Samarinda (ANTARA) - Pengamat kesehatan masyarakat Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda Herry Farjam menanggapi naiknya Prevalensi Balita Stunting Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang mencapai 23,9 persen, dengan memberikan masukan agar hal tersebut diperhatikan dari hulu ke hilir.
“Persoalan kesehatan masyarakat (kesmas) terutama perkara stunting ini bukan saatnya lagi berbicara bagaimana upaya penanganan saat Balita, dalam hal ini hanya berorientasi pengobatan, namun lebih kepada soal promotif dan edukasi ke masyarakat sejak dini,” ungkap Herry di Samarinda, Jumat.
Ia menjabarkan peran Pusat Kesahatan Masyarakat (Puskesmas) acap kali diorientasikan sebagai wadah berobat masyarakat, sehingga penanganan dan pencegahan terhadap warga yang sehat tidak diperhatikan secara intens, dan banyak menghabiskan waktu mengurusi orang sakit.
Lanjutnya, Puskesmas mesti menyeimbangkan dengan upaya-upaya preventif dan promotif terkait bagai mana warga bisa diberikan pemahaman tentang pola gizi, pola hidup, dan juga kesehatan mental, jadi Puskesmas berperan vital sebagai pusat konsultasi kesehatan masyarakat.
“Jadi bukan hanya mengurusi yang hilirnya saja, dalam artian mengurusi anak-anak yang sudah mengalami stunting dampak dari kekurangan gizi, namun sedari hulu juga para ibu-ibu apalagi yang sedang hamil sudah dibimbing tentang pemahaman terhadap olah gizi yang sehat menangkal stunting,” papar Herry.
Dosen Ilmu Kesmas tersebut mengemukakan, penurunan stunting adalah kerja sama pemerintah dengan masyarakat dalam mencapai target angka stunting yang dipatok nasional, terkait itu peran media juga diperlukan mempublikasikan dan memberikan pemahaman publik.
Selain itu juga, institusi pendidikan juga punya peran penting dalam menangkal stunting dari hulu, yakni mengoptimalkan salah satu dari tri dharma perguruan tinggi, dengan pengabdian kepada masyarakat, dalam bentuk menurunkan mahasiswa Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang juga bisa dimaksimalkan melakukan tugas promotif pemahaman nilai gizi kepada masyarakat.
Ia juga menambahkan, selain kebutuhan gizi, hal yang mesti dipenuhi adalah ketersediaan air bersih dan sanitasi lingkungan dalam program menurunkan angka stunting. Tiga hal tersebut adalah upaya terbaik menurunkan stunting tersebut.
“Oleh karena itu, sebenarnya porsi anggaran mesti diperhatikan dari hulunya, seperti penambahan tenaga penyuluh kesehatan, tenaga pendamping yang membimbing para ibu-ibu hamil, para orang tua asuh, dan juga pemenuhan infrastruktur yang berhubungan dengan kebutuhan air bersih serta sanitasi lingkungan di desa-desa,” beber Dosen Ilmu Kesmas itu.
Dikemukakannya, terkait dengan solusi atas kebutuhan gizi bagi warga yang kurang mampu, bahwa perlu program satu rumah tangga berternak dua ekor ayam petelur, dengan begitu mereka bisa memenuhi kebutuhan telur untuk balita di lingkup rumah tangga, sehingga kebutuhan atas protein hewani tertutupi.
“Ibu-ibu hamil juga secara intensif dibimbing bagaimana mengasuh anak dengan baik, karena tak sedikit para orang tua belum terlalu paham soal mengasuh anak dengan baik dan sehat, dan anggaran pendampingan dari tenaga penyuluh kesehatan masyarakat mestinya ditingkatkan,” jelas pria yang pernah menjadi jurnalis itu.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Kaltim menargetkan penurunan Prevalensi Balita Stunting sebesar 4,95 persen setiap tahun agar target nasional 14 persen pada 2024 bisa terkejar, dengan kondisi ini perlu kerja sama yang solid antar perangkat daerah agar target yang dipatok bisa tercapai.
“Pada akhir 2023, target penurunan stunting Kaltim dipatok menjadi 18,9 persen, dan pada akhir 2024, mencapai 14 persen, perlu kerja yang keras dari semua pihak yang berkepentingan dan tetap kita akan upayakan capai target,” sebut Kepala Dinas Kesehatan Kaltim Jaya Mualimin di Samarinda, Jumat.
Ia menjelaskan, pada 2022 Provinsi Kaltim mengalami peningkatan Prevalensi Balita Stunting sebesar 1,1 persen dari 22,8 persen jika dibanding pada angka stunting tahun 2021, artinya ada kenaikan menjadi 23,9 persen.