Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Pengamat hukum Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur, La Sina, menilai vonis delapan bulan penjara yang dijatuhkan hakim kepada empat pelaku pembantai Orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) terlalu ringan.
"Kasus pembantaian orangutan di Desa Puan Cepak, Kabupaten Kutai Kartanegara, sudah menjadi perhatian dunia internasional sehingga vonis yang dijatuhkan hakim yakni hanya delapan bulan jelas memberi citra negatif bagi upaya perlindungan satwa langka di Indonesia," ujar La Sina, Jumat.
Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda itu, proses hukum terkait pembantaian orangutan merupakan yang pertama di Indonesia.
Karena itu, kata La Sina, penegakan hukum terhadap para pelaku seharusnya dilakukan dengan memberi hukuman maksimal, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta.
"Proses hukum terkait pembantaian orangutan merupakan kasus pertama di Indonesia sehingga seharusnya ini menjadi contoh agar tidak terjadi lagi kasus seperti itu dan menjadi rujukan pada penegakan hukum sebagai upaya perlindungan satwa langka dan sudah nyaris punah itu," katanya.
"Namun kenyataannya, vonis yang dijatuhkan hakim jauh dari ancaman hukuman sehingga saya khawatir orang atau kelompok akan mudah melakukan tindakan perburuan dan pembantaian satwa dilindungi khusunya orangutan karena menilai hukumannya tidak terlalu berat," kata La Sina.
Dia juga menilai jaksa tidak serius menegakkan hukum terkait perlindungan orangutan.
Sinyalemen itu kata La Sina terlihat dari tuntutan jaksa yang hanya menuntut keempat terdakwa masing-masing satu tahun penjara.
"Bagaimana mau banding kalau tuntutannnya saja jauh dari ancaman hukuman. Semestinya, negara dalam hal ini pihak kejaksaan serius melakukan upaya perlindungan itu apalagi kasus ini sudah menyangkut ranah hukum. Jadi, seharusnya jaksa menuntut pelaku dengan tuntutan maksimal yakni lima tahun penjara sehingga jika vonisnya jauh di bawah tuntutan itu, mereka bisa banding," kata La Sina.
Pengamat hukum itu juga tidak menampik kemungkinan adanya intervensi dari pihak tertentu terkait proses hukum pembantaian orangutan tersebut. Apalagi, menurut dia, keempat pelaku pembantaian itu berasal dari sebuah perusahaan besar.
Proses hukum terkait pembantaian orangutan, kata La Sina, berbeda dengan kasus pembunuhan manusia.
Jika orangutan dibunuh atau dibantai, kemudian vonisnya ringan maka tidak ada keluarga atau pihak lain yang keberatan, tetapi jika yang dibunuh manusia pasti pihak keluarga keberatan jika vonisnya ringan dan jauh dari ancaman hukuman kasus pembunuhan, katanya.
"Di sinilah peran jaksa yang mewakili negara untuk melakukan pembelaan atau perlindungan sebab tidak mungkin orangutan yang akan melakukannya," ujar La Sina.
Pada sidang pembacaan putusan kasus pembantaian orangutan yang berlangsung di Pengadilan Negeri tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara Rabu (18/4), majelis hakim menjatuhkan vonis delapan bulan penjara dan denda Rp30 juta atau subsider enam bulan kurungan kepada Puah Chuan yang menjabat sebagai Senior Estate Manager Divisi Tengah dan Widiantoro sebagai Asisten Kepala Divisi Selatan, PT Khaleda Agroprima Malindo yang merupakan anak perusahaan asal Malaysia, Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad.
Sementara, dua eksekutor di lapangan, Imam Muhtarom dan Mujianto juga divonis masing-masing delapan bulan penjara dan denda Rp20 juta subsider enam bulan kurungan.
Kasus pembantaian orangutan di kawasan perusahaan perkebunan sawit PT KAM di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara itu terungkap pada November 2011.
Polisi yang awalnya mengalami kesulitan mengungkap pembantaian orangutan tersebut akibat minimnya bukti namun akhirnya menetapkan lima tersangka setelah ditemukan sejumlah dokumen serta foto dan kerangka orangutan yang diduga hasil pembantaian. (*)
Pengamat: Vonis Pelaku Pembantaian Orangutan Terlalu Ringan
Jumat, 20 April 2012 19:19 WIB