Samarinda (ANTARA Kaltim) - Matahari hampir lurus di atas kepala ketika 23 ibu anggota Dharma Wanita Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi Kalimantan Timur tiba di Sekolah Sungai Karang Mumus, Muang, Samarinda Utara, Kota Samarinda, Jumat (20/10).
Mereka datang ke sekolah sungai untuk mengenal tentang restorasi sungai. Kedatangan mereka pun cukup unik karena tidak mau melalui jalan darat, namun lebih memilih naik perahu dengan lama perjalanan sekitar 1,5 jam, mulai Jembatan Kehewanan hingga Muang, Kelurahan Lempake.
Perjalanan melalui jalur air menggunakan empat perahu itu, memiliki dua tujuan. Tujuan pertama ingin mengetahui secara langsung tentang kondisi Sungai Karang Mumus (SKM) yang sedang "sakit parah" akibat penuh limbah dan berbagai jenis sampah yang sengaja dibuang warga sehingga berbagai penyakit menular ada di dalamnya.
Belum lagi perampokan ruang sungai yang terus terjadi hingga kini, mulai dari penebangan pohon di masa lalu, berdirinya tiang rumah baru, pembiaran pemerintah terhadap berdirinya bangunan, penurapan dalam garis sempadan, hingga jamban aktif yang menambah penderitaan sungai.
Tujuan kedua perjalanan dengan perahu ini adalah untuk ekowisata karena di kawasan tengah hingga hulu SKM masih ada beberapa titik yang yang masih "perawan", karena ruang sungainya belum "dirampok" untuk dijadikan pemukiman atau dikaplingkan.
Di Keinan Kanopi misalnya, di kawasan yang diapit oleh Kelurahan Gunung Lingai dan Kelurahan Sempaja Utara ini terdapat berbagai jenis pohon lokal di sisi kanan dan kiri sungai sepanjang sekitar 200 meter, terdiri atas pepohonan rapat sebagai kanopi (payung) sekitar 100 meter dan yang jarang-jarang sekitar 100 meter.
Sesampai di Sekolah SKM Muang, kaum ibu tersebut disambut Ketua dan Koordinator Umum Komunitas Gerakan Memungut Sehelai Sampah (GMSS) SKM Samarinda, yakni Misman dan Yustinus Sapto Hardjanto.
Dua orang ini di antara mereka yang paling aktif menggaungkan restorasi sungai, di samping ada Keinan Harjanie, Krisdiyanto, Iyau Tupang, Isam, Dillah, Markus, Bahrul Huda, dan sejumlah anggota GMSS-SKM lain.
Ketua DWP PUPR Provinsi Kaltim Setiyo Rahayu Taufik beserta anggota setelah mendapat sedikit pemahaman tentang restorasi sungai dari Misman dan Yustinus, kemudian membantu memasukkan tanah ke polibag untuk pembibitan tanaman khas SKM, seperti pohon bamban, bungur, kedemba, rambai padi, rengas, ara, dan aneka jenis riparian lain.
Setelah itu, mereka pun menanam bibit pohon kedemba di areal sekolah sungai pada bibir sungai setempat. Penanaman pohon ini juga merupakan bagian dari restorasi sungai, yakni upaya mengembalikan tumbuhan asal yang mulai hilang dari kawasan SKM.
Kegiatan lain yang dilakukan adalah membuat ekobrik, yakni memasukkan sampah plastik ke dalam botol bekas minuman sehingga botol tersebut bisa dijadikan berbagai benda sesuai kebutuhan, seperti tempat duduk, meja belajar, hiasan taman, dan fungsi lainnya.
Tujuan pembuatan ekobrik, di antaranya untuk menghindari perilaku menyimpang warga yang suka membuang sampah ke parit dan sungai, mencegah pencemaran lingkungan karena plastik yang dibuang tidak bisa dihancurkan oleh tanah hingga ratusan tahun sehingga membuat tanah tidak subur, sedangkan jika dibakar bisa meracuni paru-paru.
