Sangatta (ANTARA Kaltim)- Warga Suku Adat Dayak di Desa Long Noran, Kecamatan Telen, Kabupaten Kutai Timur, Kaltim menuntut ganti rugi sebesar Rp4 miliar kepada perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT Tapian Nadengan Bukit Subur Estate, karena diduga sebagai penyebab rusaknya hutan .
Tanen Uyang (65), salah satu tokoh adat Dayak Long Noran di Sangatta, Rabu, mengatakan tuntutan ganti sebesar Rp4 miliar itu, karena ribuan pohon ditebang dan berbagai pohon berharga dirusak dan tidak bisa tumbuh kembali.
"Nilai ganti rugi uang itu masih kurang kalau dibandingkan dengan kerusakan hutan kami seluas 1.035 hektare dan ribuan pohon ditebang dan dirusak.
Ia mengatakan, ribuan hektare hutan dibabat habis, sehingga mengakibatkan lingkungan rusak, rotan, kayu dan bambu juga rusak, kemudian diganti dengan tanaman kelapa sawit.
Menurut Tanen, perusahaan tersebut diduga melakukan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di luar izin Hak Guna usaha (HGU) yang dikeluarkan pemerintah daerah.
"Kawasan hutan tersebut kami jaga dan kami rawat sejak tahun 1965 sejak awal kepindahan kami dari Apukayan, daerah perbatasan dengan negara tetangga, Malaysia," katanya.
Menurut dia, lahan yang digarap perusahaan tanpa ganti rugi itu dimiliki lebih dari 200 kepala keluarga (KK) yang merupakan warga asli suku Dayak Kenyah
Masalah ini, katanya, akan semakin rumit karena tuntutan ganti rugi ditolak perusahaan PT Tapian Nadengan Bukit Subur Estate dengan alasan tersendiri.
"Kami sudah melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan tersebut untuk menyampaikan tuntutan ganti rugi yang diajukan warga adat Dayak Long Noran, tetapi sejauh ini belum ada respon," ujarnya.
Dia mengatakan, perusahaan itu tidak bersedia membayar ganti rugi, padahal lahan itu benar-benar milik penduduk lokal dengan alasan memiliki HGU, padahal itu diluar izin yang telah dikeluarkan pemerintah.
Ia mengatakan, bersama warga adat lainnya pihaknya akan terus berusaha untuk memperjuangkan tanah adat dan akan meminta bantuan kuasa hukum adat untuk menggugat mereka.(*)