Samarinda (ANTARA) -
Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Utama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dwi Listyawardani menegaskan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) harus meningkatkan cakupan pemantauan balita untuk menurunkan angka stunting.
"Cakupan anak-anak yang diukur berat badan dan tinggi badannya di Kaltim masih relatif rendah, sekitar 40 persen, padahal idealnya semua balita harus termonitor," katanya di Samarinda, Selasa.
Dwi menjelaskan, stunting adalah kondisi di mana anak mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama. Anak yang mengalami stunting dapat berdampak pada penurunan kemampuan kognitif dan produktivitas anak di masa depan.
“Jadi kita lebih baik mencegah daripada kalau sudah terlanjur stunting itu lebih susah lebih banyak biaya,” katanya.
Dwi menambahkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap stunting adalah usia ibu saat melahirkan.
Ia menuturkan angka kehamilan dan kelahiran di bawah usia 20 tahun secara nasional termasuk di provinsi-provinsi di Kalimantan masih tinggi. Hal ini menjadi PR yang luar biasa yang harus diselesaikan oleh BKKBN.
Ia berharap kepada Provinsi Kaltim dapat memetakan keluarga resiko stunting dari data pendataan keluarga, sehingga intervensi dari berbagai pihak dapat tepat sasaran.
Dirinya optimis sumber daya yang ada di Kaltim dapat menyelesaikan masalah stunting tanpa harus bantuan dari pusat.
Dwi mengungkapkan angka stunting nasional saat ini adalah 21,6 persen, sedangkan angka stunting Kaltim adalah 22 persen. Ia menilai Provinsi Kaltim seharusnya tidak dekat dengan angka nasional, melainkan lebih rendah.
“Harusnya Kaltim itu jangan di bawah standar nasional, karena provinsi Kaltim termasuk daerah yang maju dan kaya sumber daya alam,” pungkasnya.