Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Vonis delapan bulan penjara bagi empat pembantai Orangutan Kalimantan (pongo pygmeaus morio) oleh mejelis hakim Pengadilan Negeri Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menunjukkan belum berpihaknya hukum pada upaya konservasi satwa langka dan dilindungi tersebut.
Pengamat Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, La Sina, menyatakan, pranata hukum terkait perlindungan satwa telah diatur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta.
Namun, akibat minimnya kontrol masyarakat proses peradilan itu berjalan tanpa melalui pengawasan yang ketat, sehingga vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku jauh di bawah ancaman hukuman, sesuai yang diatur dalam pranata hukum tersebut.
"Proses hukum pada pembantaian orangutan tentunya berbeda pada pembunuhan dengan korban manusia. Pada penegakan hukum terkait pembunuhan dengan korbannya manusia, ada keluarga yang mengontrol, lembaga perlindungan hukum serta masyarakat sehingga putusan yang dianggap tidak adil dan jauh dari ancaman hukuman akan mendapat reaksi dari keluarga, masyarakat dan lembaga perlindungan hukum," katanya.
"Tetapi, pada kasus pembantaian orangutan hanya pemerintah dalam hal ini jaksa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang secara langsung terlibat. Sehingga, jika vonis dijatuhkan itu tidak memenuhi rasa keadilan maka tidak mungkin kerabat orangutan yang telah dibantai itu akan memprotes. Jadi, sebenarnya yang sangat berperan menegakkan hukum dalam upaya melindungi satwa tersebut adalah pemerintah dalam hal ini jaksa untuk menyelamatkan populasi orangutan melalui penegakan hukum tersebut," ujar La Sina.
Namun, dia mengaku tidak melihat adanya keseriusan pada upaya konservasi orangutan, sebab jaksa hanya menuntut satu tahun dari lima tahun ancaman maksimal.
La Sina yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman itu juga mengingatkan proses hukum terkait pembantaian orangutan merupakan yang pertama di Indonesia.
Karena itu, kata La Sina, penegakan hukum kepada para pelaku seharusnya dilakukan dengan memberi hukuman maksimal, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta.
"Proses hukum terkait pembantaian orangutan merupakan kasus pertama di Indonesia sehingga seharusnya ini menjadi contoh agar tidak terjadi lagi kasus seperti itu dan menjadi rujukan pada penegakan hukum sebagai upaya perlindungan satwa langka dan sudah nyaris punah itu," katanya.
"Namun kenyataannya, vonis yang dijatuhkan hakim jauh dari ancaman hukuman, sehingga saya khawatir orang atau kelompok akan mudah melakukan tindakan perburuan dan pembantaian satwa dilindungi khususnya orangutan karena menilai hukumannya tidak terlalu berat," ujar La Sina.
Kasus pembantaian orangutan di Desa Pan Cepak, Kabupaten Kutai Kartanegara sudah menjadi perhatian dunia internasional sehingga vonis yang dijatuhkan hakim itu memberi citra negatif bagi upaya perlindungan satwa langka di Indonesia, katanya.
Terkait dengan kemungkinan adanya intervensi pada proses hukum pembantaian orangutan itu, La Sina tidak menampik sinyalemen tersebut.
Juru Kampanye COP. Arfiana Khairunnisasi juga mengakui, vonis ringan yang dijatuhkan hakim kepada para pelaku akan menjadi preseden buruk pada upaya konservasi satwa langka dan dilindungi itu.
COP berpendapat, hakim sememstinya mengambil peran penting untuk menyelamatkan orangutan dengan memberikan vonis maksimal kepada para pelaku.
"Semestinya, majelis hakim mengambil kesempatan untuk menyelamatkan orangutan yang telah menjadi sorotan dunia internasional, dengan menjatuhkan hukuman maksimal," kata Arfiana Khairunnisa.
Sebelum pembacaan putusan itu, COP telah menggalang dukungan dengan berunjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Negeri Tenggarong agar hakim menjatuhkan vonis maksimal kepada keempat terdakwa.
Pada unjuk rasa itu, para aktivis COP yang menggelar aksi teatrikal dengan cara menggunakan kostum orang utan sambil membawa timbangan dengan mata ditutup kain putih yang melambangkan `Dewi Themis` (dewi keadilan dalam mitologi Yunani).
COP juga sempat membentangkan spanduk bertuliskan "Jangan Takut pada Malaysia dan Orangufriends" sebagai bentuk dukungan penuh pada hakim untuk memberikan vonis hukuman maksimal bagi pembantai orangutan.
