"Tentu kami mendukung karena fatwa ini dicetuskan berdasarkan kajian panjang. Ini perlu disambut gembira dan lapang dada karena fatwa ini menegaskan tentang agama yang sempurna dalam mengatur hubungan akhlak manusia terhadap alam," kata Niel di Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu.
Dalam agama sudah mengatur bahwa manusia bukan hanya memiliki hubungan dengan Tuhan, kata dia, tapi juga memiliki hubungan erat antara manusia dengan manusia, dengan hewan, tumbuhan, air, jasad renik, dan lainnya, sehingga adab atau akhlak dengan alam harus dijaga, salah satunya tidak melakukan perusakan alam.
Upaya mencegah kerusakan alam dan lingkungan hidup, lanjutnya, perlu pendekatan dari berbagai aspek, termasuk aspek keagamaan (spiritual) dan peran ulama.
"Pengarusutamaan prinsip dan ajaran agama ke dalam keseharian masyarakat merupakan hal fundamental. Salah satu tujuan adanya agama adalah melindungi manusia dari berbagai bahaya," katanya.
Sementara kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan pemanasan bumi, telah membawa dampak dan bahaya (mudharat) yang serius bagi umat, bahkan bisa mengancam keberlanjutan kehidupan manusia di bumi.
"Etika dan akhlak kepada alam perlu terus digaungkan, karena hakekat orang beriman harus mampu menjaga keamanan dan keselamatan, baik keselamatan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa/negara, hingga alam semesta, maka jangan melakukan perusakan terhadap alam," kata Niel.
Sebelumnya Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Manka, ECONUSA, Ummah For Earth bersama-sama Komisi Fatwa MUI melakukan peluncuran Fatwa MUI Nomor 86/2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global.
Ketentuan hukum dari fatwa ini termasuk mengharamkan segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan alam, deforestasi, dan pembakaran hutan serta lahan, yang berdampak pada krisis iklim.
Fatwa ini juga mewajibkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok, serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan.