Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Para peneliti menemukan populasi satwa dilindungi bekantan (Nasalis larvatus) di Teluk Balikpapan masih bertahan, namun menghadapi tekanan luar biasa dari berbagai aktivitas manusia di sekitarnya.
"Tekanan itu dari KIK hingga jalan penghubung dengan Pulau Balang," kata peneliti dari University Czech of Life Science, Tadeas Toulec, di Balikpapan, Ahad.
KIK adalah Kawasan Industri Kariangau di barat laut Balikpapan, wilayah yang direncanakan sebagai kawasan industri seluas 3.540 hektare sesuai rencana tata ruang Balikpapan 2011-2031. Wilayah itu sebelumnya adalah hutan, semak, kebun-kebun penduduk, lahan kritis, dan hutan mangrove di mana kera berwarna oranye yang disebut bekantan itu hidup.
Kini ada pelabuhan, pembangkit listrik, pergudangan, bengkel-bengkel, yang semuanya mengubah bentang alam kawasan itu.
Jalan penghubung menuju Jembatan Pulau Balang dibangun melintasi hutan mangrove di bagian barat dan utara Hutan Lindung Sungai Wain.
"Kami melihat para bekantan kini terisolasi," jelas Tadeas. Bekantan yang hidup di kawasan Sungai Somber di sepanjang jalur pipa air bersih Pertamina, misalnya, benar-benar terpisah dengan kawanan yang hidup di sepanjang pesisir Teluk Balikpapan, apalagi dengan yang di utara di Sungai Wain.
Selama dua bulan, antara pertengahan Mei hingga pertengahan Juli 2017, Tadeas bersama timnya menjelajahi kawasan pesisir Teluk dari selatan ke utara meliputi antara lain muara Sungai Puda, Sungai Berenga, Sungai Tengah, dan Sungai Tempadung. Bagian selatan di Sungai Somber, dan bagian utara di hulu-hulu sungai tersebut di atas.
Pembangunan jalan menuju Jembatan Pulau Balang yang akan menghubungkan Balikpapan dengan Penajam Paser Utara memutus apa yang disebut pegiat lingkungan sebagai koridor satwa.
Menurut Tadeas, satwa seperti bekantan memang tidur di hutan mangrove, tapi mencari makan ke tepi hutan. Tanaman yang mendominasi hutan mangrove, yaitu pohon bakau (Rhizopora mucronata), tidak menyediakan makanan bagi bekantan.
"Pakan favorit bekantan itu daun perepat (Sonneratia alba) yang tumbuhnya justru di tepi hutan bakau, di bagian yang langsung bertemu arus pasang surut," jelas Tadeus. Bagian itu ada di pesisir atau di kedua tepi sungai.
Dengan terisolirnya kelompok-kelompok bekantan itu, Tadeus dan timnya khawatir akan kemungkinan bekantan kehabisan makanan sebab hanya beredar di satu kawasan saja sehingga tidak memberi kesempatan bagi pohon yang menjadi penyedia pakannya untuk tumbuh.
Di sepanjang Sungai Somber misalnya, terlihat beberapa pohon parepat yang meranggas karena daunnya terus menerus diambil dan dimakan bekantan.
"Sementara ini dari pengamatan kami, secara umum mereka kelihatan sehat dan bereproduksi, artinya ada bayi bekantan, ada kelompok jantan muda. Tapi ke depannya kami khawatir ini tidak akan bertahan lama," kata Tadeas.
Monyet khas Kalimantan ini dipercaya sebagai satu kunci kelestarian hutan mangrove. Hutan mangrove sendiri adalah rumah bagi banyak spesies burung dan tempat ikan bertelur dan berkembang biak.
Menurut hitungan kasar Tadeas dan timnya, jumlah bekantan di Teluk Balikpapan masih berkisar 1.400 individu, yang seluruhnya terdiri dari 80 kelompok, dimana setiap kelompok dipimpin satu jantan dominan. Jumlah itu masih lebih kurang sama dengan hasil perhitungan Stanislav Lhota di tahun 2012. Lhota juga staf pengajar di University Czech of Life Science, kampus Tadeas Toulec. (*)