Samarinda (ANTARA) - Sebuah potongan video singkat heboh di jagat media sosial. Dalam cuplikan yang viral itu, Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Rudy Mas’ud menyebut Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi dengan sebutan “Gubernur Konten, mantap ini Kang Dedi” saat keduanya menghadiri rapat bersama Komisi II DPR RI dan sejumlah kepala daerah, Selasa (29/4/2025), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Respons Dedi Mulyadi atas julukan tersebut di akhir pemaparannya sebagai Gubernur Jawa Barat, justru semakin memantik atensi publik maya.
Gelombang komentar dari warganet tak terhindarkan. Alih-alih melihatnya sebagai candaan antar-kepala daerah, tak sedikit yang mencibir ucapan Rudy Mas’ud. Ribuan komentar negatif membanjiri akun media sosial pribadi sang Gubernur Kaltim, bahkan hingga akun resmi Pemerintah Provinsi Kaltim.
Label “Gubernur Konten” yang dilontarkan Rudy kepada Dedi Mulyadi dianggap sebagai tindakan yang kurang pantas dan memalukan oleh warganet.
Saat dikonfirmasi, Rudy Mas’ud justru mengungkapkan bahwa perkataannya itu hanyalah sebuah sikap apresiatif dan menunjukkan kelakar akrab antara dirinya dan Dedi Mulyadi.
Namun, narasi yang terlanjur berkembang di ruang publik telah menempatkan Rudy sebagai pihak yang disorot negatif. Masyarakat hanya mengonsumsi potongan video rapat yang kemudian digoreng sedemikian rupa hingga membentuk opini yang bias.
Padahal, jika mau sedikit lebih jeli dan menelisik video rapat secara utuh, akan tampak konteks yang jauh lebih substansial. Dalam forum penting tersebut, Rudy Mas’ud justru tengah berupaya menyampaikan kondisi infrastruktur jalan di wilayahnya yang memprihatinkan kepada Komisi II DPR RI.
Ia tak segan memaparkan betapa banyak infrastruktur yang belum memadai, meskipun Indonesia telah hampir delapan dekade merdeka.
Rudy mencontohkan rencana pembangunan akses jalan di perbatasan Kalimantan Timur sepanjang 1.038 kilometer. Pernyataan ini jelas menunjukkan fokusnya pada isu pembangunan riil yang berdampak langsung pada masyarakat Kaltim. Belum lagi Gubernur Kaltim pada rapat tersebut memperjuangkan nasib tenaga non-ASN agar diangkat menjadi PPPK. Namun, sayangnya, esensi penting ini tenggelam oleh viralnya potongan video yang menampilkan sentilan “Gubernur Konten”.
Fenomena ini mengingatkan pada sebuah perumpamaan klasik yang berasal dari anak benua India: kisah tentang orang-orang buta dan seekor gajah. Perumpamaan yang tercatat dalam buku Encyclopedia of Perception ini mengisahkan sekelompok orang buta yang belum pernah melihat gajah sebelumnya.
Dalam ceritera, mereka kemudian mencoba mengenali hewan besar itu dengan menyentuh bagian tubuh yang berbeda-beda. Satu orang meraba belalainya dan menyimpulkan bahwa gajah itu seperti ular. Orang lain menyentuh kakinya yang kokoh dan berpendapat gajah itu seperti pohon. Sementara yang lain lagi merasakan telinganya yang lebar dan menyamakannya dengan kipas.
Karena pengalaman mereka yang terbatas pada satu bagian tubuh gajah saja, masing-masing orang buta memiliki deskripsi yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Dalam beberapa versi, perbedaan persepsi ini berujung pada perselisihan dan pertengkaran, di mana setiap orang merasa bahwa deskripsinya adalah satu-satunya kebenaran.
Moral dari perumpamaan ini sangat relevan dengan apa yang terjadi dalam kasus “Gubernur Konten”. Hanya melihat secuil informasi, berupa potongan video yang telah diedit dan disebarkan, cenderung membentuk opini dan kesimpulan yang parsial. Mereka hanya merasakan “satu bagian tubuh gajah” dan menganggapnya sebagai representasi utuh dari keseluruhan situasi.
Sentilan Rudy Mas’ud, yang dalam konteks aslinya mungkin hanya dimaksudkan sebagai keakraban sesama rekan gubernur, kemudian diinterpretasikan secara beragam. Pihak yang hanya melihat potongan video tanpa memahami konteks rapat secara keseluruhan, dengan mudah memberikan label negatif dan menghakimi. Bahkan gagal melihat “gajah” secara utuh, yaitu substansi pembicaraan mengenai kondisi infrastruktur Kaltim yang juga menjadi fokus Rudy dalam rapat tersebut.
Perumpamaan gajah dan orang buta mengajarkan tentang bahaya klaim kebenaran absolut berdasarkan pengalaman subjektif dan terbatas.
Dalam konteks media sosial, di mana informasi tersebar dengan cepat dan seringkali tanpa verifikasi yang memadai, risiko terbentuknya opini yang bias dan tidak akurat menjadi semakin besar.
Apa kata Psikolog?
Sebuah celetukan sederhana, "Gubernur Konten," terlontar dan seketika menjadi bola liar yang menggelinding di linimasa, memantik beragam interpretasi dan perdebatan sengit di antara warganet.
Ayunda Ramadhani, Ketua Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi (IPK HIMPSI) Kalimantan Timur, membuka lensa psikologis untuk menelisik fenomena ini. Baginya, insiden ini adalah cerminan dinamika personal branding di era digital, terutama bagi para pemimpin yang kini tak terpisahkan dari platform media sosial.
