Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Berdasarkan UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, maka orang utan merupakan satwa yang dilindungi, namun perimata cerdas ini lepas dari perlindungan karena diduga dibantai di Kalimantan Timur.
Kasus dugaan pembantaian puluhan orang utan dengan nama latin pongo pygmaeus morio yang terjadi di kawasan perkebunan kelapa sawit milik PT Khaleda Agropirma Malindo (KAM), Desa Puan Cepak, Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menarik perhatian bukan hanya nasional, tapi juga internasional.
Sejak terkuaknya kasus tersebut, semua wartawan tingkat dunia seperti BBC London, The Earth Times, Daily Mail, dan lainnya terlihat mondar-mandir memburu informasi tentang orang utan, mulai di Kapolda Kaltim hingga di sekitar lokasi ditemukannya tulang belulang orang utan yang diduga dibantai.
Dari perkembangan penyidikan yang dilakukan Polri, Manajer PT KAM berinisal P akhirnya ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan pembantaian Orang utan Kalimantan yang terjadi mulai 2008 hingga 2010 itu.
"Sejak Kamis (25/11), Senior Estate Manager PT KAM berinisil P ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pembantaian orang utan yang terjadi di Desa Puan Cepak Muara Kaman, Kukar," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kaltim, Komisaris Besar Polisi Anthonius Wisnu Sutirta.
Selain P, polisi juga menetapkan seorang karyawan PT KAM lainnya berinisial W sebagai tersangka, sehingga sudah ada empat orang yang telah ditetapkan tersangka dalam kasus pembantaian orangutan tersebut.
Karyawan PT. KAM berinisial W itu ditetapkan sebagai tersangka, terkait perannya mencari orang untuk melakukan pembasmian hama termasuk pembantaian orang utan yang dianggap sebagai hama, sementara Senior Estate Manager PT. KAM dinilai menyetujui dan menyuruh W untuk mencari pelaksana di lapangan.
"Keempat orang yang telah ditetapkan tersangka terkait pembantaian orangutan itu dijerat pasal 21 ayat (2) huruf a dan b junto pasal 40 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp100 juta," katanya.
Proses pemeriksaan hingga penetapan tersangka P yang merupakan warga negara Malaysia itu, katanya, tidak mengalami hambatan.
Prosedur tetap dilaksanakan meski yang bersangkutan adalah warga negara asing. Kapolda Kaltim juga tetap berkomitmen mengungkap kasus dygaan pembantaian orang utan tersebut.
Menurut dia, proses penyidikan untuk mengungkap dugaan pembantaian orang utan akan terus dilakukan, siapapun yang diduga terlibat akan tetap diproses sesuai hukum yang berlaku.
"Hal ini sudah menjadi komitmen Bapak Kapolda Kaltim yang tidak akan pandang bulu terhadap siapapun yang terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap orangutan," ucapnya lagi.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Senior Estate Manajer PT KAM itu menjalani pemeriksaan di Polres Kutai Kartanegara, sejak Selasa hingga Rabu (23-24/11) di ruang Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Satuan Reskrim.
Sedangkan kasus pembantaian orang utan di Desa Puan Cepak mulai terungkap saat polisi berhasil menangkap dua pelaku IM dan Mj pada Sabtu (21/11).
Sebelumnya, Kapolda Kaltim Inspektur Jenderal Pol Bambang Widaryatmo saat memberikan keterangan pers di Markas Polres Kutai Kartanegara, menyatakan, selain menangkap dua pelaku, polisi juga menyita dokumen, yakni berita acara upah pembayaran tentang "pembasmian hama" primata langka itu oleh PT KAM.
Berdasarkan pengakuan dua pelakunya, pembantaian orang utan itu atas perintah lisan dari P, Senior Estate Manager PT KAM dan ARU, General Manajer PT KAM, untuk melakukan penangkapan dan pembunuhan orang utan dengan senapan angin, kemudian menangkap dengan jeratan tali.
