Samarinda (ANTARA) - Keputusan Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden di malam Jumat, 31 Agustus 2023, menimbulkan dinamika baru dalam peta politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Menurut Pengamat Politik Universitas Mulawarman Samarinda Mohammad Taufik di Samarinda, Minggu, bahwa langkah Nasdem dan PKB tersebut mencairkan masa beku saling tunggu antara kubu elit partai politik yang sebelumnya belum menentukan sikap.
“Logika politiknya begini, dalam beberapa bulan terakhir, Anies semakin tertinggal jauh dalam bursa Capres bahkan elektabilitasnya semakin turun,” kata Taufik.
Dengan kondisi elektabilitas Anies tersebut hampir mustahil lolos putaran pertama. Sebaliknya, Ganjar terlihat rebound pasca isu negatifnya soal Piala Dunia U20. Sementara, popularitas dan elektabilitas Prabowo stagnan.
Menurutnya, berdasarkan berbagai survei, elektabilitas Prabowo dan Ganjar bersaing sangat ketat. Hanya selisih tiga koma.
Dikemukakannya, dalam membaca angka survei, selisih kurang dari dua kali margin of error 1,6 persen artinya imbang bukan unggul.
“Meski popularitas Ganjar masih tertinggal sekitar 15 persen dari Prabowo, realitas ini memaksa kontestasi Pilpres menjadi tiga pasang. Hampir pasti dua putaran,” ujarnya.
Berdasarkan survei, lanjut Taufik, Anies kalah 15-20 persen dibanding Ganjar atau Prabowo. Lalu kenapa dipasangkan dengan Cak Imin yang elektabilitasnya rendah?
“Kenapa bukan RK, SU, AHY, ET yang elektabilitasnya tinggi? Jawabannya, tidak ada Cawapres yang mampu mendongkrak Anies untuk lolos ke putaran kedua, termasuk AHY sekalipun,” tuturnya.
Menyadari hal ini, maka Nasdem dan PKB atas persetujuan Anies menurunkan target lebih realistis. Yang semula ingin menang pilpres berubah target sebagai penentu pemenang pilpres 2024.
“Bagaimana Nasdem dan PKB bisa jadi penentu kemenangan? Kubu Anies diprakarsai Surya Paloh mulai berhitung. Semua tahu, tiga provinsi pemilih terbesar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur disusul Jawa Tengah,” paparnya.
Ia mengemukakan, dari sisi geopolitik, Jawa Barat sangat solid ke Prabowo, tidak goyah meski digoyang oleh gelagat Ganjar lari pagi tiap minggu ditemani Bima Arya.
Taufik menambahkan, sikap Ganjar bersama Bima Arya tak menggoyahkan elektabilitas Prabowo di Jawa Barat, karena provinsi tersebut tidak hanya di Bogor.
Kemudian Jawa Timur merupakan lumbung PKB, sedangkan Jawa Tengah sudah menjadi kandang PDIP.
“Medan pertempuran sesungguhnya hanya di Jawa Timur. Langkah yang tepat adalah menguasai Nahdliyin sebagai penentu kemenangan," katanya.
Atas dasar kalkulator politik itu, Surya Paloh dan Cak Imin yakin siapapun finalis capres yang mereka dukung akan menang. Bermodal ini, kubu Anies-Muhaimin akan memiliki daya tawar yang sangat tinggi terhadap kubu Prabowo dan Ganjar.
“Ingat selisih Ganjar dan Prabowo tidak signifikan. Di putaran kedua kubu Prabowo dan Ganjar akan berebut suara pendukung Anies-Cak Imin,” jelasnya.
Lanjut Taufik, Nasdem dan PKB tinggal bertanya ‘kami dapat apa?’ sebab tidak ada makan siang gratis dalam politik.
Kemudian, ke mana PKS? Taufik mengatakan, DNA politiknya tidak ke PDIP, sehingga tidak ada tali pusar ke Ganjar.
“PKS akan transit sementara di kubu Nasdem-PKB. Tim Panitia negosiasi sebagai King Maker. Asalkan mendukung Prabowo. Kenapa tidak sekarang saja hengkang ke Prabowo? Oh… belum saatnya. Kalau sekarang nilainya lebih rendah, sebab sudah ada Golkar dan PAN di sana,” ucapnya.
Bagaimana pendukung Ganjar? Taufik menyarankan agar santai saja, bersikap biasa saja. Pendukung Ganjar mesti mengedepankan kampanye simpatik.
“Putaran kedua nanti kemungkinan akan berteman lagi dengan Nasdem dan PKB. Cuman masalah waktu kok. Nasdem tidak akan ke Prabowo. Karena kalau mau sejak kemarin sudah koalisi dengan Gerindra,” tutur Taufik.
Lanjut, yang menarik, kenapa Nasdem-PKB memutuskan sepihak Anies-Muhaimin tanpa Demokrat? Bahkan hanya mengutus Sudirman Said untuk memberitahu Demokrat. Bukan meminta izin.
Taufik mengamati Partai Demokrat ditinggalkan, sebab Demokrat menjadi satu-satunya parpol yang turun dari 8 persen di bulan Mei ke 7 persen di bulan Agustus.
"Berdasarkan survei Litbang Kompas, Nasdem dan Anies makin pesimis jika tetap mencawapreskan AHY," pungkasnya.