Samarinda (ANTARA) - Pengamat ekonomi lingkungan Universitas Mulawarman Bernaulus Saragih mengatakan tidak ada pembayaran ganti rugi dua kali dalam sengketa antara masyarakat adat Dayak Desa Long Bentuq dan PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA).
“Memang tidak bisa kalau sampai dua kali. Yang penting, pembayaran sebelumnya harus diberikan kepada orang yang tepat dan sesuai aturan,” kata Bernaulus di Samarinda, Minggu.
Ia menjelaskan yang dimaksud tepat yakni ganti rugi dibayarkan kepada pemilik lahan, sedangkan yang dimaksud sesuai aturan, bahwa jumlah pembayaran sesuai kesepakatan antara perusahaan dan pemilik lahan.
Selain itu, bahwa pembayaran juga diketahui oleh kepada adat dimana lokasi lahan tersebut dibayarkan, yaitu Kepala Adat Desa Long Pejeng.
Jika semua sudah dipenuhi dalam proses ganti rugi, maka bukan urusan PT SAWA jika saat ini masyarakat adat Desa Long Bentuq meminta kembali ganti rugi.
Saat ini, lanjut Bernaulus justru harus dilakukan, adalah musyawarah antara kedua desa, yaitu Long Pejeng dan Long Bentuq.
Lulusan University of Leiden Belanda ini menambahkan, dalam musyawarah tersebut, kedua desa harus benar-benar menyelidiki sejarah lahan. Siapa pemilik tanah dan batas-batasnya, serta kebenaran bahwa mereka sudah diberi ganti rugi oleh perusahaan atau tidak.
“Bila sudah selesai bahwa yang sudah diganti rugi menurut warisan dan turunan termasuk wilayah Long Pejeng, maka Long Bentuq harus mengakui dan jangan menuntut. Jadi, kuncinya memang ada di Desa Long Pejeng dan Long Bentuq,” kata Bernaulus.
Di sisi lain dia mengatakan, kalau memang PT SAWA sudah membayarkan ganti rugi kepada pemilik lahan yang sah, maka pemberian plasma dan juga berbagai program kemitraan dan CSR, merupakan solusi terbaik.
Apalagi, kewajiban perusahaan tersebut juga tertuang dalam hasil mediasi Pemkab Kutai Timur, 10 Februari lalu.