Pelaku dugaan pembantaian di lapangan, mengaku setelah primata itu diikat, kemudian dia menggunakan anjing untuk menggigit orang utan tersebut hingga mati.
Sedangkan upah dari hasil tangkapan tersangka itu adalah, untuk monyet seharga Rp200 ribu dan untuk orang utan Rp1 juta.
Upah itu dibayarkan oleh staf keuangan PT KAM. Kedua tersangka juga mengaku telah membuang lebih 20 ekor monyet/bekantan dan tiga ekor orang utan.
Selain menyita dokumen berita acara pembayaran upah pembasmian hama (orang utan), polisi juga menyita sebuah senapan angin yang digunakan pelaku untuk membunuh orang utan.
Barang bukti lain yang disita adalah beberapa jenis satwa langka dan dilindungi, 85 potong rangka tulang yang diduga orang utan, monyet dan bekantan, serta tujuh foto pembantaian orangutan yang dilakukan kedua tersangka.
Dianggap hama
Dugaan pembantaian terhadap orang utan itu terjadi lantaran primata cerdas tersebut dianggap sebagai hama, atau pengganggu areal perkebunan kelapa sawit, sehingga menjadi alasan pembenaran terjadinya pembunuhan terhadap puluhan orang utan, meski banyak yang menduga masih banyak orang utan lain yang juga dibunuh tapi tidak terungkap.
Peneliti di Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Yaya Rayadin menuturkan telah terjadi perbedaan perspektif antara konservasionis orang utan dengan perusahaan kelapa sawit.
"Sebagian besar dari pengusaha perkebunan sawit masih menempatkan orang utan sebagai hama, sehingga tindakan yang dilakukan sama persis dengan memberantas hama," ucap Yaya Rayadin.
Penyetaraan orang utan sebagai hama, menurut Doktor Ekologi dan Konservasi Satwa Liar itu, didasarkan pada asumsi, dalam satu hari satu individu orang utan dapat menghabiskan 30 hingga 50 tanaman sawit yang berusia di bawah satu tahun.
"Jika diasumsikan, harga tanaman sawit yang berusia di bawah satu tahun Rp20 ribu per tanaman, maka setidaknya setiap individu orang utan dapat menyebabkan kerugian Rp600 ribu hingga Rp1 juta. Dalam konteks ini, sangat jelas terlihat konflik orangutan di areal perkebunan sawit dibanding dengan fungsi kawasan lainnya," katanya.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman itu mengatakan, perubahan pola konsumsi itu akibat adanya konversi habitat orang utan menjadi kebun sawit.
Hal ini terjadi lantaran konversi kawasan tersebut dilakukan tanpa perencanaan konservasi orang utan yang matang, maka dalam perkembangannya menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu sumber pakan bagi primata tersebut.
Kondisi ini yang akhirnya menimbulkan konflik antara orang utan dengan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit, hingga adanya tindakan pemberantasan `hama` (orang utan) ini dianggap sebagai cara mudah menyelamatkan perkebunan sawit mereka.
Yaya Rayadin mengatakan, populasi orang utan terus mengalami penurunan, saat ini tersisa 2.500 hingga 3. 000 ekor yang hidup di `lanscape` Kutai atau kawasan Huatan Tanaman Industri (HTI) kebun sawit, tambang dan Taman Nasional Kutai (TNK) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kota Bontang.
Selain faktor perburuan dan pembantaian, ancaman paling serius yang dihadapi populasi orang utan adalah, adanya fragmentasi atau degradasi hibatat orang utan yang terjadi secara umum di Pulau Kalimantan.
Dia menyebut, Pongo Pygmaeus Morio terfragmentasi ke dalam 32 kelompok habitat orang utan yang hidup di kawasan yang terfragmentasi, mempunyai ancaman kelestarian populasi lebih tinggi dibanding orangutan yang hidup pada kawasan yang utuh dan luas.
Di sisi lain, katanya, saat ini hanya 20 persen orang utan yang hidup di kawasan hutan primer sedangkan 80 persen di kawasan hutan sekunder.
