Penajam Paser Utara (ANTARA) - Sudah cukup sore ketika Fifi dan rombongannya menyusuri perairan air asin di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara. Dengan menumpangi dua perahu motor milik warga desa setempat, rombongan berjumlah sepuluh orang itu memecah kesunyian estuari atau perairan semi tertutup yang memisahkan daratan satu dan lainnya. Setelah sepuluh menit berangkat dari permukiman penduduk, sepanjang kiri dan kanan perairan dipenuhi pohon-pohon mangrove yang menjadi ciri khas kawasan pesisir.
Selama di perahu, beberapa kali rombongan berpapasan dengan warga yang berlalu lalang menggunakan perahu kayu bermesin atau ketinting. Suasana itu menandakan bahwa kawasan tersebut tidak terlepas dari aktivitas penduduk sekitar. Fifi menunjuk ke arah pepohonan mangrove di sisi kiri yang merupakan bagian dari Pulau Tanjung Tanah, sebuah daratan yang terpisah oleh air dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar. Fifi mengatakan bahwa di balik pohon-pohon mangrove itu terhampar beberapa lahan tambak yang dikerjakan oleh penduduk setempat. “Pohon-pohon yang mati itu disiapkan lahannya untuk dibuka tambak,” jelasnya.
Merestorasi dan merehabilitasi mangrove di kawasan pesisir telah menjadi aktivitas Fifi sejak lulus dari kampusnya Universitas Gadjah Mada. Ia bersama dua orang rekannya yang ikut dalam rombongan tersebut merupakan pengurus dari Yayasan Planet Urgensi Indonesia (YPUI), lembaga non profit internasional yang berperan dalam program-program rehabilitasi lingkungan hidup salah satunya hutan mangrove.
Kawasan mangrove di wilayah Desa Babulu Laut menjadi salah satu lokasi intervensi Fifi dan kawan-kawan dalam upaya merestorasi daratan pesisir yang semakin tergerus oleh air laut. Puluhan hektare bukaan lahan tambak yang berada di balik pepohonan mangrove, baik di Pulau Tanjung Tanah ataupun di sisi darat, menjadi gambaran nyata konversi lahan yang mengakibatkan degradasi hutan mangrove di kawasan tersebut.
Menurut data yang dihimpun YPUI, sejak tahun 1995 pembukaan hutan terjadi secara masif di daerah itu. Masyarakat yang mulai mengenal tambak sebagai kegiatan ekonomi, mengkonversi hutan mangrove menjadi areal budidaya ikan dan udang. “Seiring waktu terjadi intrusi atau air laut melimpas ke darat diikuti ancaman abrasi,” ujar Fathurahmah, salah satu tim YPUI yang menjadi koordinator program di Kaltim. Kondisi tersebut menjadi dasar YPUI dan mitra lainnya mengintervensi rehabilitasi mangrove di daerah yang hanya berjarak 80 kilometer dari Ibu Kota Nusantara (IKN).

Hutan mangrove tidak hanya menjadi benteng pertahanan bagi permukiman dan kehidupan masyarakat yang tinggal di Babulu Laut atau pesisir Kalimantan lainnya. Ekosistem mangrove juga menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna. Salah satu yang bergantung pada kelestarian rimbun mangrove adalah Bekantan. Spesies primata berhidung panjang ini merupakan fauna endemik yang hanya dapat ditemui di Pulau Kalimantan. Monyet dengan nama latin Nasalis Larvatus itu juga yang beberapa kali dijumpai oleh Fifi dan rekan-rekan YPUI selama melakukan kegiatan rehabilitasi di Babulu Laut.
Mengamati keberadaan Bekantan dan habitatnya merupakan tujuan utama rombongan yang terdiri dari tim YPUI, Pokja Pesisir dan beberapa jurnalis ini di hutan mangrove Babulu Laut. Primata endemik langka itu termasuk satwa yang dilindungi Pemerintah Indonesia. Keberadaannya di alam masuk dalam status kepunahan endangered atau genting menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN). Kondisi mangrove di Babulu Laut seperti yang dijelaskan di atas, menjadi tantangan tersendiri bagi keberlanjutan hidup penghuni asli Kalimantan ini.
Upaya Kamis sore, 9 Januari itu belum membuahkan hasil. Rombongan bergegas kembali ke kampung sebelum hari semakin gelap. Sepanjang perjalanan ke kampung, rasa penasaran terhadap kemunculan Bekantan di alam liar menjadi penyemangat Fifi dan timnya untuk melanjutkan pengamatan pada hari selanjutnya.
Keesokan hari pada Jum’at 10 Januari, ketika matahari sudah cukup tinggi, pengamatan kembali dilakukan dengan menyusuri kawasan hutan yang masih tertutup. Menurut Fathurahmah hanya tersisa dua kantung habitat Bekantan di Babulu Laut. Dua kantung yang berada di tutupan hutan mangrove itu terpisah belasan kilometer dan masing-masing dihuni oleh satu kelompok Bekantan. “Antara kantung satu dan kantung dua jaraknya sudah cukup jauh, membuat kelompok Bekantan tersebut jadi terisolasi,” ujarnya.
Fragmentasi habitat Bekantan ini menunjukkan dampak dari konversi lahan yang masif. Jika dilihat dari peta, kawasan tutupan hutan itu dikelilingi oleh areal tambak di sekitarnya. Kondisi itu membuat pergerakan Bekantan terbatas dan hanya dapat menghuni sekitar 70 hektare atau 20 persen hutan mangrove yang tersisa di kawasan tersebut.
