Kampung Merabu yang berada di wilayah Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, menyimpan berbagai situs purbakala dan mitos masyarakat Dayak Basaf. Tetapi untuk menjelajahi Kampung Merabu yang juga memiliki pesona alam indah, bukanlah perkara mudah.
Sama seperti wilayah pedalaman Kaltim pada umumnya, Kampung Merabu harus ditempuh dengan perjalanan darat selama lebih 10 jam dari Kota Samarinda, menggunakan kendaraan roda empat jenis "double gardan" (penggerak empat roda) karena jalurnya merupakan jalan berlumpur.
Penjelajahan keindahan alam Kampung Merabu yang juga terdapat berbagai situs prasejarah etnis Dayak Basaf dilakukan oleh tim Ekspedisi Karst Merabu yang terdiri dari wartawan lokal maupun nasional serta Biro Humas dan Protokol Sekretariat Provinsi Kaltim.
Setelah melakukan perjalanan selama lebih 12 jam, tim Ekspedisi Karst Merabu selanjutnya menjelajah kawasan hutan tropis basah di Kampung Merabu untuk menapak Goa Beloyot, yang berjarak lebih lima kilometer dari permukiman warga.
Jalan yang licin serta harus melewati titian kayu yang dibuat seadanya, membuat sejumlah anggota tim terpaksa harus menapak dengan hati-hati agar tidak tergelincir.
Beruntung, saat itu tidak hujan sehingga kelembaban hutan tropis Kampung Merabu tidak semakin mempersulit pijakan kaki anggota tim Ekspedisi Karst Merabu.
Walaupun jalur yang ditempuh cukup sulit, dengan medan terjal dan harus menapak tebing yang curam, tim Ekspedisi Merabu akhirnya berhasil menjejakkan kaki di Goa Beloyot.
Namun, untuk mencapai salah satu ruang Goa Beloyot yang menyimpan jejak prasejarah, tim harus menuruni lorong gua yang terjal dengan berpegangan pada stalaktif yang menggantung pada mulut gua.
Setelah berhasil masuk, tim kemudian menelusuri ruang yang gelap sehingga dibutuhkan alat penerangan seperti senter agar terhindar dari stalakmit yang dapat menghalang langkah.
Setelah berhasil melewati lorong yang gelap, tim Ekspedisi Karst Merabu kembali harus memanjat lorong goa menggunakan tangga yang telah dibuat masyarakat setempat.
Tidak sampai disitu, sebelum mencapai titik Goa Beloyot yang menyimpan tapak-tapak tangan prasejarah, tim harus merangkak untuk bisa keluar dari mulut goa, kemudian kembali memanjat tangga dengan kemiringan mencapai 90 derajat yang pada bagian sisinya terdapat jurang yang sangat dalam.
Namun, perjuangan dan rasa letih yang sebelumnya menyatroni para peserta Ekspedisi Karst Merabu akhirnya terbayar setelah berhasil mencapai gua di puncak tebing karst setelah menapak-ruang-ruang di dalam gua yang terjal dan gelap.
Para peserta Ekspedisi Karst Merabu akhirnya dapat melampiaskan rasa penasaran setelah melihat langsung situs prasejarah di Goa Beloyot yang didalamnya terhampar tapak-tapak tangan yang diyakini berusia lebih 4.000 tahun.
"Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan seorang peneliti asal Prancis, tapak tangan yang berada di Goa Beloyot itu diperkirakan berusia 4.000 tahun, bahkan bisa lebih," kata Kepala Kampung Merabu Franly Oley.
Selain tapak-tapak tangan, pada dinding dan langit-lagit Goa Beloyot juga terdapat lukisan sejumlah hewan dan perisai khas Dayak.
"Letak tapak tangan itu menunjukkan derajad masyarakat Dayak pada zaman itu. Semakin tinggi letak tapak tangan itu, semakin tinggi kasta sesorang. Tapak-tapak tangan itu juga menunjukkan kepemilikan satu kawasan oleh kelompok masyarakat Dayak pada masa itu," ujar Irsani, pemandu tim Ekspedisi Karst Merabu yang juga merupakan salah seorang warga asli Dayak Basaf yang mendiami kawasan Kampung Merabu.
Keberadaan tapak tangan dan sejumlah gambar hewan serta perisai Dayak di dalam gua-gua di gugusan pegunungan karst di Kampung Merbabu tersebut, juga menyimpan legenda yang diyakini masyarakat Dayak Basaf sebagai tapak tangan milik Dayang Bunga Inuq, seorang wanita yang digambarkan memiliki kesaktian.
"Tapak tangan itu merupakan tapak milik wanita Dayak yang cantik bernama Dayang Bunga Inuq yang pada masa itu dikenal sangat sakti. Kami sangat menghormati dan menjaga tapak-tapak tangan itu agar tidak diganggu dan dijamah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab," tutur tokoh masyarakat Kampung Merabu Asrani.
