Samarinda, (ANTARA Kaltim) - Tingkat kekarasan terhadap anak dan pencabulan anak di bawah umur di Provinsi Kalimantan Timur cukup tinggi, sejak 2010 hingga 2014 tercatat lebih dari 600 anak mengalaminya sehingga perlu perhatian negara dan semua elemen.
"Dalam upaya meminimalisir bahkan menghilangkan tindak kekerasan terhadap anak, maka hari ini kami menggelar diskusi terbatas dengan tema Perlindungan Anak Membutuhkan Perubuhan Sistem," kata Ketua DPD I Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) Provinsi Kaltim Sri Hartini di Samarinda, Sabtu.
Diskusi terbatas tersebut dihadiri sejumlah perempuan pemerhati anak Kaltim, antara lain Rustiana Rasyid dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2T2PA) Provinsi Kaltim.
Kemudian Dosen Unmul Muriana Imelda, Dosen Universitas Widyagama Yeni Yahdiana, Yuyun Mariani mewakili UPT Dinas Pendidikan Samarinda Ulu, dan Dosen Fakultas Teknik Unmul Samarinda Juli Nurdiana.
Menurut Sri, kekersan terhadap anak yang begitu tinggi bukan hanya terjadi di Kaltim, tetapi semua provinsi di Indonasia juga mengalaminya, sehingga penanganannya tidak bisa dilakukan per wilayah, tetapi negara harus mengubah sistem dalam pola perlindungan terhadap anak.
Berdasarkan Pusat Data Informasi Kemensos, lanjut dia, terdapat 4,1 anak mengalami berbagai masalah, termasuk masalah kekerasan dan tindakan seksual.
Sedangkan Komisi Perlindunga Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, setiap tahun terjadi 3.700-an anak, atau sekitar 13-15 kasus kekerasan terhadap anak setiap hari di Indonesia,
Sementara Komisi Nasional Perlindungan Anak pada 2013 mencatat terjadi 1.620 kasus kekerasan terhadap anak, sehingga dia meminta negara serius memperhatikan masalah tersebut.
Menurutnya, tingginya kasus kekerasan terhadap anak terjadi lantaran kesalahan paradigma, yakni kesalahan yang bermula pada pembacaan akar masalah sehingga berakibat pada kesalahan langkah-langkah berikutnya dalam upaya penyelesaiannya.
Terlebih, lanjut dia, negara telah mereduksi fungsinya yang sekedar pembuat regulasi, bukan sebagai penanggungjawab penuh dalam perlindungan anak, padahal untuk melindungi anak sebagai generasi penerus bangsa adalah tugas negara.
"Kedaruratan masalah anak membuat rakyat sadar akan kebutuhan sistem yang mampu menjamin perlindungan anak, yakni sistem yang sudah dimiliki oleh Islam," ujar Sri Hartini.(*)