Menurut peneliti primata dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Atmoko, ketahanan populasi Bekantan sangat tergantung dari kondisi habitatnya. Sebagai hewan pemakan daun, Bekantan bergantung pada rimbun hutan yang menjadi tempat tinggal dan sumber pakannya. “Yang menjadi ancaman paling besar bagi Bekantan itu terkait dengan habitat. Yaitu penurunan luas habitat dan kerusakan habitatnya,” kata Tri kepada ANTARA.
Salah satu yang juga menjadi tantangan dalam upaya pelestarian Bekantan adalah habitatnya yang sebagian besar berada di luar kawasan konservasi. Tidak adanya perlindungan terhadap kawasan hutan habitat Bekantan membuat rumah primata ini rentan mengalami kerusakan dan alih fungsi. “Ada fragmentasi habitat dimana populasi kecil banyak terisolasi di habitat-habitat kecil dan menyebabkan daya tahan populasi itu menjadi rendah,” sebut peneliti alumni Institut Pertanian Bogor tersebut.
Setelah mencoba menyusuri hutan lebih dalam dari tepian sungai, terlihat pergerakan beberapa ekor Bekantan di atas pohon. Dua sampai tiga ekor Bekantan kecil terlihat melompat dari satu dahan ke dahan pohon lainnya. Aktivitas itu memberi tanda anggota koloni Bekantan yang lainnya termasuk Bekantan dewasa tidak jauh dari tempat itu. Benar saja, seekor Bekantan dengan tubuh lebih besar dari individu lainnya nampak memanjat sebuah batang pohon sambil menoleh ke sekitarnya. Seolah sedang mengawasi kelompoknya yang sedang beraktivitas.
Area hutan yang terbatas dan terisolir, membatasi daya jelajah kelompok Bekantan itu. Hal itu juga memungkinkan tim menjangkau keberadaan Bekantan di alam. Warna bulu kuning kecoklatan dan ukuran hidungnya yang besar, menarik perhatian para jurnalis dan tim YPUI saat itu. Sekitar 30 menit Antara mengamati aktivitas primata tersebut dari jarak 20 meter. Masih beruntung bagi koloni ini memiliki rimbun mangrove yang menaungi mereka.

Masyarakat sekitar Babulu Laut pada umumnya mengetahui adanya Bekantan yang hidup di wilayah desa mereka. Kesadaran akan pentingnya kehadiran hutan mangrove juga semakin tumbuh dari sejumlah aksi dan upaya warga sekitar untuk memperbaiki ekosistem mangrove. Wasmin, salah satu petani tambak di Desa Babulu Laut mencoba memberdayakan lahannya dengan menanam mangrove di tengah tambaknya. Selama 15 tahun pohon mangrove menjadi benteng sekaligus habitat alami ikan-ikan di tambak seluas 4 hektare tersebut. “Saya menanam mangrove itu ide dari kegagalan panen karena keasaman lahan, sekarang tinggal menikmati (hasilnya),” ujar Wasmin yang mengaku dapat memanen tambaknya hingga 700 kilogram sampai 1 ton ikan setiap masa panen.
Pemerintah Desa Babulu Laut juga berupaya memperkuat perlindungan terhadap mangrove dengan membuat peraturan desa tentang pengelolaan ekosistem mangrove. Regulasi itu mengatur pemeliharaan, pemanfaatan serta larangan merusak tanaman mangrove di wilayah Babulu Laut. “Sanksi bagi perusakan ekosistem mangrove dikenakan denda berupa penanaman mangrove 10 kali lipat dari mangrove yang dirusak,” kata Sekretaris Desa Babulu Laut, Pirman. Kolaborasi desa bersama beberapa organisasi seperti YPUI dan Pokja Pesisir dalam merehabilitasi area kritis juga menjadi ikhtiar nyata.
Ternyata tidak hanya Bekantan yang menjadikan mangrove sebagai rumah yang nyaman. Lutung Kelabu, Monyet Ekor Panjang dan aneka jenis burung nampak berseliweran di pepohonan mangrove Babulu Laut. Fathurahmah kembali menjelaskan upaya mereka bersama warga setempat dan mitra untuk melestarikan habitat para satwa tersebut. Sejak memulai rehabilitasi di Babulu Laut pada September 2024, sebanyak 75.000 pohon sudah ditanam di pesisir Pulau Tanjung Tanah. “Kami menanam jenis mangrove yang menjadi salah satu favorit pakannya Bekantan yaitu nama latinnya Sonneratia. Kalau orang lokal biasanya menyebutnya pidada, prengat, atau perepat,” ujarnya.
Populasi Bekantan Babulu Laut yang diestimasikan tersisa 27 individu harus bertahan hidup di tengah kondisi habitat yang semakin kritis. Oleh karena itu, upaya-upaya dalam memperbaiki dan memelihara ekosistem di pesisir ini menjadi pekerjaan panjang yang harus selalu berkesinambungan. Langkah-langkah nyata yang telah dilakukan masyarakat Babulu Laut, YPUI, Pokja Pesisir dan mitra-mitra lainnya, menunjukkan masih adanya harapan terang untuk membenahi lingkungan dari ekosistem mangrove. Tujuan yang diharapkan adalah menciptakan alam pesisir yang nyaman dan menguntungkan bagi kehidupan manusia. Sekaligus mengembalikan rimbun mangrove untuk mempertahankan eksistensi primata kebanggaan Kalimantan.