Balikpapan (ANTARA) - Kasus penyerobotan lahan BOSF segera masuk pembacaan tuntutan, meski terdakwa Martin Bauk sering mangkir dengan berbagai alasan, persidangan kasus penyerobotan 13 hektare lahan milik Yayasan Penyelamatan Orangutan (Borneo Orangutan Survival Foundation atau BOSF) pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.
“Sidang dijadwalkan Senin 21 Juni mendatang di Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong,” kata kuasa hukum BOSF Yesayas Rohy, Kamis 12/6..
Sebelumnya sidang dijadwalkan awal pekan ini namun karena terdakwa Martin Bauk mengeluh sakit, sidang dijadwalkan ulang.
Martin Bauk, warga Amborawang Darat, Kecamatan Samboja, lebih kurang 45 km utara Balikpapan, menjadi tersangka dan kemudian terdakwa kasus penyerobotan lahan milik BOSF setelah sejumlah bukti dan pengakuan terkumpul di penyidik Polsek Samboja.
Sejumlah kuitansi penerimaan dana untuk penjualan lahan dengan tanda tangan Martin Bauk membuat pria parobaya ini akhirnya diciduk setelah beberapa lama seakan tidak tersentuh aparat.
“Kami melaporkan kasus penyerobotan lahan ini dalam beberapa kesempatan, dan baru kali ini bisa sampai ke penyidikan dan persidangan di pengadilan,” kata Manajer BOSF Regional Kaltim Aldrianto Priadjati.
Ia mengatakan Martin Bauk ditangkap pada 15 Januari 2025 justru saat beraktivitas di sekitar Samboja Lestari atau SL, kawasan milik BOSF. Tidak pakai lama, Kapolsek Samboja Inspektur Polisi Satu (Iptu) Sarlendra Satria Yudha pun segera meringkus pria berperawakan kecil itu.
Di dalam penyidikan polisi, Martin mengakui perbuatan menjual lahan tersebut. Namun menurutnya yang dijualnya adalah tanah ulayat atau lahan adat, bukan lahan milik BOSF.
Praktik penyerobotan lahan yang dilakukan terdakwa diperkirakan terjadi sepanjang 2017-2019. Dalam rentang waktu itu tiga bidang lahan dengan ukuran masing-masing 100X200 meter persegi atau 20.000 meter persegi, atau seluruhnya 60.000 meter persegi alias 6 hektare, dijual Martin kepada seorang bernama Udin dengan harga Rp10 juta per hektare.
Kepada Udin, terdakwa juga menjual satu bidang lahan ukuran 100X100 meter persegi dengan harga Rp5 juta.
Terdakwa Martin juga menjual dua bidang lahan ukuran 50X200 meter persegi dan satu bidang ukuran 100X200 meter persegi kepada seseorang bernama Hamsi. Disebutkan penjualan juga dilakukan kepada seseorang bernama Bahtiar namun tidak dirincikan berapa harga dan luasannya.
“Dari terdakwa ini ada 13 hektare lahan kami yang diserobot dan dijual kepada pihak ketiga,” kata Aldri.
Meski demikian, karena ancaman hukuman dari Pasal 385 Kitab Undang-Udang Hukum Pidana (KUHP) maksimal hanya 4 tahun alias kurang dari 5 tahun, maka penahanan terhadap tersangka tidak wajib, apakah saat masih dalam proses penyidikan atau pun hingga masa persidangan di pengadilan.
Maka terdakwa tidak ditahan. Selain itu Udin sakit-sakitan sehingga dalam beberapa kesempatan tidak hadir dalam persidangan di Tenggarong.

“Kami sangat berharap tuntutan dan hukuman maksimal dijatuhkan kepada terdakwa, agar bisa menjadi contoh bagi siapa pun yang ingin berbuat serupa,” harap Rohy.
BOSF memerlukan lahan luas untuk pusat rehabilitasi satwa orangutan (Pongo pygmaeus) yang mereka kerjakan bersama dengan banyak pihak. BOSF mulai membeli lahan secara bertahap di Samboja Lestari untuk pusat rehabilitasi itu sejak tahun 1990an. Lahan itu kemudian digunakan untuk membangun kandang-kandang orangutan, sekolah orangutan, kantor, klinik orangutan, penginapan, dan pulau-pulau latihan pelepasliaran, serta kawasan khusus beruang madu (Helarctos malayanus).
Pulau-pulau pelepasliaran memerlukan lahan luas dengan kondisi berhutan. Di pulau-pulau ini, yang secara harfiah memang terpisah dan dibatasi dengan parit lebar dan dalam, orangutan belajar untuk kembali bisa hidup di alam bebas. Saat ini ada 110 individu orangutan dan 75 beruang madu di Samboja Lestari.
“Orangutan itu sangat mirip orang atau manusia. Untuk menguasai sesuatu mereka harus belajar. Di alam anak orangutan belajar dari induknya mulai dari memilih makanan sampai bisa membuat sarang sendiri. Orangutan yang kami rehabilitasi di Samboja Lestari kebanyakan orangutan yatim atau juga sudah terlalu lama hidup bersama manusia sehingga kehilangan instinknya sebagai hewan liar," katanya.