Masyarakat di Kampung Merabu, khususnya etnis Daya Basaf kata Asrani, sangat menjaga keberadaan tapak-tapak tangan yang ada di sejumlah gua tersebut.
"Kami meyakini, tapak-tapak tangan itu milik nenek moyang kami sehingga keberadaannya sangat kami jaga," tutur Asrani, yang juga mantan Kepala Merabu tersebut.
Setelah puas "mengeksploitasi" jejak-jejak prasejarah melalui kamera, tim akhirnya kembali menapak lorong-lorong goa yang terjal dan licin.
Tidak berhenti sampai disitu, tim Ekspedisi Karst Merabu melanjutkan perjalanan menuju Goa Lungun dengan kembali menapak dan menerobos hutan.
Untuk mencapai mulut Goa Lungun, tim harus kembali meniti tangga yang cukup tinggi.
Di dalam Goa Lungun yang luasnya hanya berkisar tiga meter, sementara pada bagian belakangnya terdapat jurang yang cukup dalam sehingga tim harus bergantian naik, terapat dua kerangka mayat yang ditutup dengan kayu.
"Dua kerangka itu berusia ratusan tahun dan itu adalah nenek moyang kami. Pada masa itu, jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal maka keluarga lainnya akan meninggalkan goa itu kemudian mencari gua lain. Saat ini, cara hidup seperti itu sudah ditinggalkan," ujar Asrani.
Bukan hanya keindahan goa-goa karts, Kampung Merabu juga menyimpan keindahan alam yang sangat eksotis.
Pesona alam Kampung Merabu kian sempurna dengan keberadaan Danau Nyadeng yang memiliki air yang sangat jenih.
Untuk mencapai Danau Nyadeng, perjalanan harus ditempuh menggunakan perahu ketinting selama setenah jam dari Kampung Merabu, kemudian dilanjutkan berjalan kaki selama hampir satu jam.
Letih akhirnya terbayar setelah melihat eksotisme Danau Nyadeng dengan airnya yang sangat jenih.
Eksotisme Danau Nyadeng akan semakin sempurna ketika menyelam ke dalam danau dan merasakan sejuknya air yang dapat langsung diminum tersebut.
"Air Danau Nyadeng sudah pernah diteliti dan tidak berbahaya sehingga bisa langsung diminum," kata Asrani.
Pengembangan Ekowisata
Eksotisme Kampung Merabu serta berbagai situs prasejarah yang dimilikinya, menjadi salah satu potensi wisata yang tengah dikembangkan pemerintah dan warga setempat.
"Kami masih terus melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan berbagai potensi wisata alam yang ada di Kampung Merabu. Kami berkomitmen memadukan berbagai kekayaan alam yang dimiliki Kampung Merabu dengan potensi ekonomi yang dapat dikembangkan masyarakat," ujar Kepala Kampung Merabu Franly Oley.
Saat ini kata Franly Oley, Kampung Merabu sebagian besar dikunjungi para peneliti dan terbanyak peneliti dari luar negeri.
"Kurung waktu dua tahun terakhir, tercatat 300 orang berkunjung k Kampung Merabu. Umumnya mereka adalah peneliti dan sebagian besar dari luar," kata Franly Oley.
Selama bertahun-tahun kata Franly Oley, masyarakat Kampung Merabu,yang didominasi etnis Dayak Basaf, sangat bergantung kepada alam.
Bahkan, sejak periode tahun 1980 hingga 1990, warga Kampung Merabu, banyak yang bekerja sebagai pencari sarang burung walet.
"Pada periode 1980 hingga 1990, masyarakat banyak yang bekerja sebagai pemburu sarang burung walet karena memang saat itu sangat menjanjikan. Pada periode itu, terdapat sekitar 80 goa yang menghasilan sarang burung walet," ucap Franley Oley.
Namun, seiring tumbuhnya sektor perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit di sekitar Kampung Merabu, sarang-sarang burung walet tersebut lanjut Stanley Oley mulai berkurang.
"Pada era tahun 2.000, di sejumlah kampung di sekitar Kampung Merabu mulai dibuka lahan perkebunan kelapa sawit, Akibatnya, banyak sarang burung walet yang hilang. Dari catatan kami, pada awalnya terdapat lebih 80 goa yang menghasilkan sarang burung walet namun setelah adanya perkebunan kelapa sawit di sekitar Kampung Merabu, saat ini tersisa kurang dari 10 goa yang menghasilkan sarang burung walet," jelas Franly Oley.
Akibat berkurangnya sarang burung walet tersebut tambah dia, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari perburuan tersebut mengubah profesi sebagai penebang pohon dan berburun hewan lain.