Bila dilihat keberadaan orang utan berdasarkan fungsi kawasannya, hanya 25 persen saja yang hidup di kawasan konservasi, sementara lebih 75 persen hidup di luar kawasan konservasi yang keberadaannya sangat terancam, yakni akibat dariproses konvensi lahan menjadi Hutan Tanaman Industri, perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan.
Terpisah, pemerhati lingkungan dan sosial Kalimantan Timur, Niel Makinuddin, mengatakan banyak cara untuk mengatasi persoalan orang utan yang menyerang lahan kelapa sawit selain harus membunuhnya.
"Kalau kawasan tersebut belum dibuka menjadi kebun, maka sebaiknya ada survei HCVF (High Conservation Value Forest) untuk melihat apakah kawasan itu punya nilai sosial dan lingkungan," katanya.
Survei ini mencakup potensi keanekaragaman hayati wilayah serta potensi sosial, misalnya kuburan adat, pohon yang dikeramatkan, hewan yang dikeramatkan dan sebagainya. Cara ini akan mampu meminimalisasi risiko penyerangan orangutan.
Jika lahan sudah terlanjur dibuka dan orang utan sudah menyerang sekalipun, masih ada cara-cara bijak untuk mengusir atau merelokasinya, yakni bisa dilakukan dengan cara tembak bius, kemudiaan satwa tersebut dipindahkan ke habitatnya, atau ditaruh ke tempat rehabilitasi.
Menurut Niel, cara perkebunan menangani satwa langka dan masalah sosial adalah wujud misi mengembangkan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan.
Terkait upaya itu, kata Niel, Indonesia sudah mengembangkan Indonesia Sustainable Pal Oil (ISPO). Ada pula Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang memiliki tujuan sama.
Menyudutkan
Sebelumnya, ketika tersangka pelaku pembantaian orang utan belum terungkap, Humas PT Khaleda Agroprima Malindo, anak perusahaan Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad, Mirhan membantah. Menurutnya, perusahaan sawit asal Malaysia itu tidak pernah membantai orang utan.
"Tidak ada pembantaian orang utan seperti berita yang selama ini berkembang. Pemberitaan tersebut sangat menyudutkan kami, seolah-olah kami dituding sebagai pelaku pembantaian," kata Mirhan.
Kasus dugaan pembantaian orang utan ini merebak pada pertengahan September 2011, setelah seorang warga dengan membawa bukti-bukti foto melaporkannya ke salah satu koran di Samarinda.
Pada 27 September 2011, Polres Kutai Kartanegara bersama BKSDA kemudian menurunkan tim ke Kecamatan Muara Kaman untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan pembantaian orangutan tersebut. Namun, hingga hampir dua bulan, proses penyelidikan tersebut belum membuahkan hasil.
Kemudian pada 3 November 2011, satu orangutan jantan dewasa ditemukan terluka parah di kawasan perkebunan milik PT Khaleda Agroprima Malindo, anak perusahaan MKH Berhad di Muara Kaman.
"Kami menduga, orangutan tersebut disiksa dan mengalami patah tulang sehingga tidak mampu bergerak lebih jauh. Ini saja sebenarnya sudah cukup bagi BKSDA untuk menyeret manajemen perkebunan ke penjara sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990," ucap Orangutan Campaigner dari The Centre for Orang utan Protection (COP), Daniek Hendarto.
Selanjutnya, pada 29 Oktober, Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Unversitas Mulawarman Samarinda berhasil merekonstruksi kerangka orangutan yang diserahkan masyarakat dari kawasan perkebunan PT. Khaleda.
"Bukti ini melengkapi foto-foto pembantaian orangutan yang disebarkan oleh mantan karyawan yang sakit hati terhadap terhadap perusahaan kelapa sawit asal Malaysia tersebut, sehingga tidak ada alasan penyidik menyatakan masih kurang bukti," ungkap Daniek lagi.
