Surabaya (ANTARA News) - Ahli psikologi sosial Dr MG Bagus Ani Putra mengatakan masyarakat yang berorientasi pada nilai materi (Materialistic Value Oriented/MVO), menghargai materi secara berlebihan, membuat praktik-praktik semacam yang dilakukan oleh Padepokan Dimas Kanjeng pimpinan Taat Pribadi di Probolinggo tumbuh subur.
"Itu sebenarnya bukan fenomena baru, namun MVO itu terjadi sejak era industrialisasi atau sekitar tahun 1970-an," kata ahli psikologi sosial dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, Minggu.
Dosen Fakultas Psikologi Unair itu mengatakan bahwa MVO telah menggerus nilai-nilai sosial bangsa Indonesia seperti gotong royong, sukarela (tanpa pamrih), dan "gugur gunung" (kerja bersama).
"Nilai-nilai itu sudah digantikan dengan materi sebagai ukuran, karena itu fenomena Dimas Kanjeng pun terjadi terus-menerus, meski tidak pernah ada yang terbukti, seperti Uang Logam Bung Karno, Uang Brazil, Peti Nyai Roro Kidul, dan semacamnya," katanya.
Ia menjelaskan pula bahwa penggunaan "mahar" dalam praktik Dimas Kanjeng sesungguhnya aneh jika dibandingkan dengan fenomena serupa yang ada sebelumnya.
"Anehnya lagi, belum pernah ada bukti dan memakai 'mahar', tapi itu tetap saja membutakan masyarakat yang mengalami MVO itu," katanya.
Solusi untuk keluar dari "kebodohan" akibat MVO, menurut Bagus, antara lain dengan menerapkan pengenaan sanksi sosial seperti pengucilan.
"Bukan seperti sekarang yang justru dimaklumi, karena keberadaan Padepokan Dimas Kanjeng yang dimanfaatkan membuka kantin, lahan parkir, menjadi petugas pengaman, dan sebagainya, sehingga Dimas Kanjeng merasa benar dan diterima oleh masyarakat," katanya.
Sikap menerima dari masyarakat itu, menurut dia, justru menjadi legitimasi bagi Dimas Kanjeng, membuat dia memiliki kekuatan informasi, media sosial, dan kredibilitas internal-eksternal.
"Modal informational power atau kekuatan informasi adalah informasi yang beredar dari pengikut kepada masyarakat, seperti dia memiliki kehebatan ini-itu, lalu media sosial juga mempromosikan, seperti Youtube," katanya.
Selain itu, ia menunjukkan kredibilitas internal antara lain dengan jubah, celak, dan wajah Arab, serta memperlihatkan kredibilitas eksternal dengan memajang foto bersama tokoh seperti Dahlan Iskan, dan Joko Widodo.
Bagus menyarankan pemerintah, tokoh agama, dan tokoh pendidikan segera bersikap supaya korban praktik-praktik semacam itu tidak bertambah.
"Pendidikan juga harus berbenah, seperti pendidikan agama tidak hanya mengajarkan agama secara normatif, seperti shalat, puasa, dan sejenisnya, melainkan agama hendaknya diajarkan secara moralitas, seperti ahlak yang rahmatan lil alamin," katanya.
Pendidikan akhlak dan agama menurut dia penting karena pengaruh Dimas Kanjeng tidak hanya menimpa masyarakat menengah ke bawah, namun juga masyarakat kelas atas dan kaum intelektual seperti Marwah Daud.
"Kalau orang kaya terpengaruh itu berarti mengalami greedy phenomenon atau fenomena keserakahan, sehingga terjadi loss of novelty dengan uang yang sudah banyak tapi ingin lebih banyak lagi," katanya.
Kalau intelektual terpengaruh, ia mengatakan, berarti mengalami kondisi kecerobohan di mana kemampuan logikanya menurun.
"Emosi naik itu hukum alam atau sunnatullah, sehingga orang marah (negatif) dan orang bahagia (positif) akan menjadi tidak bisa logis. Nah, Marwah Daud mengalami mindlessness condition atau logika yang turun, sehingga emosinya mudah menerima Dimas Kanjeng," katanya. (*)
Psikolog Sebut MVO Suburkan Praktik Dimas Kanjeng
Minggu, 9 Oktober 2016 21:35 WIB