Surabaya (ANTARA News) - Guru Besar Fisipol Universitas Airlangga Surabaya Prof Kacung Maridjan PhD menyatakan program amnesti pajak (tax amnesty) berpotensi mencegah pemakzulan terhadap presiden.
"Ada tiga tujuan tax amnesty yakni reformasi perpajakan untuk mendata wajib pajak, menarik dana dari luar negeri, dan menutup defisit APBN," katanya dalam Talkshow Guru Besar di Gedung Kahuripan Unair Surabaya, Selasa.
Dalam diskusi bertajuk "Tax Amnesty : Antara Harapan dan Kenyataan" yang juga menampilkan guru besar ekonomi dan hukum Unair itu, ia menjelaskan upaya untuk menutup defisit APBN itulah yang akan mencegah pemakzulan presiden.
"Bila defisit mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka presiden berpotensi dimakzulkan, karena melanggar undang-undang, sehingga politik akan gaduh, sebab presiden bisa dimakzulkan, meski sekarang parpol (partai politik) dukungannya mengarah ke presiden," katanya.
Oleh karena itu, amnesti pajak bisa menjadi stimulator bagi pertumbuhan ekonomi nasional, sebab kemampuan pemerintah untuk melakukan penarikan pajak mengalami penurunan.
Menurut dia, kebijakan amnesti pajak memang dirasa tidak mempertimbangkan asas keadilan, karena negara memberikan ampunan bagi warga negara yang tidak melaporkan dan membayar pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku.
"Memang tidak adil. Namun, justru itulah kebijakan amnesti pajak dirasa tepat dilaksanakan agar penerimaan keuangan negara tercapai, sehingga negara tidak defisit dan presiden tidak berpotensi dimakzulkan," katanya.
Dalam "talkshow" guru besar itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Unair Prof Tjiptohadi Sawarjuwono menyatakan ada tiga hal yang menjadi tujuan tax amnesty yakni reformasi perpajakan untuk mendata wajib pajak, menarik dana dari luar negeri, dan menutup defisit APBN.
"Jadi, tax amnesty merupakan bagian dari reformasi perpajakan, khususnya untuk mendata potensi wajib pajak kita. Karena sampai sekarang baru ada 18 juta penduduk Indonesia yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia dan jumlah penduduk yang seharusnya memiliki NPWP," jelasnya.
Tujuan kedua adalah untuk menarik dana yang di luar negeri (repatriasi) sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi kita. Tujuan ketiga untuk mengatasi negara mengalami defisit anggaran yang cukup besar.
Dia mengaku pesimistis bahwa tax amnesty mampu memenuhi target yang tinggi, kendati sudah terlihat peningkatan yang signifikan, namun nilainya masih jauh dari harapan. Khususnya target repatriasi yang belum mencapai 10 persen.
"Dari segi reformasi, ini sebuah langkah yang baik. Namun, untuk repatriasi dan menutup APBN masih jauh dari target," ucapnya.
Ia juga menyayangkan sedikitnya jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya sekitar 18 juta. "Kalau dilihat dari jumlah penduduk Indonesia atau jumlah seluruh pebisnis Indonesia 18 juta itu sedikit sekali," tandasnya.
Hingga 26 September lalu, nilai repatriasi baru mencapai Rp94,5 triliun dari target yang diinginkan Rp1.000 triliun, sedangkan untuk target tebusan guna menutup defisit APBN sebesar Rp165 triliun baru tercapai Rp56,1 triliun.
"Tapi kita belum bisa menyipulkan akan gagal atau tidak. Karena masih ada waktu dan tahap selanjutnya sampai Desember mendatang. Bisa jadi, orang berpikir, lhawong saya sudah bekerja keras kok, ngapain harus bayar," jelasnya.
Lain halnya Guru Besar Ilmu Hukum Unair Prof Dr Tatiek Sri Djatmiati. Ia mengatakan kebijakan amnesti pajak menyisakan problem yuridis, sebab di lapangan masih ada pro kontra yang berkaitan dengan pemahaman asas keadilan.
"Dalam Pasal 2 UU Nomor 11 Tahun 2016 disebutkan tentang asas dan tujuan TA, yaitu pengampunan pajak dilaksanakan atas asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional," katanya. (*)