Jakarta (ANTARA) - Kasus Audrey di Pontianak, Kalimantan Barat, begitu menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Kasus itu membuat kita prihatin, sedih, dan bertanya; ada apa dengan perilaku anak-anak pengeroyok Audrey?
Sudahkah hilang rasa sehingga begitu sadis melakukan perbuatan kriminal yang tidak layak dilakukan seorang anak? Kita berperan memberikan kontribusi dalam perilaku anak-anak yang bermasalah. Kita bertanggung jawab.
Menurut W.I. Thomas, dalam studinya terhadap kenakalan remaja menyimpulkan bahwa frustasi merupakan sumber utama dari timbulnya kenakalan remaja.
Selanjutnya, dikatakan bahwa sebab-sebab timbulnya frustasi tersebut karena tidak dipenuhinya empat kebutuhan pokok (four wishes) remaja, yaitu adanya kebutuhan untuk memperoleh rasa aman, kebutuhan untuk memperoleh pengalaman baru sebagai usaha untuk memenuhi dorongan ingin tahu, petualangan, sensasi, kebutuhan untuk ditanggapi sebagai pemenuhan dorongan cinta, persahabatan, serta kebutuhan untuk memperoleh pengakuan yang berupa status atau prestise.
Keempat kebutuhan tersebut apabila tidak terpenuhi secara terus-menerus, akan menimbulkan frustasi pada remaja. Selain itu, perasaan diperlakukan tidak adil merupakan bentuk khusus dari frustasi, seperti apa yang dikatakan oleh Sigmund Freud bahwa syarat pertama dari budaya keadilan.
Apabila individu merasa rasa keadilannya di-"perkosa", perasaan frustasinya akan mendorongnya, terutama sekali untuk melakukan perbuatan agresif.
Apakah kebutuhan tersebut sudah mereka dapatkan? Kita mengevaluasi diri, kesalahan mereka di mana? Kita ada di mana sehingga hak-hak tersebut tidak kita berikan? Di dalam Konvensi Hak-Hak Anak sudah mengatur, adanya prinsip nondiskriminasi, prinsip yang terbaik bagi anak, prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan, serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak, ada kewajiban bagi negara memberikan perlindungan terhadap anak.
Negara, pemerintah, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, lembaga sosial, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak tersebut sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam beberapa undang-undang yang lain juga telah diatur, di antaranya tentang hak pendidikan bagi anak, sistem pendidikan nasional, kesejahteraan, perlindungan anak, sistem peradilan pidana anak yang merupakan bagian dari bentuk tanggung jawab negara dalam upaya memberikan pemenuhan terhadap hak-hak anak. Namun, peraturan hanyalah sarana sebagai bentuk legalitas yang menjamin terlaksananya hak-hak anak di Indonesia.
Menurut Friedmen, masih diperlukan unsur yang lain, yaitu siapakah pelaksana peraturan, manusia yang tentunya memiliki kompetensi dan kualitas yang memenuhi persyaratan, serta kultur hukum dalam masyarakat yang akan memengaruhi pelaksana peraturan yang diharapkan adalah kepentingan terbaik bagi anak.
Anak berhak terhadap hak-haknya yang harus mereka dapatkan dari keluarga, sekolah, masyarakat, negara, dan bersama ikut bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas mereka. Bukan lepas tangan ketika mereka berperilaku salah, bukan hanya prestasi yang diakui oleh keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara.
Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak.
Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak. Kasus Audrey bukan hanya milik mereka, melainkan kita tanggung renteng bertanggung jawab terhadap perilaku mereka.
Audrey sebagai korban harus ditangani tidak hanya secara medis, tetapi juga diperlukan pendampingan psikolog untuk penyembuhan traumatis setelah kejadian. Mengembalikan kepercayaan dirinya untuk kembali beraktivitas secara normal. Bagi pelaku pun juga sama, harus mendapatkan pendampingan advokasi, baik secara hukum maupun konseling secara psikis, dilengkapi dengan riwayat pendidikan, keluarga, dan lingkungan mereka.
Kita berikan yang dibutuhkan untuk keduanya, baik pelaku maupun korban. Bagi pelaku tentu kita tidak menginginkan adanya pengulangan terhadap perbuatan tersebut karena kita salah dalam penanganan.
Bagaimana dengan kebijakan? Peraturan yang akan diterapkan bukan sekadar secara formal terperangkap dalam konsep penal, patut menjadi pertimbangan dalam kebijakan nonpenal yang baik untuk kedua belah pihak. Masa depan anak-anak kita, keberlangsungan pendidikan bagi mereka sehingga mereka tidak akan menjadi pelaku kriminal yang sebenarnya karena kita lebih mengedepankan aspek penjeraan yang bersifat pembalasan.
Kita wajib kawal keduanya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pelaku yang sebenarnya juga sebagai korban karena lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, yang ikut berperan membentuk perilaku salah dan korban fisik dalam kasus tersebut.
Negara wajib memberikan hak-hak mereka, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Kita melakukan bersama-sama, kita instropeksi, kita evaluasi, kita bertanggung jawab terhadap perilaku anak-anak kita. Salam untuk anak-anak Indonesia yang lebih baik.
*) Dr Nur Rochaeti SH MHum adalah Dosen Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Telaah - Anak berperilaku kriminal, salah siapa?
Kamis, 11 April 2019 13:52 WIB
.