Setiyo Rahayu berharap gerakan yang telah dirintis oleh GMSS-SKM ini bisa terus didukung semua elemen masyarakat dan pemerintah daerah, agar keinginan melakukan restorasi sungai cepat terwujud.
Sebesar apapun kekuatan komunitas atau LSM seperti GMSS-SKM, ungkapnya, tentu tidak akan sanggup bekerja sendiri karena permasalahan yang dihadapi SKM sangat kompleks.
"Jadi harus ada campur tangan banyak pihak. Itu pula sebabnya kami di DWP turut peduli yang tentunya juga sebatas kemampuan kami dalam membantu," ucapnya.
Dari aksi yang dilakukan GMSS-SKM selama lebih dari dua tahun ini, ia berharap makin mampu menumbuhkan kesadaran warga tentang peran dan fungsi sebuah sungai untuk kehidupan.
Sejarah pertumbuhan permukiman selalu diawali dari sungai karena air sebagai sumber kehidupan sehingga dalam perkembangannya, setiap warga seharusnya tidak menistakan sungai.
Sungai bukan tempat sampah, sehingga limbah atau sampah dari rumah tangga jangan sampai dibuang ke sungai.
Kelestarian sungai harus tetap dijaga, karena ia menjadi warisan untuk generasi mendatang. Perilaku masyarakat saat ini yang tidak membuang sampah di sungai, sebagai salah satu upaya positif merawat kelestarian sungai.
Kampanye Tanpa Henti
Kampanye restorasi untuk SKM merupakan sebuah upaya untuk menyadarkan semua pihak tentang arti penting sungai bagi manusia dan ekosistemnya, mengingat begitu kompleks permasalahan yang dihadapi sehingga tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi semua elemen harus turut mengampanyekan restorasi bagi SKM.
Makna restorasi sungai disebut Ketua GMSS-SKM Samarinda Misman sebagai amat luas, antara lain terkait dengan restorasi sosial, budaya, ekonomi, ekosistem, air, dan ruang sungai.
Ia mengemukakan pentingnya merinci sudut gerakan restorasi sungai agar lebih jelas.
Misalnya terkait restorasi sosial dan ekonomi, tak bisa dipungkiri bahwa SKM menjadi saksi sejarah tentang pertumbuhan hingga perkembangan Kota Samarinda.
Zaman dahulu sungai menjadi sarana utama transportasi warga dalam menjual hasil panen maupun membeli kebutuhan dari Pasar Pagi dan membawa barang dari pelabuhan.
Kemudian SKM juga menjadi tempat bagi nelayan dan masyarakat mencari ikan, jalur transportasi angkutan pasir yang diambil dari Sungai Mahakam, dan aneka fungsi lainnya yang hingga kini sebagian masih berlangsung.
Untuk mengembalikan fungsi tersebut, sebenarnya bisa dilakukan jika semua pihak memahami tentang apa itu restorasi sosial ekonomi di SKM, sehingga sungai ini ke depan bisa mendatangkan penghasilan bagi warga dan pendapatan asli daerah untuk Kota Samarinda.
Caranya dengan mengembalikan fungsi seperti semula, yakni tujuan Tuhan menciptakan sungai sebagai sumber kehidupan manusia dan makhluk lain di sekitarnya, sehingga semua sadar tidak membuang limbah dan sampah ke sungai, kemudian tidak merampas ruang maupun tanaman yang menjadi hak sungai.
Jika ini bisa dilakukan, maka limpahan rezeki akan kembali mendatangi Samarinda melalui sungai karena sungai bisa menjadi tempat wisata asri dan memesona, mengingat keberadaannya di tengah kota yang tidak semua daerah memiliki kelebihan seperti itu.
