Telen, Kutai Timur (ANTARA Kaltim) - Kepala Adat Besar Wehea Ledjie Taq mengukuhkan status Hutan Adat Wehea seluas 325.482 hektare di Kecamatan Telen, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, Rabu.
Upacara adat pengukuhan berlangsung di kilometer 62 Jalan Logging PT Narkata Rimba, Telen, sekitar 450 kilometer arah utara dari Kota Balikpapan.
Pada titik kilometer 62 tersebut telah berdiri gerbang Keltah Keldung Las Wehea, berupa dua totem, sepasang patung perlambang nenek moyang Orang Wehea dari kayu ulin berwarna hitam.
Di bawah gerbang, menjelang tengah hari, berlangsung upacara adat tersebut. Dengan diiringi alunan mantera, dipotong seekor ayam dan babi hutan yang kemudian darahnya dioleskan kepada dua gerbang tersebut.
Acara itu dihadiri Direktur Tenurial dan Konflik Hutan Adat Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Rosa Vivien Ratnawati, Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman, para kepala adat Wehea, perwakilan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Muara Wahau dan Telen, dan puluhan warga setempat.
"Saya hadir mewakili pemerintah, yaitu Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, untuk menegaskan pengakuan negara atas adat dan hutan adat, walaupun belum secara administrasi milik negara," kata Rosa Vivien usai didaulat menandatangani prasasti di lokasi gerbang.
Setelah itu dilakukan penanaman sejumlah bibit pohon ulin di lahan di seberang gerbang. Para kepala adat, Bupati Ardiansyah, dan Rosa Vivien turut menanam bibit pohon-pohon tersebut.
Hutan Adat Keltah Keldung Las tersebut, meliputi juga hutan adat Long Sekung Metguen seluas lebih kurang 27.000 hektare yang selama ini sudah dikelola oleh Orang Wehea di barat konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Gunung Gajah, Muara Wahau.
Hutan adat itu kemudian diperluas lagi dengan memasukkan hutan tropis dataran rendah yang selama ini dikelola PT Rehabilitasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI), dan konsesi HPH PT Narkata Rimba yang tidak ekonomis untuk diproduksi karena medannya yang curam.
Oleh karena itu, menurut Ledjie Taq, kondisi hutan tersebut masih sangat bagus, baik ekosistem flora maupun faunanya.
"Masih banyak pohon kayu yang besar-besar, ada ulin, meranti. Satwanya ada burung rangkong, orangutan, beruang madu, yang semuanya dilindungi," jelas Ledjie Taq.
Ulin (Eusideroxylon zwageri) adalah kayu khas Kalimantan. Biasa juga disebut kayu besi dan merupakan bahan bangunan nomor satu di Pulau Borneo. Karena banyak dicari untuk dimanfaatkan, kayu ini akhirnya menjadi semakin langka.
Ledjie Taq melanjutkan, sebagai orang alam, Orang Wehea tergantung sepenuhnya kepada hutan dan sungai untuk mendapatkan kehidupan.
Dari hutan, Orang Wehea mendapatkan bahan-bahan untuk upacara adat dari hutan, seperti beberapa jenis rotan dan daun-daunan, sehingga menyelematkan hutan yang tersisa adalah tanggung jawab utama mereka saat ini.
"Kami tidak ingin anak-anak kami hanya mendengar dari cerita, atau cuma melihat dari foto bahwa di dunia ini ada pohon ulin atau meranti," demikian Ledjie Taq.(*)
Hutan Adat Wehea Kutai Timur Dikukuhkan
Rabu, 12 Agustus 2015 21:14 WIB