Aktivitas pagi itu belum terlalu ramai, sejumlah warung pun baru mulai buka, bahkan pintu gerbang cagar budaya rumah adat panggung khas Sulawesi Selatan, di SamarindaSeberang, Kaltim, pagarnya masih tertutup.
Saat itu, 31 siswa-siswi PAUD/TK Islam Terpadu menapakkan kaki turun dari 5 kendaraan yang membawanya dari Jalan PangeranSuryanata, Keluarahan Air Putih, Samarinda ke Jalan Pangeran Bendahara diKelurahan Masjid, Samarinda Seberang.
Didampingi 6 ustadzah dan para orang tua, anak-anak yang berusia dari 3 tahunhingga 5 tahun itu pun dengan cerianya menuruni kendaraan dan berbaris menujuhalaman rumah adat, sambil bersholawat dan menyanyikan lagu-lagu permainan berbarismemasuki kolong rumah adat.
Sekitar 30 menit istirahat mereka kembali berbaris dan berjalanan memasuki GangPertenunan RT 02 Kelurahan Masjid dimana gang yang lebarnya hanya 1,5 meter ituterdapat puluhan perajin Tenun Tradisional Sarung Samarinda.
Setelah berjalan sekitar 50 meter mereka singgah di rumah Ibu Dina, perajin SarungSamarinda. Anak-anak pun mendekat, mereka melihat bagaimana ibu Dina denganpiawainya memegang alat tenun yang terbuat dari kayu itu dengan diayun-ayunkanmerayut benang helai-demi helai sehingga menjadi lembaran kain sarung.
“Ibu, ini apa,†tanya salah satu anak sambil memegang rajutan benang .
“Ini kok bisa digoyang,†tanya anak yang lainnya sambil memegang stang alat tenuntersebut.
Dengan penuh lemah lembut Ibu Dina yang sudah bertahun-tahun secara turun-temurunmenenun ini pun menjawab satu persatu pertanyaan anak.
Selain melihat bagaimana Ibu Dina menenun anak-anakpun diberikan kesempatan untukpraktek menjalankan alat tenun tradisional tersebut.
Sekitar 20 menit anak-anak PAUD/KB-TK IT Raudhatul Jannah berkunjung ke kediaman ibuDina yang sekaligus dijadikan kios penjualan hasil kerajinan tangan khasSamarinda, rombongan juga melanjutkan perjalanan dengan berbaris mengularmengunjungi perajin yang lain.
Di dalam perjalanan anak-anak singgah di rumah ibu Aina, di depan rumah panggungyang sangat sederhana ini Ibu berusia 67 tahun ini dengan gemulainyamenghentak-hentakkan alat tenun hingga menimbulkan bunyi. Anak-anakpun tertarikuntuk mendekat.
Sambil menenun itu Aina menjelaskan bahwa dalam tiga hari baru bisa selesai satu helaikain sarung.
“Paling tiga hari baru selesai satu cu. Kalau ini sudah jadi sarung ibu jual harganyaRp 250.000 per sarungnya,†ucap Ibu Aina menjelaskan pertanyaan anak-anak.
Aina mengeluhkan semakin tinggi harga benang saat ini, sehingga membuat peluangpenghasilannya semakin menurun.
“Ibu belanja bahan benang di Pasar PagiSamarinda, satu gulungnya isi lima kilogram harga benang berwarna putih ini limajuta, sesampai di rumah ibu kasih warna dengan bahan pewarna kain, setelah benangdiwarnai, nenek jemur agar kering, baru kemudian di tenun,†terang nenek Ainaini kepada anak-anak yang mengkerumuninya.
Benang yang dibeli satu gulung seharga lima juta tersebut bisa menghasilkan palingbanyak 25 sarung, dan bisa selesai dikerjakan selama dua bulan ini.“Alhamdulillah bisa membantu untuk tambah-tambah belanja dapur,†ucap ibu Aina.
Setelahanak-anak puas tanya sana-sini dengan nenek Aina, melanjutkan perjalanan lagike rumah ibu Sumarni, disini anak-anak bukan saja disuguhi dengan tenunansarung, tetapi berupa kerajinan tangan kipas, manik-manik.
“Capek ustadzah, hausâ€, teriak anak-anak dengan lucunya.
Sambil duduk di teras rumah ibu Sumarni mereka minum dan melihat-lihat ibu Sumarnimempraktekkan membuat kipas yang terbuat dari kain sarung samarinda.
Setelah mereka melihat dari dekat bagaimana cara membuat kipas dan manik-manik,masing-masing diberikan hadiah satu kipas kain samarinda. Dengan senang hatianak-anak itu menerimanya. Setelah kunjungan dari rumah ibu Sumarni, mereka kembali berbaris menuju ke rumah adatuntuk istirahat. (*)