Samarinda (ANTARA Kaltim) - Kampung Merabu yang terletak di Kabupaten Berau, terus dikembangkan sebagai kawasan ekowisata dengan berbagai potensi wisata alam dengan melibatkan masyarakat setempat.
"Kami masih terus melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan berbagai potensi wisata alam yang ada di Kampung Merabu. Kami berkomitmen memadukan berbagai kekayaan alam yang dimiliki Kampung Merabu dengan potensi ekonomi yang dapat dikembangkan masyarakat," ujar Kepala Kampung Merabu Franly Oley, Sabtu.
Selama bertahun-tahun kata Franly Oley, masyarakat Kampung Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau yang didominasi etnis Dayak Basaf, sangat bergantung kepada alam.
Bahkan, sejak periode tahun 1980 hingga 1990, warga Kampung Merabu, banyak yang bekerja sebagai pencari sarang burung walet.
"Pada periode 1980 hingga 1990, masyarakat banyak yang bekerja sebagai pemburu sarang burung walet karena memang saat itu sangat menjanjikan. Pada periode itu, terdapat sekitar 80 goa yang menghasilan sarang burung walet," ucap Franley Oley.
Namun, seiring tumbuhnya sektor perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit di sekitar Kampung Merabu, sarang-sarang burung walet tersebut lanjut Stanley Oley mulai berkurang.
"Pada era tahun 2.000, di sejumlah kampung di sekitar Kampung Merabu mulai dibuka lahan perkebunan kelapa sawit, Akibatnya, banyak sarang burung walet yang hilang. Dari catatan kami, pada awalnya terdapat lebih 80 goa yang menghasilkan sarang burung walet namun setelah adanya perkebunan kelapa sawit di sekitar Kampung Merabu, saat ini tersisa kurang dari 10 goa yang menghasilkan sarang burung walet," jelas Franly Oley.
Akibat berkurangnya sarang burung walet tersebut tambah dia, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari perburuan tersebut mengubah profesi sebagai penebang pohon dan berburun hewan lain.
"Akibat terjadinya pembukaan lahan secara masif untuk perkebunan kelapa sawit, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari berburu sarang burung walet menjadi bingung sehingga ada yang mencoba cara lain dengan menjadi penebang pohon dan berburu hewan lain," ucapnya.
"Melihat kondisi itulah, sehingga kami mencari alternatif lain agar masyarakat dapat mengubah pola ketergantungan terhadap alam dengan cara berburu menjadi kegiatan yang bernilai ekonomi tetapi tetap menjaga alam," tutur Franly Oley.
Selain mengembangkan sektor wisata alam yang dimiliki Kampung Merabu yakni goa-gpa karst yang memiliki situs prasejarah seperti, jejak tapak-tapak tangan dan berbagai gambar prasejarah lainnya yang terdapat di sejumlah goa, Danau Nyadeng yang terkenal dengan kejernihan dan keindahan alamnya serta berbagai satwa langka dan dilindungi dengan melibatkan masyarakat, baik sebagai "guide" atau pemandu maupun menjadikan rumah warga sebagai "home stay" atau tempat menginap bagi para pelancong.
"Kami akan terus mengembangkan ekowisata di Kampung Merabu dengan melibatkan masyarakat, baik dengan menjadikan rumah mereka sebagai `home stay` maupun sebagai pemandu bagi pengunjung yang datang untuk melihat goa-goa yang berisi tapak tangan prasejarah serta Danau Nyadeng," jelas Franly Oley.
Selain pengembangan ekowisata, Kampung Merabu kata Fanley Oley juga mengembangkan sektor peternakan melalui pengembangbiakan sapi bantuan dan perkebunan.
Pada 2012 kata dia, Kampung Merabu dengan difasilitasi sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengusulkan agar kawasan hutan lindung di daerah itu dijadikan sebagai hutan desa.
"Sejak saat itulah kami menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan menyerap aspirasi masyarakat. Disitulah awalnya kesepakatan terjadi untuk menata ruang dan lahan, melindungi dan mencari sumber-sumber kehidupan lain, karena status kawasan kami disini hanya ada hutan produksi dan hutan lindung sehingga kami harus berusaha bagaimana memanfaatkan itu semua," ujarnya.
"Kemudian terjadilah mitigasi yakni, bagaimana caranya kami dalam melindungi tapi kami juga harus mencari sumber-sumber ekonomi. Banyak usulan masyarakat terkait mitigasi itu diantaranya, menanam karet, buah-buahan dan dan pada 2013 melalui dana desa, usulan pemerintah serta melalui dana pihak ketiga, kami mencoba mewujudkan itu dan akhirnya masyarakat mulai mengembangkan peternakan bebek dan ayam. Awalnya, kami mencoba untuk beberapa keluarga saja, karena belum tentu semua cocok memelihara ayam dan bebek," kata Franly Oley.
Pada 2013 lanjut dia, Kampung Merabu membangun peternakan di atas lahan seluas 25 hektare dan mendapatkan bantuan 48 ekor sapi dari Dinas Peternakan Kabupaten Berau.
Kampung Merabu juga ujar Franley Oley, mendapatkan delapan ekor sapi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta mendapatkan percontohan empat ekor sapi dari sebuah lembaga bernama Kerimak Puri, yang merupakan lembaga pengelola hutan desa yang dibentuk masyarakat.
"Awalnya, pengembangan sapi bantuan itu kurang cocok, karena kemungkinan sapi tersebut tidak cocok beradaptasi dan juga perawatannya yang kurang intens sehingga saat ini kami coba lebih intens dengan mendatangkan orang-orang ahli dari luar untuk menanam pakan di dalam kandang seluas enam hektare. Kawasan peternakan itu akan menjadi percontohan untuk pengembangan peternakan sapi di Kampung Merabu," ucap Franly Oley.
Kampung Merabu yang ditempuh dari Kota Samarinda selama 12 jam dan dari Kabupaten Berau sekitar empat jam, memiliki luas wilayah 22 ribu hektare yang sebagian besar kawasan itu masuk areal hutan lindung dan seluas 8.245 hektare diantaranya ditetapkan sebagai kawasan Hutan Desa.
Kampung Merabu berpenduduk 220 jiwa dari 60 Kepala Keluarga (KK), sebagian besar bekerja sebagai petani sementara sebagian masih ada yang bekerja sebagai pemburu sarang burung walet.
"Kami berharap ada perhatian serius dari pemerintah, khususnya masalah infrastruktur diantaranya jembatan yang merupakan kebutuhan yang sangat vital karena selama ini kami hanya mengandalkan ketinting sebagai jalur penghubung," ucap Franly Oley. (*)