Bontang (ANTARA Kaltim) - Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Bontang Hj Najirah Adi Darma prihatin dengan tingginya angka perkawinan dini pada kaum perempuan di beberapa kota di Indonesia.
Menurut ia, perkawinan dini pada remaja usia 15-16 tahun masih banyak, padahal undang-undang perkawinan pascarevisi telah mengamanatkan usia perkawinan dilakukan minimal di atas 18 tahun.
"Apalagi setelah adanya sidang 'judicial review' yang mengubah batas usia 16 tahun menjadi 18 tahun. Undang-undang itulah yang seharusnya menjadi acuan. Namun, kenyataannya masih banyak anak perempuan yang dipaksa menikah di bawah umur," papar Najirah.
Berdasarkan Riset Plan Indonesia pada 2014, angka perkawinan usia dini usia 13-18 tahun masih sekitar 33,5 persen.
"Rata-rata mereka menikah di usia 15 atau 16 tahun dan hampir semua perempuan yang menikah di usia tersebut tidak lagi dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi," tambahnya.
Menurut istri Wali Kota Bontang Adi Darma ini, jika ada risiko yang akan timbul dari pernikahan dini, karena perempuan dengan usia sangat muda saat menikah belum cukup siap dari sisi kesehatan reproduksi, mental dan keterampilan untuk menjadi istri serta seorang ibu.
"Yang paling rentan adalah risiko kematian saat melahirkan lebih tinggi, karena asupan gizi yang belum tercukupi saat kehamilan. Selain itu, pernikahan dini rentan dengan kekerasan dalam rumah tangga, karena pasangan menikah belum memiliki mental yang matang untuk menyelesaikan masalah," ungkap Najirah.
Najirah menambahkan pernikahan di bawah umur juga sering merugikan kaum perempuan, karena perempuan cenderung tidak memiliki hak suara ketika ada masalah dalam rumah tangga, sehingga rentan terjadi pertengkaran.
"Kunci utama bagi kaum perempuan adalah pendidikan, karena selain dapat meningkatkan taraf hidup, pendidikan juga merupakan modal awal bagi perempuan ketika ia menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya kelak," tambahnya. (Adv/Hms/*)