Balikpapan (ANTARA) - Tugas serdadu yang menjaga sempadan tidak hanya patroli menengok setiap patok perbatasan. Adalah juga tugas mereka menggotong orang sakit dan mengantarkannya berobat, hingga menciduk pemuda yang melarikan anak gadis orang.
Langit biru cerah di atas Long Pujungan. Matahari belum lagi tinggi. Tapi orang-orang tampak murung. Mereka berkumpul di Puskesmas.
“Ada warga sakit. Kami turut bantu evakuasi ke Malinau,” cerita Komandan Satuan Setingkat Kompi (Dansat SSK) II Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 8 Sakti Mandraguna (SMG) Letnan Satu (Lettu) Andi Pakolleri, Senin.
Maka hari itu, pukul 10.30 Wita di pertengahan pekan pertama Mei 2025, Komandan Pos Pujungan Sersan Kepala (Serka) Sahar N mengajak prajurit kesehatan (Medik) Prajurit Satu (Pratu) Muhammad Basri bersama Pratu Insyar, Pratu Al Ridwan, Pratu Alimar, serta Sersan Satu (Sertu) La Gulinta bersiap. Tak lama mereka tiba di Puskesmas dari markasnya di sisi barat daya Kampung.
Serka Sahar menyapa keluarga dan paramedis yang tengah menyiapkan pasien. Sigap Pratu Basri dan para prajurit turut membantu.
Ibu Mirin, 56 tahun, akan diantar dari Puskesmas ke lapangan terbang, lapangan rumput tak jauh dari depan kantor Kecamatan Bahau Hulu. Lapangan itu sekitar 500 meter lebih dari Puskesmas. Di situ, sebuah pesawat Porter Pilatus Susi Air sudah menunggu untuk menerbangkan pasien ke rumah sakit umum di ibukota Kabupaten Malinau.
Di Kalimantan dan di bagian hulu-hulu sungai, bila suatu tempat bernama ‘long’, sudah bisa dipastikan tempat itu jauh dari mana-mana. Jauh dari pesisir, jauh dari kota.
Long sendiri dari bahasa setempat artinya [sungai]. Memang, bukan kebetulan [long] juga artinya [panjang, jauh] dalam Bahasa Inggris.
Maka, bila kita berangkat dari ibu kota Provinsi Kalimantan Utara, Tanjung Selor, dan memilih ikut perahu long boat 4 mesin yang masing-masingnya berkekuatan 40PK milik para pedagang, ke Long Pujungan bisa makan waktu 30 jam. Dari pagi hingga sore kita akan menyusuri Sungai Kayan. Kita juga akan melewati Jeram Embun yang memaksa penumpang turun dan berjalan kaki di tepi sungai sementara motoris berjibaku mengendalikan perahu di antara batu-batu untuk mencapai air tenang di sebelah hulu dan kembali menjemput penumpang.
Menjelang sore kita memasuki muara Sungai Bahau dan melawan arus yang lebih deras. Motoris lalu mencari tempat bermalam yang nyaman dan aman, yaitu tepi sungai yang landai untuk mendirikan tenda terpal, tapi tidak serta merta banjir bila hujan di hulu. Bila beruntung, juga akan ada makan malam.
Perjalanan segera dilanjutkan pagi-pagi keesokan harinya dengan harapan sudah sampai di Pujungan menjelang atau sekitar tengah hari.
Sebaliknya, perjalanan dari Pujungan ke Tanjung Selor bisa berlaku hanya 8-10 jam dengan menunggang arus. Penumpang bahkan tidak perlu turun saat akan melewati Jeram Embung. Pukul delapan pagi dari Pujungan, pukul delapan malam sudah makan bakso di Tanjung Selor.
Kedua macam perjalanan itu, bahkan bagi yang sehat bugar, adalah perjuangan. Bila mental lemah, orang sehat bisa jadi sakit, dan orang sakit bisa bertambah sakit.
Maka, pesawat Pilatus PC-6 Porter yang sedang parkir di Long Pujungan Airstrip (Kode ICAO: WAQV, 254 meter dari permukaan laut) itu adalah malaikat dan keajaiban. Pesawat buatan Swiss itu hanya perlu lebih kurang setengah jam untuk mencapai Bandara Robert Atty Bessing di Malinau. Dalam satu jam dari Pujungan, pasien sudah sampai di Jalan Respen Tubu, Sembuak Warod, Malinau Utara, untuk dirawat di RSUD.