"Akibat terjadinya pembukaan lahan secara masif untuk perkebunan kelapa sawit, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari berburu sarang burung walet menjadi bingung sehingga ada yang mencoba cara lain dengan menjadi penebang pohon dan berburu hewan lain," ucapnya.
"Melihat kondisi itulah, sehingga kami mencari alternatif lain agar masyarakat dapat mengubah pola ketergantungan terhadap alam dengan cara berburu menjadi kegiatan yang bernilai ekonomi tetapi tetap menjaga alam," tutur Franly Oley.
Selain mengembangkan sektor wisata alam yang dimiliki Kampung Merabu yakni goa-gpa karst yang memiliki situs prasejarah seperti, jejak tapak-tapak tangan dan berbagai gambar prasejarah lainnya yang terdapat di sejumlah goa, Danau Nyadeng yang terkenal dengan kejernihan dan keindahan alamnya serta berbagai satwa langka dan dilindungi dengan melibatkan masyarakat, baik sebagai "guide" atau pemandu maupun menjadikan rumah warga sebagai "home stay" atau tempat menginap bagi para pelancong.
"Kami akan terus mengembangkan ekowisata di Kampung Merabu dengan melibatkan masyarakat, baik dengan menjadikan rumah mereka sebagai `home stay` maupun sebagai pemandu bagi pengunjung yang datang untuk melihat goa-goa yang berisi tapak tangan prasejarah serta Danau Nyadeng," jelas Franly Oley.
Selain pengembangan ekowisata, Kampung Merabu, kata Fanley Oley juga mengembangkan sektor peternakan melalui pengembangbiakan sapi bantuan dan perkebunan.
Pada 2012 kata dia, Kampung Merabu dengan difasilitasi sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengusulkan agar kawasan hutan lindung di daerah itu dijadikan sebagai hutan desa.
"sejak saat itulah kami menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan menyerap aspirasi masyarakat. Disitulah awalnya kesepakatan terjadi untuk menata ruang dan lahan, melindungi dan mencari sumber-sumber kehidupan lain, karena status kawasan kami disini hanya ada hutan produksi dan hutan lindung sehingga kami harus berusaha bagaimana memanfaatkan itu semua," ujarnya.
"Kemudian terjadilah mitigasi yakni, bagaimana caranya kami dalam melindungi tapi kami juga harus mencari sumber-sumber ekonomi. Banyak usulan masyarakat terkait mitigasi itu diantaranya, menanam karet, buah-buahan dan dan pada 2013 melalui dana desa, usulan pemerintah serta melalui dana pihak ketiga, kami mencoba mewujudkan itu dan akhirnya masyarakat mulai mengembangkan peternakan bebek dan ayam. Awalnya, kami mencoba untuk beberapa keluarga saja, karena belum tentu semua cocok memelihara ayam dan bebek," kata Franly Oley.
Pada 2013 lanjut dia, Kampung Merabu membangun peternakan di atas lahan seluas 25 hektare dan mendapatkan bantuan 48 ekor sapi dari Dinas Peternakan Kabupaten Berau.
Kampung Merabu juga ujar Franley Oley, mendapatkan delapan ekor sapi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta mendapatkan percontohan empat ekor sapi dari sebuah lembaga bernama Kerimak Puri, yang merupakan lembaga pengelola hutan desa yang dibentuk masyarakat.
"Awalnya, pengembangan sapi bantuan itu kurang cocok, karena kemungkinan sapi tersebut tidak cocok beradaptasi dan juga perawatannya yang kurang intens sehingga saat ini kami coba lebih intens dengan mendatangkan orang-orang ahli dari luar untuk menanam pakan di dalam kandang seluas enam hektare. Kawasan peternakan itu akan menjadi percontohan untuk pengembangan peternakan sapi di Kampung Merabu," ucap Franly Oley.
Kampung Merabu yang ditempuh dari Kota Samarinda selama 12 jam dan dari Kabupaten Berau sekitar empat jam, memiliki luas wilayah 22 ribu hektare yang sebagian besar kawasan itu masuk areal hutan lindung dan seluas 8.245 hektare diantaranya ditetapkan sebagai kawasan Hutan Desa.
Kampung Merabu berpenduduk 220 jiwa dari 60 Kepala Keluarga (KK), sebagian besar bekerja sebagai petani sementara sebagian masih ada yang bekerja sebagai pemburu sarang burung walet.
"Kami berharap ada perhatian serius dari pemerintah, khususnya masalah infrastruktur diantaranya jembatan yang merupakan kebutuhan yang sangat vital karena selama ini kami hanya mengandalkan ketinting sebagai jalur penghubung," ucap Franly Oley.
Dengan memadukan eksotisme alam dan keberadaan tapak tangan prasejarah yang berada pada sejumlah gua karst dengan potensi yang dimiliki, Kampung Merabu menurut Franly Oley akan menjadi salah satu destinasi wisata sekaligus sebagai kawasan pelestarian cagar alam dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. (*)