Samarinda (ANTARA Kaltim) - Inflasi Provinsi Kalimantan Timur secara tahunan (yoy) pada Oktober 2016 yang sebesar 3,11 persen, tercatat sebagai inflasi paling rendah ketimbang inflasi periode yang sama dalam lima tahun terakhir.
"Begitu pula jika dilihat secara bulanan, inflasi Kaltim pada Oktober juga tercatat lebih rendah ketimbang nasional yang berinflasi sebesar 0,14 persen (mtm)," ujar Sehono, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kaltim di Samarinda, Rabu.
Pada Oktober 2016, lanjutnya, Kaltim masih mengalami deflasi 0,09 persen (mtm) atau 3,11 persen (yoy), lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yang berdeflasi 0,02 persen (mtm) atau 3,69 persen (yoy). Ini berarti inflasi tahun kalender (Januari-Oktober) Kaltim mencapai 2,11 persen (ytd).
Deflasi lebih dalam yang terjadi pada Oktober didorong oleh penurunan harga dari sebagian besar kelompok pangan strategis seperti daging ayam ras, bawang merah, dan aneka jenis ikan tangkapan laut seperti ikan layang dan ikan tongkol.
Sementara itu, penurunan tarif pulsa ponsel juga turut menjadi faktor penting terjadinya deflasi di Kaltim. Ada pula beberapa komoditas lain yang mengalami deflasi seperti emas perhiasan, seng, dan gula pasir.
Secara umum, tercukupinya ketersediaan pangan sangat memengaruhi terjadinya deflasi di Kaltim pada Oktober.
Meski demikian, potensi deflasi yang jauh lebih dalam masih tertahan oleh beberapa komoditas lain yang mengalami kenaikan harga seperti angkutan udara, kenaikan tarif listrik, dan kenaikan harga rokok kretek filter.
Berdasarkan kota pembentuknya, deflasi yang terjadi di Kaltim dipengaruhi oleh dua kota pembentuknya, yaitu Samarinda dan Balikpapan.
Samarinda mengalami deflasi sebesar 0,10 persen (mtm) atau 3,24 persen (yoy). Deflasi yang terjadi di Samarinda disebabkan oleh penurunan harga kelompok bahan makanan terutama daging, bumbu-bumbuan dan kelompok ikan segar.
Hal yang sama juga terjadi di Balikpapan yang mengalami deflasi 0,07 persen (mtm) atau 2,93 persen (yoy). Penyebab deflasinya juga tidak jauh beda dari Samarinda.
Ia melanjutkan, meski kelompok inti berdeflasi, namun kelompok administered price justru mengalami inflasi sebesar 1,74 persen (mtm) atau 6,14 persen (yoy).
Kenaikan inflasi kelompok administered price merupakan dampak dari kenaikan beberapa kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik, cukai rokok, dan adanya kebijakan dari maskapai yang cenderung menyesuaikan tarif angkutan udara mendekati tarif batas atas, menyusul permintaan yang cukup meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan pemerintah dan perusahaan pada triwulan akhir 2016.
"Meskipun tren penurunan laju inflasi 2016 terus terjadi, namun perlu tetap mewaspadai beberapa risiko lonjakan harga menjelang Natal dan akhir tahun. Risiko tersebut antara lain permintaan yang meningkat dan meluasnya fenomena La Nina serta wacana kenaikan harga bahan bakar minyak," ucap Sehono. (*)