Jakarta (ANTARA) - Pemerintah perlu melakukan reformasi pengelolaan anggaran yang baik pada 2021 karena pada saat itu dinilai merupakan masa transisi pemulihan ekonomi baik global maupun nasional yang terdampak pandemi COVID-19.
"Tahun 2021 jadi masa transisi pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19 yang telah menciptakan resesi di seluruh dunia," kata Anggota Komisi VI DPR RI Mukhtaruddin dalam rilis di Jakarta, Rabu.
Politisi Partai Golkar itu menyatakan bahwa pemulihan ekonomi menjadi keniscayaan di hampir semua negara termasuk Indonesia, meski pandemi juga belum dipastikan kapan segera berakhir.
Pada 2021, menurut dia, semua negara berlomba-lomba yang tercepat dalam pemulihan ekonominya.
"Bagi Indonesia, APBN 2021 akan menjadi faktor kunci dalam orkestra pemulihan ekonomi nasional," ucapnya.
Untuk itu, Fraksi Partai Golkar meyakini bahwa harus tercermin koordinasi dan kerja sama yang solid di antara pemangku kebijakan seperti diamanatkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
APBN 2021, lanjutnya, harus menjadi instrumen kebijakan yang kredibel sehingga mampu menjaga kepercayaan pasar, rasa aman, dan kepastian bagi berbagai kalangan masyarakat di Nusantara.
Sebelumnya, pemerintah kembali merevisi postur APBN 2020 dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020 untuk kedua kalinya karena merespons ketidakpastian dari dampak COVID-19 agar laju kemiskinan dan pengangguran bisa ditahan sehingga tidak merosot terlalu dalam.
“Jangan sampai pertumbuhan (ekonomi) negatif karena kalau pertumbuhan negatif dalam skenario sangat berat, dampak ke kemiskinan, pengangguran itu sangat tinggi,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis (4/6/2020).
Apabila pengangguran dan kemiskinan merosot terlalu dalam, lanjut dia, maka upaya pemulihan pada tahun berikutnya juga akan semakin berat.
Untuk itu, lanjutnya, dalam revisi terbaru ini pemerintah akan fokus dalam perlindungan sosial karena masyarakat Indonesia sebagian besar masih berpendapatan rendah dan lebih dari 50 persen produk domestik bruto (PDB) didorong konsumsi.
Adapun dalam outlook revisi terbaru, pemerintah melebarkan defisit menjadi 6,34 persen mencapai Rp1.039,2 triliun dari Perpres 54 Tahun 2020 sebesar 5,07 persen senilai Rp852,9 triliun.
Dengan revisi baru ini, pendapatan negara diproyeksikan turun Rp61,7 triliun menjadi Rp1.699,1 triliun. Sedangkan belanja negara menjadi bertambah sebesar Rp124,5 triliun dari Rp2.613,8 menjadi Rp2.738,4 triliun.
Adapun komponen penambahan belanja negara itu di antaranya belanja pemerintah pusat naik Rp123,3 triliun menjadi Rp1.974,4 triliun dan belanja nonkementerian/lembaga bertambah Rp173,3 triliun menjadi Rp1.187,9 triliun.