Samarinda (ANTARA Kaltim) - Ketua Komisi Informasi (KI) Pusat, Abdul Rahman Ma'mun, mengatakan sejak Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berlaku efektif mulai 30 April 2010, keterbukaan informasi publik di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.
"Keterbukaan informasi publik di Indonesia adalah 'point of no return', titik yang tidak bisa balik lagi, bukan lagi sebuah pilihan, tetapi hal yang pasti, keniscayaan, tidak boleh tidak," kata Abdul Rahman Ma'mun ketika tampil menjadi pembicara pada Uji Publik Raperda Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang digelar Pansus pembahas Raperda KIP DPRD Kaltim, di Samarinda, Kamis (11/10).
Pada uji publik yang dibuka secara resmi Wakil Ketua DPRD Kaltim, Yahya Anja, tersebut selain Abdul Rahman Ma’mun juga tampil Ketua Pansus pembahas Raperda KIP, H Saifuddin DJ, Kepala Dinas Kominfo Kaltim, Abdullah Sani dan Koordinator Pokja 30, Carolus Tuah.
Pada uji publik tersebut Ketua KI Pusat memberikan apresiasi terhadap DPRD Kaltim yang berinisiatif membentuk Perda tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Menurut dia, Kaltim dinilai telah menerapkan dengan baik Undang Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, terbukti dari hasil monitoring dan evaluasi Tim KI Pusat, provinsi ini menempati peringkat ke-5 dari 33 provinsi di Indonesia setelah Jabar, DKI Jakarta, Sumut dan Jatim.
Penghargaan diserahkan Wapres Boediono kepada Gubernur Kaltim, H Awang Faroek Ishak, 28 September 2012 lalu.
"Adanya Raperda tentang KIP yang sebentar lagi disahkan menjadi Perda definitif semakin menegaskan komitmen Kaltim dalam menerapkan keterbukaan informasi publik," kata mantan produser dan co-produser berita di stasiun tv swasta tersebut.
Abdul Rahman Ma'mun menjelaskan, ada dua hal yang perlu diatur dalam Perda KIP, yakni penguatan badan publik melalui penguatan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) serta penguatan Komisi Informasi Provinsi (KIP).
Dalam pelayanan informasi publik peran dan fungsi PPID sangat vital, sehingga harus ada dukungan maksimal terhadap mereka. Sedangkan Komisi Informasi Provinsi harus didukung tenaga kesekretariatan yang kuat, mengingat dalam sidang ajudikasi sengketa informasi publik, keputusannya setara dengan keputusan pengadilan tingkat pertama.
"Jadi harus ada panitera dan dukungan fasilitas untuk kepentingan persidangan yang memadai," kata Abdul Rahman Ma'mun.
Dia mengatakan, dengan keluarnya Peraturan MA No. 2 Tahun 2011, penyelesaian sengketa informasi publik di pengadilan, sebagai upaya hukum pasca-putusan ajudikasi Komisi Informasi kini semakin jelas. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2011 tentang Tata cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan.
Perma 2 Tahun 2011 ini mengatur secara tegas langkah hukum yang dapat ditempuh bila ada pihak yang bersengketa tidak menerima putusan ajudikasi Komisi Informasi, baik Komisi Informasi Pusat (KI) Pusat maupun KI Provinsi.
"Pihak pemohon atau termohon informasi publik yang keberatan atau tidak menerima putusan ajudikasi Komisi Informasi, mereka dapat mengajukan gugatan ke PTUN atau ke Pengadilan Negeri dengan menilai putusan ajudikasi adalah keputusan tata usaha negara sehingga Komisi Informasi dijadikan pihak tergugat," kata Abdul Rahman Ma’mun. (Humas DPRD Kaltim/adv/bar/mir)