Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Orangutan betina bernama Gundul akhirnya tiba di Taman Satwa Gunung Bayan, Bongan, Kutai Barat setelah diantar bermobil selama lebih dari tujuh jam dari Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
ANTARA melaporkan dari Balikpapan, Sabtu, bersama Gundul ada juga Joko, orangutan jantan berusia 5-6 tahun asal Sebulu. Kedua orangutan ini diantarkan oleh tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Wilayah II Kalimantan Timur dan Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS).
Menurut drh Agus Irwanto dari BOS, kondisi Gundul cukup sehat, yang antara lain ditunjukkan dengan bulunya yang berwarna mengkilat kemerahan. Untuk lebih memastikan lagi, saat masih transit di Tenggarong sehari sebelumnya, dokter Irwanto mengambil contoh darah untuk diteliti.
Drh Irwanto juga memastikan bahwa Gundul tidak mengalami malnutrisi atau kekurangan gizi. Di lehernya memang ada sedikit bekas rantai yang menunjukkan bahwa Gundul memang dirantai, tetapi tidak ketat dan belum dirantai dalam jangka waktu lama.
Dokter juga menyebutkan bahwa kondisi mental Gundul cukup baik. Dia tidak agresif dan tidak pula terlihat tanda-tanda trauma.
"Walaupun kami di Yayasan BOS tidak membenarkan adanya orangutan yang dirantai dalam kondisi apapun, kami lega melihat kondisinya tidak seserius yang dilaporkan," kata drh Agus Irwanto.
Ahmad Rivai dari BKSDA yang memimpin Tim BKSDA juga menegaskan bahwa saat ia menjemput Gundul di sebuah pemukiman di Samarinda, hewan primata cerdas itu memang dirantai. Gundul dijemput di Kampung Jawa di Samarinda dan pemiliknya seorang nenek yang merawat dan memberinya makan nasi.
"Tapi rantainya panjang dan tidak ketat. Dia bisa berlarian dan bahkan ketika kami tiba di lokasi, dia sedang bermain di atas pohon," cerita Ahmad Rivai.
Sebab itu juga, kata Rivai, Gundul justru terlihat sedikit stres karena semalaman dia dimasukkan ke kandang transit yang sempit di BKSDA Tenggarong karena dia sudah terbiasa bebas.
Taman Satwa Gunung Bayan adalah lembaga konservasi yang dikelola PT Satwa Gunung Bayan Lestari (SGBL), yang merupakan bagian dari perusahaan tambang batubara PT Gunung Bayan.
Sehari sebelumnya, BKSDA menjemput Gundul dari perumahan warga di Samarinda. BKSDA bertindak atas dasar informasi dari berbagai jaringan media sosial yang menyebutkan ada orangutan betina bernama Gundul yang diperkirakan berusia 21 tahun berada dalam kondisi yang memprihatinkan, yaitu kurang perawatan, bahkan diikat dengan rantai oleh pemiliknya di dekat tempat sampah.
Diberitakan pula bahwa Gundul menderita kurang gizi karena tidak diberi makan yang cukup sehingga ia kerap terlihat mengais sampah di tempat sampah dekat tempatnya diikat.
Gundul kemudian dibawa ke Tenggarong dimana ia diperiksa drh Agus Irwanto. Setelah dibius dan diperiksa, dokter Irwanto memastikan bahwa usia Gundul baru 12-13 tahun, bukan 21 tahun seperti disebutkan sebelumnya.
"Yang saya periksa formasi giginya untuk memperkirakan usianya. Gigi Gundul sudah tumbuh dalam formasi M2 untuk rahang atas, dan M3 untuk rahang bawah. M2 dan M3 itu merupakan urutan gigi geraham yang awal tumbuh. Kalau M2 mulai tumbuh, berarti usianya 7 tahun ke atas. Kalau M3, berarti sekitar 13 tahun ke atas. Jadi usia Gundul ini tidak lebih dari 13 tahun saat ini," papar drh Irwanto.
Untuk pengantaran Gundul dan Joko ke Gunung Bayan, Yayasan BOS menyediakan transportasi dan keperluan logistik untuk kedua orangutan. Yayasan BOS juga akan membekali Tim BKSDA maupun pihak SGBL dengan prosedur perawatan satwa, khususnya untuk orangutan.
BOS Kewalahan
Di sisi lain, Ketua Yayasan BOS Dr. Jamartin Sihite menyebutkan kenapa Gundul dan Joko harus diantar ke Gunung Bayan, Bongan, Kutai Barat, bukan langsung ke Samboja Lestari, Samboja, Kutai Kartanegara seperti biasanya bila ada orangutan yang ditemukan di luar habitatnya.
"Kami harus jujur melihat kemampuan dan kapasitas kami yang saat ini sudah mencapai batas maksimum, baik dari sisi ketersediaan kandang yang layak, sumber daya manusia, maupun dari sisi pendanaan dan berbagai faktor lainnya. Memaksakan untuk menyelamatkan orangutan dalam kondisi seperti ini berarti kami mengkompromikan kesejahteraan orangutan-orangutan yang sudah ada di pusat rehabilitasi kami," jelasnya dalam siaran pers resmi BOSF.
Dua pusat rehabilitasi milik Yayasan BOS, Samboja Lestari, Kalimantan Timur dan Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah saat ini merawat dan merehabilitasi sekitar 850 orangutan dengan tujuan akhir melepasliarkan mereka di habitat aslinya di hutan yang aman.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah mencanangkan bahwa pusat-pusat rehabilitasi di Indonesia harus melepasliarkan semua orangutan yang memenuhi syarat pelepasliaran paling lambat pada tahun 2015 mendatang.
"Target itu tampaknya sulit dipenuhi jika jumlah orangutan yang menjadi korban konflik dengan manusia semakin meningkat dan melebihi kemampuan pusat-pusat rehabilitasi untuk menampung, merehabilitasi dan melepasliarkan mereka," kata Dr Sihite. (*)