Di bagian tengah dan hulu SKM, zaman dahulu banyak orangutan, bekantan, monyet, dan aneka satwa lain, namun mereka menghilang karena banyak yang diburu, sedangkan tumbuhan khas sungai ditebang sehingga satwa itu menjauh. Mereka tidak memiliki tempat tinggal dan cadangan makanan.
Aneka satwa tersebut bisa kembali ke ruang SKM asalkan ada komitmen pemerintah untuk merestorasi sungai, sehingga fungsi sungai bisa kembali alami.
Diakui bahwa langkah itu memang tidak mudah, perlu waktu ratusan tahun jika komitmennya hanya setengah-setengah. Namun cuma perlu waktu beberapa tahun jika bersungguh-sungguh.
Spesies Lokal
Dalam mendukung restorasi SKM, GMSS-SKM sedang mengembangkan pusat pembibitan spesies lokal yang mendapat dukungan dari Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Mahakam Berau, melalui program Kebun Bibit Rakyat.
Pembibitan oleh GMSS-SKM ini dilakukan di Muang, tepatnya di sebelah Sekolah Sungai, yakni sebidang tanah pinjaman dari seorang warga setempat.
Di tempat tersebut, komunitas peduli sungai itu melakukan pembibitan secara vegetatif, generatif, dan mengambil bibit alam dari tumbuhan induk.
Saat ini, beberapa yang berhasil dibibitkan dari biji adalah pohon bungur, jinga, putat, dan kapul. Sementara yang masih menunggu perkembangan adalah bibit jabon, pule, dan kademba.
Bibit kademba itu juga mulai ditanam dengan mengambil bibit dari alam yang tumbuh liar di persawahan dan rawa, sedangkan sejumlah tumbuhan khas SKM yang mulai langka dan tidak lagi ditemukan di SKM sehingga masih dicari bibitnya, antara lain pohon ipil, resak, ara, jambu-jambu, dan leban.
Menurut Yustinus, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam restorasi keseluruhan terhadap SKM, seperti restorasi hidrologi dan marfologi, mengingat bentuk sungai terkait erat dengan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air.
Untuk itu, perubahan bahkan pengubahan sungai dan lingkungannya akan membuat siklus air menjadi terganggu, sementara sungai wajib memiliki area lindung, area resapan, sekaligus kawasan penyimpanan air yang berfungsi untuk menjaga air.
Terkait dengan restorasi sosio, ekonomi, dan kultural, mengingat dalam perjalanan sejarahnya bahwa sungai ini juga untuk menopang kehidupan warga Samarinda.
Namun seiring perkembangan kota, kini sungai itu terlupakan jasanya, bahkan kini dijadikan tempat pembuangan sampah. Seolah ia tidak pernah berjasa.
Untuk itu, upaya menyadarkan sekaligus memberikan pengetahuan kepada warga tentang fungsi dan makna penting sungai harus terus diberikan, termasuk mencari alternatif baru ekonomi berbasis sungai sehingga akan mendorong untuk memulihkan, menjaga, dan merawat sungai.
Pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi lokal akan menciptakan partisipasi warga terhadap sungai. Tanpa diminta pun, warga akan sadar terhadap peran penting sungai.
Terkait dengan restorasi ekosistem SKM, selama ini campur tangan manusia dan pemanfaatan berlebihan telah membuat hilangnya flora dan fauna yang dulu banyak di SKM, seperti orangutan, monyet, bekantan, biawak, aneka burung, dan berbagai tanaman khas sungai.
Untuk itu, perlu dilakukan penanaman kembali atau revegatasi terhadap flora lokal. Jika berbagai jenis flora lokal tersebut berkembang dan berbuah, maka alam itu sendiri mampu memanggil aneka fauna yang pernah pergi untuk kembali ke kawasan itu, bagaikan pulang ke rumahnya.
Hal yang tidak kalah penting adalah restorasi kelembagaan. Sungai pada dasarnya milik semua orang sehingga pemerintah perlu melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan sumber daya sungai. Perlu penguatan manajamen sungai berbasis komunitas peduli sungai.
