Jakarta (ANTARA) - Pengalaman dan sejarah 22 tahun lalu membuktikan bahwa Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) telah menjadi penolong ampuh bagi ekonomi Indonesia ketika tekanan krisis global menghantam pada 1998.
Sektor itu dinilai paling tahan dari terpaan krisis, meskipun Indonesia pada waktu itu mengambil tindakan besar dengan merestrukturisasi perbankan dan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai langkah “amputasi” untuk menghentikan “pendarahan” sektor moneter—yang paling rentan collapse.
Sejak saat itu, pemerintah menaruh perhatian besar terhadap sektor UMKM, hingga dibentuknya Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2001 hingga sekarang. Banyak program pemberdayaan disalurkan, mulai dari bantuan modal berupa KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan pinjaman lunak lainnya, hingga pembinaan oleh BUMN dan BUMD.
Bukan tanpa alasan, UMKM pada 2018 tercatat memberikan kontribusi 57,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dengan nilai Rp8.573,9 triliun, lalu pada 2019 menyumbang 60 persen PDB dan 14 persen dari total ekspor nasional.
Tahun ini, pemerintah menargetkan kontribusi UMKM terhadap PDB bisa tumbuh menjadi 61 persen dan terhadap ekspor nasional meningkat dari 14 persen menjadi 18 persen.
Namun, sangat disayangkan, pertumbuhan yang sudah dijalurnya pada masa-sama sebelumnya, tahun ini harus terpukul oleh badai pandemi COVID-19. Akankah target pembangunan UMKM bakal tercapai? Ini masih menjadi pertanyaan besar yang bakal terjawab nanti.
Meski demikian, dalam situasi di ambang krisis seperti sekarang, di mana banyak negara menghabiskan dana untuk penanggulangan pandemi corona yang sejauh ini diyakini berawal dari Wuhan, China, sektor UMKM Indonesia kembali tetap menjadi penopang, penolong, bagi perekonomian nasional—setidaknya itu yang dirasakan sebagian besar orang di negara ini.
Di tengah tiarapnya sektor industri manufaktur besar dan modern yang sebagian besar menghentikan atau mengurangi produksi sebagai dampak COVID-19 ketika mobilitas orang dan barang nyaris terhenti, sektor UMKM masih tetap bergeliat bersamaan dengan menguatnya budaya belanja daring di Indonesia.
Pandemi dan era digital
Pandemi COVID-19—terlepas dari kedahsyatan penyebaran dan dampaknya—, kondisi ini telah memberikan banyak pelajaran bagi bangsa dan sektor industri. Strategi memanfaatkan dunia digital dengan lebih intens menjadi salah satu jalan keluar agar semua kegiatan tetap bisa berjalan meskipun dalam kondisi minimal.
Belajar jarak jauh secara daring, rapat virtual, hingga belanja daring menjadi budaya yang semakin kental saat ini. Masih eksis dan relatif sehatnya platform-platform marketplace, seperti Bukalapak, Tokopedia, GoFood di sektor kuliner, dan banyak usaha pengantaran barang (kurir) membuktikan bahwa UMKM masih menjadi penopang ekonomi yang patut diperhitungkan.
Betapa tidak, diakui oleh Bukalapak bahwa jumlah UMKM yang bergabung di platform jual beli daring itu meningkat selama pandemi. Dalam tujuh bulan pertama tahun ini tercatat ada lebih dari 3 juta UMKM baru bergabung ke Bukalapak, menambahkan menjadi total 6 juta pelapak dan 5 juta mitra di platform ini.
Pesaing utama Bukalapak, Tokopedia, juga mencatat hingga sekarang ada kenaikan 1 juta pelapak sejak pandemi masuk Indonesia, Maret 2020, menjadi total 8,6 juta mitra penjual, di mana 94 persennya merupakan UMKM berskala mikro.
Data-data membuktikan bahwa pandemi telah mendorong percepatan digitalisasi sektor usaha di Indonesia, yang menurut BPS transaksi daring pada April 2020 naik 1070 persen dibanding awal tahun, sedangkan Bank Indonesia mengatakan transaksi e-commerce naik 26 persen selama pandemi virus corona.