Namun saat itu, Kepala Polres Kutai Kartanegara Ajun Komisaris Besar, I Gusti KB Harryarsana, justru menuding adanya unsur politik di balik pemberitaan dugaan pembantaian orang utan tersebut.
"Masalah ini sudah ada unsur politisnya dan saya tidak akan melayani pertanyaan melalui telepon selular. Silakan datang ke Polres Kutai Kartanegara untuk melakukan konfirmasi," kata I Gusti KB Harryarsana ketika itu.
Bahkan, saat itu Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak juga membantah, walaupun petunjuk dugaan pembantaian orang utan tersebut sudah dilansir COP, serta bukti dokumentasi terkait terjadinya penyiksaan dan tulang orangutan yang diduga tewas secara tidak wajar telah diserahkan warga kepada pihak kepolisian dan BKSDA.
Gubernur juga merasa terganggu dengan pemberitaan dugaan pembantaian orang utan tersebut, sebab seolah-olah pemerintah provinsi tidak peduli padahal selama ini pihaknya telah bekerja sama dengan pihak BOS dan sudah puluhan orang utan yang dikembalikan ke habitatnya. Beberapa perusahaan juga telah diberikan rekomendasi untuk HPH restorasi.
"Awal timbulnya pemberitaan tersebut itulah yang harus diusut. Berani memberitakan berarti punya bukti," ungkap Awang saat itu.
Gubernur juga mengatakan, foto penyiksaan serta kerangka orang utan yang diduga tewas dibantai belum bisa disebut sebagai bukti terjadinya pembantaian. Pihaknya sudah menanyakan ke Polres Kutai Kartanegara dan Polda Kaltim tentang hal itu, namun pihak kepolisian mengatakan tidak ada bukti.
Kini, setelah ditetapkannya empat orang tersangka atas pembantain orangutan tersebut, Pemprov Kaltim kemudian menyatakan mendukung langkah yang dilakukan oleh Polri untuk mengusut tuntas atas perilaku yang melanggar udang-undang tersebut.
"Informasi tentang pembantaian orangutan di kawasan perkebunan kelapa sawit milik PT Khaleda Agropirma Malindo di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman itu bertentangan dengan UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem," ucap Wakil Gubernur Kaltim Farid Wadjdy saat mewakili Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak untuk membacakan Jawaban Pemprov Kaltim atas Pandangan Umum Fraksi-Fraksi DPRD dalam Sidang Paripurna di Gedung DPRD Kaltim (24/11).
Menurutnya, meski Mabes Polri dan Polres Kukar telah menetapkan dua tersangkat atas pembantaian orang utan itu, namun upaya penyidikan masih terus dilanjutkan, terutama dari pihak terkait lain untuk memastikan keterkaitan pihak-pihak tertentu dalam kasus tersebut.
Pemprov Kaltim juga telah menginstruksikan kepada seluruh pemegang izin perkebunan, agar melakukan identifikasi kawasan yang bernilai penting bagi konservasi keanekaragaman hayati dalam wilayah kerja masing-masing.
Jika sudah terindentifikasi, selanjutnya menetapkan kawasan tersebut menjadi Kawasan Konservasi, yakni sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 29 tahun 2009, tentang Pedoman Konservasi di Daerah.
Pemprov Kaltim juga mendukung upaya PT Surya Hutani Jaya (lokasi Hutan Tanaman Industri yang berada di sekitar areal PT KAM) untuk melepaskan areal seluas 8.559 hektare menjadi Koridor Satwa Orangutan.
"Koridor Satwa tersebut akan menghubungkan antara Taman Nasional Kutai (TNK) dengan Cagar Alam Muara Kaman, ke depannya kawasan itu akan menjadi areal baru untuk pelepas liaran orang utan di sekitarnya," ujar Farid Wadjdy. (*)
Satwa Dilindungi Namun Tak Terlindungi Oleh M Ghofar
Jumat, 25 November 2011 23:54 WIB