”Tapi sebelum itu, kita harus gotong pasien dulu ke pesawat,” lanjut Lettu Andi.
Ibu Mirin dibaringkan di dalam tandu bucket milik Puskesmas. Tandu ini dibuat dari plastik tebal berwarna oranye menyala yang biasa digunakan dalam operasi penyelamatan oleh Tim SAR. Tandu macam itu disebut tandu bucket sebab di tandu itu pasien seperti dimasukkan di dalam keranjang (bucket). Dengan beralas tikar dan selimut, pasien bisa stabil dan nyaman. Ibu Mirin juga dikasih bantal untuk menyangga kepala.
Tandu bucket juga nyaman bagi yang mengangkat atau membawanya. Tandu itu memiliki lubang-lubang di sekeliling bingkai yang menjadi tempat pegangan tangan yang kokoh.
Tandu siap pukul 11.30. Sebelum warga dan keluarga meminta, para prajurit segera mengambil posisi di setiap sudut sekeliling tandu. Danpos Serka Shahar di depan sebelah kiri, di kanan Medik Pratu Muhammad Basri, kanan belakang Pratu Yusuf, kiri belakang Pratu Almar. Satu komando dari Serka Shahar, mereka mengangkat tandu dan mulai berjalan.
Di belakang keluarga mengiringi. Anak lelaki Bu Mirin dan adik perempuannya bergantian memegangi seraung, untuk melindungi wajah ibu mereka dari panas matahari begitu rombongan keluar dari naungan pohon-pohon. Seraung adalah topi bambu yang lebar. Di tempat lain di Indonesia disebut tanggui, juga caping.
Ibu Mirin kena stroke ringan atau transient ischemic attack (TIA) sebagai akibat tekanan darah tinggi yang diidapnya. Hal ini memang lazim terjadi pada orang sudah berusia di atas 55 tahun. Selain darah tinggi atau hipertensi, diabetes, dan pola hidup yang tidak banyak gerak (sedentary lifestyle) juga bisa jadi penyebab.
Kasus stroke ringan tersebut bertambah risikonya karena kampung yang jauh tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai. Sebab terlambat mendapat perawatan yang seharusnya, stroke ringan bisa terus berkembang menjadi stroke berat dan bisa mengancam nyawa.
Langkah ringan dan stabil para prajurit membuat lapangan terbang terasa dekat. Pukul 12.00 tepat, rombongan sudah berada di bawah sayap pesawat dan mengatur posisi bagaimana kenyamanan pasien di dalam kabin penumpang yang sempit itu.
Para perancang Porter Pilatus di Stans, Swiss, memang mengkompensasikan kemampuannya lepas landas dan mendarat di landasan pendek (Short Take Off and Landing) dengan kabin yang kecil, hanya muat tujuh penumpang duduk dan beban maksimal 1 ton. Kalau ada evakuasi medik dan penumpang harus berbaring dengan tandu, maka beberapa kursi harus dilipat atau bahkan dilepas.
“Untungnya pesawat itu kan pintunya besar ya, jadi mudah saja kita mengaturnya. Apalagi semua kru berpengalaman dan tahu yang mereka kerjakan,” puji Lettu Andi.
Bu Mirin segera dipakaikan sabuk keselamatan khusus. Keluarga dan paramedis yang mendampingi juga sudah siap.
Para prajurit dan pengantar pun mundur ke arah bangunan terminal kecil di pinggir lapangan terbang. Pilot menghidupkan mesin. Baling-baling berputar dan angin dari dorongan mesin pesawat mengangkat debu tipis dari permukaan landasan.
Setelah taxi way sejenak, pesawat segera mencapai landasan pacu. Sekejap pesawat menderum mengangkat hidung, dan sebentar kemudian menanjak naik ke angkasa meninggalkan Long Pujungan.
”Kami sangat berterimakasih pada Bapak-Bapak TNI yang sudah membantu mengantar Ibu Mirin ke pesawat,” kata Randi, seorang kerabat saat rombongan mulai berjalan kembali ke kampung.
Catatan Serka Shahar, evakuasi selesai pukul 12.00 Wita dan seluruh personel kembali ke pos dalam kondisi aman dan lengkap pada pukul 12.30 Wita.
