Samarinda (ANTARA) - Pengamat kesehatan dari Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda, Herry Farjam mengatakan perlu perhatian khusus dalam penanggulangan stunting di Kalimantan Timur, walau hanya empat kabupaten/kota di Kaltim yang berada di bawah standar nasional.
"Meski demikian perlu diperhatikan bahwa hanya satu kabupaten/kota yang masuk standar WHO, yakni Kabupaten Kutai Barat. Artinya, perlu perhatian khusus dalam penanggulangan stunting," ujarnya.
Ia mengatakan, pemerintah menargetkan prevalensi stunting pada 2024 sebesar 14 persen. Untuk mencapai target tersebut diperlukan penurunan 2,7 persen per tahun.
Sementara berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka prevalensi Kaltim berada di bawah rata-rata nasional, yakni 22,8 persen, sedangkan standar nasional 24,4 persen.
Menurutnya angka tersebut masih tinggi bila mengacu kepada standar organisasi kesehatan dunia, WHO sebesar 20 persen. WHO menyatakan, standar level indeks keparahan stunting disebut krisis jika angkanya lebih atau sama 15 persen.
Herry mengemukakan, berdasarkan data Kemenkes SSGI 27 Desember 2021, angka stunting di Kaltim berada di beberapa kabupaten dan kota yakni Samarinda sebesar 21,6 persen, Penajam Paser Utara 27,3 persen,
Selanjutnya Kota Balikpapan 17,6 persen, Paser 23,6 persen, Kutai Timur 27,5 persen, Berau 25,7 persen, Kutai Kartanegara 26,4 persen, Kutai Barat 15,8 persen, Kota Bontang 26,3 persen, Mahakam Ulu 20,3 persen.
“Mengingat wilayah Kaltim yang cukup luas, maka perlu ada kebijakan yang memandirikan warga untuk mengelola kebutuhan yang bersumber dari hewani seperti telur dan daging," tuturnya.
Herry juga menyarankan, sedikitnya dalam satu kepala keluarga mengelola empat ekor ayam bertelur yang bisa dikembang biakkan agar kebutuhan atau keperluan gizi keluarga bisa terpenuhi.