Jakarta (ANTARA) - Seluruh rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat pantas berduka cita dengan meninggalnya Prof Dr Bacharudin Jusuf Habibie di Jakarta pada hari Rabu petang (11/9) setelah dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, akibat penyakit jantung.
Presiden Joko Widodo pada hari Rabu telah menetapkan Hari Berkabung Nasional selama tiga hari (12-14 September) guna menghormati Presiden ke-3 yang dilahirkan di Pare-Pare Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936.
Habibie yang wafat dalam usia 83 tahun itu menjadi Presiden RI pada 21 Mei tahun 1998 untuk menggantikan Soeharto, namun ahli konstruksi pesawat terbang itu terpaksa harus meninggalkan posisi terhormat itu pada Oktober 1999 yang kemudian digantikan oleh Gus Dur alias Abddurahman Wahid.
Habibie dikenal para wartawan dan orang-orang di sekitarnya sebagai tokoh yang amat serius apabila sedang bekerja. Namun dia tetap tersenyum-senyum apabila bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya.
Habibie dahulu dikenal sebagai salah satu pembantu mantan Presiden Soeharto. Apabila Soeharto sedang berkantor di Bina Graha dan kemudian bertemu dengan para menteri maka acara itu berlangsung paling lama setengah jam. Namun sebaliknya apabila menerima Habibie maka acara itu bisa memakan waKtu lima hingga tujuh jam.
Habibie mengatakan bahwa dia tidak akan pernah lupa terhadap salah satu pesan Presiden Soeharto bahwa dia boleh bertindak atau berbuat apa saja, kecuali satu hal yakni melakukan pemberontakan.
Habibie yang menjadi Presiden sejak 21 Mei tahun 1998 tersebut mulai bertugas tanpa melalui sidang umum ataupun sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tapi langsung bertugas menggantikan Soeharto. Karena situasi pergantian pemerintahan ini berlangsung seketika alias mendadak maka sang profesor ini langsung harus bekerja keras.
Salah satu wilayah yang pernah didatangi Habibie adalah kawasan perdagangan Glodok, Jakarta tempat banyaknya pedagang keturunan China yang menjadi salah satu pusat kerusuhan. Sambil bercanda, Habibie mengatakan bahwa apabila dia "diculik" oleh orang jahat maka dia tidak tahu bagaimana caranya pulang ke rumahnya di komplek Pertamina di Kuningan, Jakarta ataupun ke kantornya sehari- hari di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Habibie sehari-harinya biasanya pergi dari rumah ke BPPT, atau menemui Soeharto atau ke IPTN di Bandung, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Tekonologi (Puspiptek) di Serpong ataupun ke PT Pal di Surabaya, Jawa Timur. Selain itu, dia juga setiap tahunnya berkunjung ke Amerika Serikat untuk mengetahui kemajuan penelitian di bidang teknologi atau ke Jepang guna melihat kemajuan teknologi di sana.
Karena dia sudah tidak menjadi wakil presiden sejak dilantik pada Oktober 1997 dan mulai menjabat Presiden RI sejak 21 Mei tahun 1998 maka dia pun harus mendatangi berbagai daerah. Ketika mengunjungi sebuah pasar di Kota Malang, Jawa Timur, maka dia kesulitan untuk berkeliling karena sumpeknya pasar tersebut.
Ke UI
Pada suatu hari, sang profesor mendatangi kampus Universitas Indonesia (UI) di Jalan Salemba, Jakarta Pusat, untuk mengenang pertemuannya dengan Ainun Habibie yang kemudian menjadi istrinya. Dia amat menikmati perjalanan nostalgia ini, karena kemudian dia memiliki dua putra yaitu Ilham Habibie dan Thareq Habibie.
Sementara itu, ketika suatu hari mengunjungi Singapura, tanpa ragu-ragu dia mengajak rombongannya termasuk Antara untuk makan malam di salah satu pelosok kota yakni sebuah tempat makan tradisional dan bukannya di rumah makan yang mewah.
Meninggalnya Habibie pasti akan membuat orang- orang yang telah puluhan tahun yang lalu untuk mengingat-ngingat kembali perkenalan dan pertemanan atau apa pun istilahnya. Pada suatu hari menjelang hari Idul Fitri tahun 1998, Habibie datang ke Stasiun kereta api Senen dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Tandjung Priok. Karena rombongan Presiden Habibie ini tidak dikawal ketat maka ada beberapa mobil yang menyerobot ke rangkaian ini.
Hal itu sempat membuat sang ajudan, Kolonel TNI AD Tubagus Hasanuddin memaki seorang supir karena berusaha menyerobot. TB Hasanuddin mengatakan bahwa dia adalah perwira yang bertanggung jawab atas keselamatan Habibie.
Kini Presiden ke 3 RI ini sudah tiada karena sudah dipanggil keharibaan Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan mudah-mudahan dia telah bersatu dengan Almarhumah Ibu Ainun Habibie yang meninggal dunia pada tahun 2010.
Karena Habibie sudah meninggalkan rakyat Indonesia maka masyarakat bisa mengenang kembali saat-saat terakhir Bacharuddin Jusuf Effendi terpaksa harus meninggalkan kursi kepresidenanya.
Tokoh ini pasti tidak pernah membayangkan untuk mencari harta karun dengan menjadi seorang presiden. Habibie menjadi presiden untuk menggantikan Soeharto. Namun, akibat ulah segelintir politisi maka Habibie harus meninggalkan posisi RI 1 tersebut.
Meninggalnya Profesor Habibie seharusnya menyadarkan tokoh-tokoh politik bahwa persaingan tidak otomatis harus menyebabkan seorang politisi bisa semaunya menjatuhkan pihak lain yang sebenarnya amat dihormati rakyat Indonesia,
Selamat jalan Pak Habibie.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara kepresidenan tahun 1987-2009
Mengenang BJ Habibie, sang pemimpin sejati
Kamis, 12 September 2019 12:08 WIB