"Era digital ini telah mengubah lanskap komunikasi. Media sosial bukan lagi sekadar ruang berbagi, tetapi juga panggung personal branding yang sangat kuat, terutama bagi para pemimpin, termasuk para gubernur," ungkap Ayunda.
Jejak digital seorang pemimpin, terutama melalui konten-konten yang diunggah, memiliki daya jangkau dan pengaruh yang luas. Apalagi jika sosok tersebut adalah seorang gubernur, figur publik yang tindak-tanduknya senantiasa menjadi perhatian.
Konten yang positif dan konstruktif, yang menyajikan kebijakan-kebijakan bermanfaat, tentu akan menumbuhkan persepsi positif dan memperkuat kepercayaan masyarakat.
Sosok KDM, panggilan akrab Dedi Mulyadi menjadi contoh konkret dalam analisis ini. Dengan jutaan pengikut di Instagram, setiap unggahan tak hanya dilihat, tetapi juga berpotensi memengaruhi opini publik. Kebijakan-kebijakannya pun, yang kerap dikomunikasikan melalui media sosial, dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat Jawa Barat.
Namun, fokus utama Ayunda tertuju pada celetukan "Gubernur Konten" itu sendiri. Alih-alih melihatnya sebagai sebuah serangan atau sindiran, ia justru menanggapinya dengan netral.
Menurutnya, sebutan tersebut tak lebih dari sebuah deskripsi faktual. KDM memang dikenal aktif dan produktif dalam membuat konten di berbagai platform media sosial. Kerja keras tim medianya pun patut diacungi jempol dalam membangun citra sang gubernur di dunia maya.
"Sebenarnya, jika kita melihatnya tanpa prasangka, celetukan itu netral saja. Tidak ada indikasi Gubernur Kaltim ingin menyudutkan sebutan Gubernur Konten sebagai hal yang jelek. Apalagi, respons dari Gubernur Jabar sendiri sangat bijak," tutur Ayunda.
Respons KDM memang patut diacungi jempol. Alih-alih terpancing emosi, ia justru menanggapinya dengan santai, bahkan melihat sisi positif dari popularitas kontennya. Kecerdasan emosional inilah yang menurut Ayunda patut menjadi sorotan.
Ia melihat interaksi ini sebagai sebuah komunikasi yang berarah dan perlu ditanggapi dengan kepala dingin. Konten-konten KDM, menurutnya, juga banyak mengarah pada hal-hal positif dan inovatif, seperti kebijakan vasektomi dan pelarangan wisuda yang sempat menjadi perbincangan nasional.
Dari kacamata psikologi, Ayunda menegaskan bahwa media sosial adalah perpanjangan dari personal branding. Semakin kuat dan positif personal branding seseorang, semakin besar pula kemungkinan munculnya berbagai respons, baik yang mendukung maupun yang mengkritisi. Dalam konteks ini, ia menilai celetukan "Gubernur Konten" lebih sebagai sebuah observasi netral, tanpa tendensi apa pun.
Ayunda pun mengamati bahwa interaksi tersebut tidak berlanjut menjadi polemik berkepanjangan, menandakan kedewasaan dalam berkomunikasi antar pemimpin daerah.
Pesan krusial yang ditekankan Ayunda adalah pentingnya menjaga citra publik, terutama bagi seorang pemimpin. Citra yang dibangun di media sosial idealnya sejalan dengan integritas dan tindakan konkret di dunia nyata. Konten yang menarik hendaknya tidak menjadi topeng untuk menutupi kekurangan atau hal-hal negatif.
Tak luput dari perhatian Ayunda adalah riuhnya komentar warganet yang menyertai video tersebut. Ia mengamati adanya polarisasi opini, di mana sebagian komentar cenderung menyerang dan menggiring opini negatif terhadap salah satu pihak, bahkan membanding-bandingkan kinerja antardaerah.
"Itulah efek media sosial, kita tidak bisa mengontrol komentar orang," ujar Ayunda.
Sebagai pengguna media sosial, Ayunda memberikan nasihat bijak untuk selalu berhati-hati dalam memberikan komentar. Ruang digital bukanlah ruang tanpa hukum. Undang-Undang ITE dan peraturan terkait lainnya dapat menjerat siapa saja yang lalai dalam berucap dan bertindak di dunia maya.
"Sebelum mengetikan komentar, berilah jeda untuk berpikir. Apakah komentar saya ini perlu? Apakah bermanfaat? Dan apa dampaknya nanti?" saran dosen psikologi Universitas Mulawarman itu.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, komentar-komentar negatif, provokatif, dan berpotensi hate speech dapat dihindari.
Jejak digital sangat mudah dilacak. Komentar yang mengandung ujaran kebencian atau berpotensi memecah belah dapat berujung pada konsekuensi hukum yang serius. Oleh karena itu, kebijaksanaan dalam bermedia sosial di era digital ini adalah sebuah keharusan.
Kasus sentimentil “Gubernur Konten” menjadi pelajaran tentang pentingnya melihat sebuah isu secara komprehensif dan menghindari terjebak dalam interpretasi sepotong-sepotong informasi.
Sebelum menghakimi dan berkomentar negatif, ada baiknya untuk mencari tahu konteks yang lebih luas dan mendengarkan berbagai perspektif. Jangan sampai menjadi seperti orang-orang buta yang bertengkar hanya karena gagal memahami keseluruhan wujud sang gajah.