Yonzipur 8/SMG adalah batalyon zeni tempur di bawah Kodam XIV/Hasanuddin. Mereka bertugas di perbatasan sejak 17 Agustus 2024. Batalyon yang bermarkas di Makassar ini ditempatkan di berbagai pos di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, termasuk Pos Gabma Long Midang di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan.
Sebagai batalyon zeni, mereka memiliki spesialisasi dalam pembangunan prasarana militer dan dukungan tempur di medan berat. Membangun jalan, jembatan, dan fasilitas strategis adalah keahlian setiap prajurit selain bertempur, atau di masa damai seperti sekarang, turut menjaga perbatasan hingga misi kemanusiaan dan bencana alam.
Sementara itu pada pekan yang sama, pasukan pengamanan perbatasan yang lain mengalami hal yang sama sekali berbeda.
”Ada dua keluarga melapor ke pos, dua anak gadis mereka tidak pulang semalaman,” tutur Komandan Pos Gabungan Malaysia-Indonesia (Gabma) di Sungai Manggaris (alias Sei Manggaris, alias Seimanggaris, alias juga Simenggaris) Letnan Dua Artileri (Letd Arm) Tofano Adita Bangun dari Batalyon Artileri Medan 11 Komando Strategis Angkatan Darat (Yonarmed 11 Kostrad).
Kening Letda Tofano langsung berkernyit. Yang dilaporkan hilang ini benar-benar masih anak-anak. NF (13 tahun) dan FB (15 tahun), tidak pulang semalaman ke rumah mereka masing-masing di Desa Sekaduyan Taka, Kecamatan Seimenggaris, Kabupaten Nunukan.
Berbeda dengan Long Pujungan, Seimanggaris adalah perbatasan yang ramai dan terkenal. Konon, jalur trafficking atau perdagangan orang juga lewat Seimanggaris. Setelah masuk Malaysia dari sini, orang bisa melebur dan terus ke mana saja di Sabah atau naik kapal terus ke Filipina atau ke mana saja.
Pun tak usahlah menduga-duga sampai jauh. Di hamparan luas kebun-kebuh sawit itu, di mana mereka kira-kira?
Maka tak pakai lama, Letda Tofano mengerahkan enam personel untuk berkoordinasi dengan polisi dari Pos Sungai Ular dan satuan pengamanan perusahaan perkebunan sawit PT BSI yang kebunnya di sekitar Pos Gabma. Sepanjang sore, para personel TNI bersama polisi dan satpam mengumpulkan informasi dan petunjuk.
Informasi mengarahkan mereka ke area perbukitan Tugu Burung, masih di kawasan PT BSI.
Menjelang tengah malam, tim pun bergerak. Dari sebuah pondok di Tugu Burung, tim meringkus dua lelaki, Andi Abiabobe (24) dan Tanel Saefatuh (24). Andi dan Tanel dikenal sebagai buruh harian lepas di kebun sawit asal Nusa Tenggara Timur. Yang melegakan, tim juga menemukan NF dan FB tak kurang suatu apa pun juga.
“Kami bawa semua dulu ke Pos Gabma untuk dimintai keterangan,” kata Letda Tofano.

Sampai di situ, kata Letda Tofano, selesai sudah tugas dia dan anak buahnya. Mereka tinggal jadi tuan rumah yang baik karena Pos Gabma jadi tempat musyawarah. Keluarga mau proses hukum sebab kedua pelaku sudah meresahkan. Apalagi karena kedua korban masih anak-anak.
Mediasi selesai. Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda) Marangkup Anwar pun menggelandang Andi dan Tanel ke Pos Polisi Sungai Ular, dan kemudian mengantarnya ke seberang ke Pulau Nunukan, menyerahkan keduanya ke Kepolisian Sektor Nunukan untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.
”Di perbatasan, tidak ada tugas yang sepele,” kata Lettu Andi Pakolleri.
Menjaga perbatasan, ujarnya, bukan sekadar soal patroli. Dalam kejadiannya masing-masing, ada yang harus diselamatkan, ada yang perlu diamankan. Kadang membantu warga dalam kondisi darurat, kadang harus ikut turun tangan dalam kasus hukum.
”Bagi prajurit, perintah bisa bermacam-macam, dan setiap tindakan punya dampak nyata yang boleh jadi bisa mengubah nasib,” ujarnya.