Paser (ANTARA) - Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Paser berupaya menurunkan angka pernikahan di kalangan pelajar dengan menangguhkan pernikahan.
"Sebanyak 95 anak di bawah umur sepanjang tahun 2022 mengajukan dispensasi pernikahan dikarenakan hamil di luar nikah," kata Kabid Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan DP2KBP3A Paser, Kasrani Lathief di Tanah Grogot, Kamis.
Ia menyebutkan, angka tersebut tertinggi se-Kalimantan Timur. Angka tersebut menjadi perhatian dan perlu dilakukan pencegahan dini.
Kasrani menjelaskan, berbagai macam upaya pencegahan dini agar kasus hamil di luar nikah tidak menimpa pelajar atau anak di bawah umur. Tentunya dengan penguatan moral, pelajaran agama bukan hanya sebagai teori, tapi perlu mendapat perhatian lebih.
Selanjutnya, harus terpenuhinya pendidikan formal bagi anak, minimal hingga tingkat SMA. Riset menunjukkan, meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah perkawinan anak.
Kemudahan mendapat akses pendidikan, membuat anak-anak memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal tersebut pada akhirnya dapat lebih memudahkan dalam mencari pekerjaan sebagai persiapan menghidupi keluarga.
"Yang tidak kalah penting adalah sosialisasi tentang pendidikan seks," katanya.
Menurutnya, kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual menjadi salah satu alasan masih tingginya pernikahan dini di Indonesia. Pencegahan dini terhadap masalah ini bukan hanya dilakukan oleh anak. tetapi juga peran orangtua juga penting dalam memberikan edukasi kepada anak-anak.
Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemberdayaan kepada pelajar terkait konsekuensi negatif dari pernikahan dini. Adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat menginspirasi agar membela hak-hak anak perempuan dan tidak memaksanya untuk menikah dini.
"Pemerintah Kabupaten Paser mendorong orangtua, untuk tidak menikahkan anaknya sebelum usia 19 tahun. Hal itu telah diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014," katanya.
Kasrani juga mendorong adanya Peraturan Daerah (Perda) tentang wajib belajar 12 tahun dengan mencantumkan sanksi tertentu. Sepintas ini terkesan memaksa, tapi memaksa untuk kebaikan.
“Memaksa agar setiap anak Indonesia minimal menyelesaikan wajib belajar 12 tahun atau menamatkan bangku SLTA,” katanya.