"Aksi itu kami lakukan sebagai bentuk dukungan kepada majelis hakim agar menjatuhkan hukuman maksimal kepada empat terdakwa yang melakukan pembantaian terhadap orangutan. Namun, kenyataannya, hukuman yang dijatuhkan tidak mencerminkan adanya upaya konservasi orangutan. Kami juga tidak melihat adanya elemen lain yang secara serius mengawasi proses penegakan hukum pada pembantaian orangutan itu," kata Arfiana Khairunnisa.
"Kami tidak tahu apa pertimbangan majelis hakim sehingga menjatuhkan hukuman jauh di bawah ketentuan hukum terkait upaya perlindungan satwa tersebut," kata Arfiana Khairunnisa.
Pada sidang pembacaan putusan kasus pembantaian orangutan tersebut, majelis hakim menjatuhkan vonis delapan bulan penjara dan denda Rp30 juta dengan subsider enam bulan kurungan kepada Puah Chuan yang menjabat sebagai Senior Estate Manager Divisi Tengah dan Widiantoro sebagai Asisten Kepala Divisi Selatan, PT Khaleda Agroprima Malindo yang merupakan anak perusahaan asal Malaysia, Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad.
Sementara, dua eksekutor di lapangan, Imam Muhtarom dan Mujianto juga divonis delapan bulan penjara dan denda Rp20 juta subsider enam bulan kurungan.
Sanksi Perusahaan
Sementara, peneliti dari Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur, Yaya Rayadin, menyatakan, dia tidak mempersoalkan berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku, tetapi yang terpenting adalah upaya penyelamatan orangutan itu sendiri.
"Saya tidak menilai berapa tahun vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku, namun yang lebih penting, proses hukum terkait pembantaian orangutan tersebut harus tuntas, yakni pihak perusahaan juga harus bertanggung jawab dan semestinya diberi sanksi. Saya juga tidak sependapat jika perusahaan tersebut ditutup, tetapi seharusnya ada sanksi yang diberikan sebagai `shock terapy` bagi perusahaan lain agar tidak memberlakukan satwa langka itu sebagai hama yang harus dibasmi," ujar Yaya Rayadin.
Yaya Rayadin yang juga menjadi saksi ahli pada persidangan tersebut, menilai, kasus pembantaian orangutan yang berlangsung di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara periode 2008 hingga 2010 dilakukan secara terstruktural.
"Kasus pembantaian orangutan itu tidak dilakukan oleh individu, tetapi saya melihat terkoordinir, sebab ada eksekutor di lapangan, ada yang membayar dan yang memerintahkan. Namun, yang diseret ke meja hijau hanya pelaku di lapangan sementara pihak perusahaan tidak mendapatkan sanksi," katanya.
Doktor Ekologi dan Konservasi Satwa Liar itu juga menilai, masih minimnya perhatian pemerintah terhadap upaya konservasi orangutan.
"Semestinya, kasus pembantaian orangutan di Desa Puan Cepak menjadi pembelajaran dan pemerintah seharusnya mengambil langkah, bukan hanya memberikan sanksi tetapi melakukan pendampingan kepada perusahaan," kata dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman tersebut.
COP kata Arfiana Khairunnisa juga sependapat jika pemerintah memberikan sanksi kepada pihak PT Khaleda Agroprima Malindo yang merupakan anak perusahaan asal Malaysia, Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad.
"Pembantaian orangutan itu dilakukan secara terorganisir sehingga harus ada sanksi kepada perusahaan itu. Salah satu hal yang menggembirakan pada vonis pembantaian orangutan itu yakni, majelis hakim juga menyatakan bersalah kepada pihak perusahaan sehingga semestinya putusan tersbeut harus ditindaklanjuti pemerintah dengan pemberian sanksi," kata Arfiana Khairunnisa.
Kasus pembantaian orangutan di kawasan perusahaan perkebunan sawit PT KAM di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara itu terungkap pada November 2011.
Polisi yang awalnya mengalami kesulitan mengungkap pembantaian orangutan tersebut akibat minimnya bukti akhirnya menetapkan lima tersangka setelah ditemukan foto dan kerangka orangutan yang diduga hasil pembantaian.
Dan ternyata, vonis hakim terhadap para pelaku itu justru membuahkan kekecewaan bagi upaya pelestarian satwa yang dilindungi itu. (*)
Penegakan Hukum Belum Berpihak Pada Konservasi Orangutan
Minggu, 22 April 2012 20:37 WIB