Balikpapan (ANTARA Kaltim) - World Wide Fund for Nature (WWF) menggelar jajak pendapat bertajuk Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Isu Lingkungan dan Preferensi Partai Politik untuk mengetahui bagaimana calon anggota legislatif peserta Pemilu 2014 menanggapi isu-isu lingkungan.
"Jajak pendapat itu digelar di tujuh kota di Indonesia," kata Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia Nyoman Iswarayoga di Balikpapan, Rabu.
Ia mengatakan, ketujuh kota tersebut adalah Samarinda (Kalimantan Timur), Pekanbaru (Riau), Jakarta (DKI Jakarta), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), Kupang (Nusa Tenggara) Timur, dan Sorong (Papua).
Dalam 5 tahun terakhir, kata dia, Samarinda adalah kota yang mengalami persoalan lingkungan cukup parah. Kota ini dikelilingi tambang dan bekas tambang batu bara. Hujan sebentar saja cukup membuat jalan-jalan kota tergenang air dan banjir.
Dia mengatakan, kolam bekas tambang juga meminta korban sejumlah anak-anak yang tewas tenggelam karena bermain tanpa pengawasan orang dewasa di kolam-kolam tersebut.
"Dengan laterbelakang itu, dengan survai ini kami ingin mengetahui tingkat kesadaran publik, terhadap isu lingkungan, serta keinginan dan harapan masyarakat mengenai peran partai politik dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia," kata Nyoman Iswarayoga.
Hasil survei yang digelar WWF Indonesia berkerja sama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat atau 95,7 persen) menyatakan bahwa wakil rakyat yang akan duduk di kursi legislatif mendatang perlu serius menangani isu kerusakan lingkungan di Indonesia.
Menurut dia, mayoritas responden juga yakin bahwa ada hubungan antara bencana alam baik secara nasional maupun di daerah dengan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan (91 persen) dan korupsi dalam pengelolaan SDA (80,1 persen).
Menurut responden banjir merupakan jenis bencana alam yang paling sering mereka alami (61 persen) dan disusul oleh kekeringan (13,6 persen).
Publik menilai perubahan fungsi lahan hutan, pembalakan/penebangan hutan dan penggunaan air tanah yang berlebihan merupakan tiga faktor yang memicu terjadinya banjir dan kekeringan di tujuh kota lokasi survai.
"Kebijakan pengelolaan sumber daya alam adalah persoalan serius yang kerap terabaikan dalam agenda politik, sehingga kerap berujung pada bencana dan kesengsaraan bagi rakyat," kata Nyoman Iswarayoga.
Dia mengatakan, belum lagi sudah jamak pengelolaan sumber daya alam juga terbelit permasalahan korupsi.
Oleh karena itu, katanya, sebagai simpulan dari survai itu, penyelenggaraan Pemilu Legislatif pada April 2014 adalah momentum penting bagi masyarakat untuk memilih partai politik dan anggota legislatif berpihak terhadap kelestarian alam.
Wakil-wakil rakyat yang peduli terhadap kelestarian alam itu diharapkan bisa mereformasi tata cara pengelolaan sumber daya alam sehingga berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.
"Dengan begitu risiko bencana alam yang lebih merugikan bisa ditekan," kata Direktur Eksekutif LP3ES Kurniawan Zen.
Menurut dia, terdapat tiga kata kunci dalam pengelolaan sumber daya alam dalam konteks perekonomian nasional, yaitu kemakmuran rakyat, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Merujuk kepada tiga kata kunci tersebut, katanya, terdapat pertanyaan mendasar dalam survei mengenai manfaat dan kerusakan yang dirasakan masyarakat akibat praktik pengelolaan SDA.
Hasil survai menunjukan bahwa 74,3 persen responden menganggap pengelolaan sumber daya alam saat ini lebih memberikan dampak kerusakan yang merugikan masyarakat daripada manfaat.
Masyarakat juga menilai bahwa kerugian yang mereka alami akibat terjadinya kerusakan lingkungan adalah disebabkan dua hal, yaitu korupsi antara pengelola sumber daya alam dan pemangku kebijakan dan pengawasan lemahnya dari pemerintah.
"Hubungan korupsi antara pengelola sumber daya alam dan pemangku kebijakan serta pengawasan yang lemah dari pemerintah juga menjadi faktor yang menghambat keuntungan bagi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam," kata Kurniawan Zen. (*)