Samarinda (ANTARANews - Kaltim) - Walhi Kalimantan Timur menilai bahwa lemah sekali alasan untuk mengkonversi hutan seluas 1,3 juta hektar untuk menjadi lahan, mengingat jumlah kawasan kritis di provinsi itu sangat luas.
"Alasan untuk mengkonversi hutan di KBK(kawasan budi daya kehutanan) menjadi lahan agar masuk dalam KBNK (kawasan budi daya non kehutanan) sangat lemah. Pasalnya, kini di Kaltim banyak kawasan (hutan dan lahan) kritis, apalagi jumlahnya cenderung meningkat," kata Direktur Eskskutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, Isal Wardhana di Samarinda, Jumat.
Luas lahan kritis di Kaltim diperkirakan enam juta hektar dengan laju kerusakan sekitar 500.000 Ha per tahun.
Konversi seluas 1,3 juta Ha yang diusulkan dalam RTRWP itu akan menyebabkan berkurangnya KBK hingga mencapai 10,32 persen, sedangkan luas hutan lindung hanya bertambah sekitar 1,2 persen dari total KBK 9,7 juta Ha menjadi 4,6 juta Ha.
Walhi menyoroti Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kaltim yang kini diproses tim terpadu tertera konversi (alih fungsi) lahan dari KBK menjadi KBNK. "Itu sama saja berhasrat merusak lingkungan," kata Isal menegaskan.
Secara argumentasi, katanya menambahkan bahwa pemerintah daerah dan pusat tidak memiliki alasan kuat untuk menkonversi lahan 1,3 juta hektare itu menjadi KBNK.
Kebijakan konversi sangat bertentangan dengan prinsip peyelamatan lingkungan hidup dan hutan di tengah meningkatnya bencana ekologis seperti banjir besar tiga kali setahun, tanah longsor dan meningkatnya kabupaten/kota di Kaltim yang rawan bencana.
Selain itu, kebijakan konversi justru menambah semakin tingginya tingkat eksploitasi sumber-sumber penghidupan rakyat dari SDA lokal di Kaltim. Alih fungsi KBK menjadi KBNK juga dinilainya sebagai bagian untuk menerbitkan izin-izin tertentu.
Sejumlah izin yang dimaksud Isal antara lain, mengeluarkan izin dan pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar di areal KBK, pembangunan jalan dan tambang di hutan lindung. Sementara penegakan hukum terhadap pelanggar lingkungan belum dilakukan secara maksimal.
Hal itu, kata dia bisa dilihat dari "rekam jejak" daerah mengeluarkan izin eksploitasi SDA yang secara langsung berakibat pada perluasan atau ekspansi perkebunan sawit skala besar, pertambangan dan HPH-TI sehingga ruang kelola masyarakat terhadap kawasanya terbatas.
Ditambahnya bahwa lagi dengan proyek konservasi sekitar 900.000 hektare hutan berupa REDD (Reduction Emission from Degradation and Deforestation) di Kabupaten Berau dan Malinau yang berpotensi besar pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Padahal, kawasan itu merupakan hak masyarakat adat yang berada di sekitar dan di dalam hutan. Sementara pengakuan terhadap hak kelola masyarakat adat terhadap kawasan hutannya tidak pernah mendapat apresiasi positif dari pemerintah.
"Semestinya pemerintah mengutamakan pengelolaan hutan adat yang memiliki luas sekitar 61.000 Ha di Kabupaten Paser, dan sekitar 4.000 Ha di komunitas Dayak Basap di kawasan Teluk Sumbang, Kabupaten Berau," kata Isal.
Berkurang 10,32 Persen
Konversi seluas 1,3 juta Ha yang diusulkan dalam RTRWP itu akan menyebabkan berkurangnya KBK hingga mencapai 10,32 persen, sedangkan luas hutan lindung hanya bertambah sekitar 1,2 persen dari total KBK 9,7 juta Ha menjadi 4,6 juta Ha.
Kabupaten Kutai Timur, Kutai Barat dan Kutai Kertanegara adalah dua daerah yang memiliki usulan luasan tertinggi untuk konversi kawasan hutan dengan total persentase berkisar 5,0 sampai 6,0 persen.
Sedangkan Kabupaten Kutai Barat termasuk dalam kategori kabupaten yang rawan bencana longsor di lima kecamatan, yakni Kecamatan Damai, Long Apari, Long Pahangai, Long Bagun dan Long Iram. Hanya Kota Tarakan yang mengalami pengurangan KBNK sebesar 0,10 persen.
Saat ini, lanjutnya, KBNK di Kalimantan Timur sudah mencapai 5,1 juta hektare, atau sebesar 26,33 persen dari luasan hutan, jika terdapat penambahan 1,3 juta hektare, maka kenaikannya akan menjadi 7,03 persen.
Rencana tata ruang yang dibangun oleh pemerintah kabupaten, kota dan Propinsi Kaltim masih menggeser kepentingan penyelamatan lingkungan hidup dan hutan, serta tidak memiliki semangat pelestarian alam dan kesejahteraan rakyat.
Proses konsultasi dan sosialisasi kepada masyarakat yang tertuang dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, juga belum dilakukan secara maksimal sehingga tidak semua masyarakat paham terhadap perubahan tata ruang.
Dikatakannya bahwa dari adanya ketidaktahuan masyarakat itu sehingga akan berpotensi dan rentan dalam menciptakan berbagai konflik baik secara horisontal, antarmasyarakat maupun vertikal, yakni antara masyarakat dengan lembaga pemerintah.
"Walhi Kaltim mencermati, tingginya tingkat konversi hutan dikarenakan kebijakan kepala daerah yang masih mengandalkan industri ekstraktif untuk mengeruk SDA sebagai sumber penghidupan rakyat," kata Isal.