Garis Sempadan
Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Agus Maryono menyarankan kepada Pemerintah Kota Samarinda segera menetapkan garis sempadan sungai jika ingin sumber daya air sungai tidak makin rusak akibat perambahan dan perusakan oleh warga.
Aturan tentang garis sempadan sungai, yakni UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.
Mengingat sudah ada UU dan peraturan pemerintah terkait dengan sungai maka Pemkot Samarinda dalam menetapkan garis sempadan sungai tidak harus mengeluarkan peraturan daerah (perda).
Namun, kata Agus ketika ditemui setelah melakukan penilaian untuk GMSS-SKM dalam lomba Komunitas Peduli Sungai Nasional, pemkot bisa menerapkan salah satu dari tiga cara yang dilakukan bersama masyarakat.
Cara pertama adalah dengan membentuk Tim Penerapan Sempadan yang di dalamnya ada unsur pemerintah daerah dan tokoh masyarakat serta pihak terkait sehingga kemudian tim itu sepakat menentukan garis sempadan.
Cara kedua adalah menonjolkan kearifan lokal, yakni membangun kesadaran masyarakat tentang fungsi dan manfaat sungai sehingga masyarakat sadar yang akhirnya sepakat mematok sendiri mana wilayah sungai yang harus dilindungi, seperti yang sudah diterapkan di Yogyakarta.
Sedangkan cara ketiga, merupakan gabungan dari dua cara itu, yakni tim bersama masyarakat sepakat mematok garis sempadan. Penetapan tiga cara ini harus tetap mengacu pada UU dan peraturan.
"Kalau saya melihat kondisi Sungai Karang Mumus (SKM) yang penuh masalah, maka saya minta Pemkot Samarinda segera menetapkan garis sempadan. Paling lambat akhir tahun ini patok sempadan untuk SKM harus sudah ditancap, jika ingin sungainya selamat, karena cara ini pada hakikatnya juga menyelamatkan kehidupan manusia dan ekosistem sungai," tuturnya.
Berdasarkan pengamatan Agus, daerah aliran sungai (DAS) untuk SKM mencapai 500 meter karena termasuk sungai besar sehingga berdasarkan aturan yang ada, kawasan dalam kota garis sempadan SKM adalah 50 meter dan di luar perkotaan 100 meter.
Untuk anak SKM di luar kawasan perkotaan maka sempadannya 50 meter dan di dalam perkotaan 30 meter.
Dari anak sungai ini kemudian dibagi dua, yakni jika kedalaman tiga meter maka garis sempadannya 10 meter, jika kedalaman 3-20 meter dengan sempadan 15 meter, kedalaman lebih dari 20 meter maka sempadannya 30 meter.
Berdasarkan aturan itu, maka garis sempadannya harus segera dipatok meski masyarakat ada di kawasan sempadan, sehingga melalui aturan pemerintah daerah, maka masyarakat tidak boleh semena-mena terhadap sempadan.
Jika dalam sempadan itu ada bangunan warga, maka kawasan itu harus dibuat status quo, yakni bangunan yang ada tidak boleh di tingkat, tidak boleh dikembangkan.
"Jadi harus dibiarkan apa adanya, kemudian pemerintah membuat program seperti relokasi atau memundurkan bangunan," katanya.
SKM memiliki sejarah panjang dalam penciptaan perkembangan Kota Samarinda, namun setelah perkembangan teknologi dalam membersihkan air kini sungainya dilupakan, bahkan dijadikan tempat pembuangan sampah terpanjang di dunia. Bahkan terjadi pembiaran ketika hak sungai dirampok.
Atas dasar ini, maka pemerintah selaku lembaga yang memiliki kewenangan sekaligus kekuasaan dalam menjaga ruang sungai plus badan sungai, sudah semestinya bertindak nyata agar ke depan menjadi bersih, indah, sejuk, bahkan bisa menjadi ekowisata. (*)