sekaligus sebuah turnamen Grand Slam.
Dia juga petenis muslim pertama yang mencapai final Grand Slam setelah Marat Safin yang asal Rusia dari etnis Tatar yang mayoritas muslim dan juara US Open 2002 serta Australian Open 2005.
Maka wajar dengan semua catatan itu perhatian lebih tertuju kepada Jabeur ketimbang kepada Rybakina.
Jabeur yang menempati unggulan ketiga dalam Wimbledon 2022 ini dan di Tunisia dijuluki dengan "Menteri Kebahagiaan", berusaha mengangkat semangat seluruh benua hitam ketika dia predikat wanita Afrika pertama dan sekaligus orang Arab pertama yang menjuarai sebuah turnamen Grand Slam.
"Sering saya membayangkan diri tengah menyampaikan pidato yang bagus, sambil memegang trofi dan menatap trofi," kata Jabeur menjelang final pertama sejak 1962 yang mempertemukan dua petenis yang untuk pertama kalinya mencapai final Grand Slam itu.
"Kini saya harus benar-benar memegang trofi itu. Saya akan siap melakukan bagian saya. Mudah-mudahan mereka menuliskan nama saya dia papan penghargaan di pintu masuk Centre Court," sambung dia seperti dikutip Reuters.
Tapi wajahnya sudah terpampang luas di papan-papan reklame raksasa di seantero Tunisia, apalagi final Wimbledon kali ini bertepatan dengan Idul Adha yang sudah pasti dirayakan luas oleh negara muslim dan Arab di Afrika Utara itu.
Dia berharap hari ini, 9 Juli 2022, menjadi hari yang diingat oleh bangsanya, oleh kaumnya. Dia bertekad memperdaya Rybakina dengan kombinasi pukulan slice dan drop shot-nya yang terkenal maut memakan banyak korban di berbagai lapangan tenis itu.
Jabeur juga ingin apa yang dicapainya di lapangan tenis mengilhami masyarakatnya untuk memajukan diri, demi semakin banyak orang Arab dan Afrika mendalami tenis sampai cabang ini tak terus-terusan didominasi oleh satu dua masyarakat saja.
"Saya ingin semakin besar, menginspirasi generasi lebih luas lagi. Tunisia terhubung dengan dunia Arab, terhubung dengan benua Afrika. Kami ingin melihat semakin banyak pemain," kata sang perintis. "Saya ingin melihat lebih banyak lagi petenis dari negara saya, dari Timur Tengah, dari Afrika.
"Sungguh menakjubkan bisa benar-benar menginspirasi generasi baru. Hanya untuk menunjukkan bahwa tak ada yang tidak mungkin."
Elena Rybakina
Rybakina juga percaya kepada pepatah 'tak ada yang mustahil dalam hidup ini'. Petenis berusia 23 tahun kelahiran Rusia itu berusaha menjadi warga Kazakhstan pertama yang menjuarai tunggal putri Grand Slam.
Petenis berpukulan servis keras nan kencang itu mencetak 144 winner, termasuk 49 ace, saat menaklukkan enam lawannya sebelum Jabeur, termasuk Bianca Andreescu dan Simona Halep yang keduanya pernah menjuarai turnamen Grand Slam.
Namun, alih-alih ditanya tentang dampak merusakkan yang diakibatkan servis geledek atau pukulan groundstroke miliknya yang selalu menggetarkan lawan itu, Rybakina justru disorot karena kaitannya dengan Rusia.
Petenis-petenis asal Rusia dan Belarus dilarang mengikuti turnamen Grand Slam lapangan rumput ini gara-gara invasi Rusia ke Ukraina. Andai empat tahun lalu Rybakina tidak berganti kewarganegaraan Kazakhstan, mungkin Rybakina juga akan dikeluarkan dari Wimbledon tahun ini.
Kazakhstan berbatasan di Rusia di bagian utara, dan memiliki 20 persen penduduk beretnis Rusia yang agak mirip dengan situasi di Ukraina.
Walaupun selama empat tahun terakhir ini memukulkan bola tenis dengan membawa nama Kazakhstan yang sudah menjadi negaranya, Rybakina tetap saja ditanyai soal negara yang menjadi tempat kelahirannya, Rusia.
Di antara pertanyaan yang sering diajukan kepada dia adalah, "apakah hatimu masih merasa Rusia?".
Rybakina tak menampik asal negaranya. Dia mengakui tak selalu berada di Kazakhstan karena jadwal tenisnya yang mengharuskan dia pergi ke mana-mana, dari turnamen ke turnamen di seluruh dunia. Tetapi dia ingin dilihat sebagai orang Kazakhstan yang berjuang demi Kazakhstan.
Kini dia akan menikmati pertemuan dengan Jabeur si petenis Tunisia dalam final yang akan menampilkan gaya bermain yang berbeda tajam.
"Kami akan bersama-sama melalui perjalanan (membuat sejarah) ini ... sungguh menakjubkan jika Anda membuat sejarah," kata unggulan ke-17 yang peringkatnya naik pada 2020 sebelum pandemi COVID-19 menghentikan laju kenaikan itu.
"Tentu saja saya bakal gugup. Tapi adalah tantangan saya menjadi stabil, kuat secara mental, dan berusaha sebaik mungkin. Saya tahu cara Ons bermain. Dia tahu cara saya bermain. Kami sudah saling mengenal," pungkas Rybakina seperti dikutip Reuters.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Siapa terus cetak sejarah, Ons Jabeur atau Elena Rybakina?
Ons Jabeur atau Elena Rybakina? Siapa tetus cetak sejarah
Sabtu, 9 Juli 2022 7:28 WIB