Digitalisasi
Digitalisasi atau membawa UMKM ke pasar digital menjadi program yang sangat tepat “digeber” mulai tahun ini. Bukan sekadar pelajaran yang didapat atau strategi di tengah pandemi, mendigitalisasikan UMKM sudah menjadi keharusan Indonesia sebagai adaptasi terhadap perkembangan teknologi dunia dan budaya yang berkembang saat ini maupun ke depan.
Patut didukung semua pihak bahwa sekarang pemerintah gencar mendorong digitalisasi sektor usaha di Indonesia, utamanya sektor UMKM. Harus diakui, sudah banyak upaya dilakukan, mulai dari pengucuran bantuan modal (kredit lunak) melalui kerja sama bank dan platform e-commerce hingga literasi dan pelatihan berbisnis di dunia digital.
Pemerintah, baik melalui Kementerian Koperasi dan UKM maupun Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif, menargetkan 10 juta UMKM tertransformasi ke digital pada tahun ini. Target ini tidak muluk-muluk karena per Mei 2020 sudah 8 juta yang sudah melakukan digitalisasi, sehingga tinggal mendorong 2 juta lagi untuk mencapai target.
Program ini harus dikawal oleh semua pihak, mengingat tingkat digitalisasi UMKM di Indonesia masih rendah, yakni 13 persen per Juni 2020 dari total 64 juta jumlah usaha pada sektor ini. Meskipun, menurut data Asia Pacific SMB Digital Maturity Study tahun 2020, 82 persen UMKM di Indonesia memiliki keinginan bertransformasi ke digital.
Sementara jika dilihat dari kematangan digitalnya, sebagian besar UMKM Indonesia masih berada dalam level pertama, digital different, di mana aktivitas usaha lebih banyak dilakukan secara manual dengan sedikit aktivitas digital. Talenta digital yang terlibat dalam UMKM juga belum banyak.
Masih ada tiga tingkatan lagi yang masih perlu didorong untuk dicapai, yakni digital observer, digital challenger, dan yang paling tinggi adalah digital native. Jadi, UMKM Indonesia masih perlu didorong dan dibantu untuk bisa lebih banyak memanfaatkan teknologi digital mulai dari perencanaan hingga pemasaran dan sistem pembayaran sehingga menjadi adaptif dan matang, bahkan menjadikan digital sebagai sarana utama bisnisnya alias benar-benar digital native.
Jangkuan upaya digitalisasi UMKM juga perlu diperluas, bukan saja melalui kampanye di platform e-commerce dan layanan daring saja, tapi perlu melibatkan unsur masyarakat bawah seperti di tingkat desa dan kelurahan, di mana banyak usaha rumahan—cikal bakal UMKM—yang sangat minim pengetahuan digital belum tersentuh program digitalisasi.
Ekonomi “baja”
Dengan sederet bukti kekuatan UMKM selama ini, tidaklah bermimpi jika Indonesia bisa membangun ekonomi “baja”, kuat dan tidak mudah rusak atau runtuh diterpa krisis ekonomi global, dengan berbasiskan UMKM digital.
Ekonomi “baja”, dengan analogi yang tidak perlu diperdebatkan, bisa dibangun dengan kekuatan puluhan bahkan mungkin bisa mencapai ratusan juta UMKM ke depan yang berkembang di Indonesia.
Meski bukan satu-satunya penopang ekonomi, UMKM dengan kontribusinya yang pada kisaran 60 persen terhadap PDB sekarang ini, merupakan kekuatan ekonomi yang tidak bisa diremehkan.
Sebagaimana disebut PBB dalam laporannya pada Juni lalu, bahwa perusahaan-perusahaan kecil yang mempekerjakan kurang dari 250 orang adalah tulang punggung sebagian besar perekonomian dunia dan memainkan peran kunci di negara-negara berkembang, termasuk di tengah pandemi COVID-19.
Menurut data Dewan Internasional untuk Bisnis Kecil (ICSB), Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) formal dan informal jumlahnya mencapai lebih dari 90 persen dari semua perusahaan di dunia dan rata-rata menyumbang 70 persen dari total lapangan kerja dan 50 persen dari PDB.
Jadi, tidaklah salah jalan apabila Indonesia terus berupaya membangun dan lebih memperdayakan UMKM sebagai kekuatan ekonomi utama di masa mendatang. Membangun ekosistem ekonomi digital, dengan di dalamnya puluhan atau ratusan juta UMKM, berperan.
Dengan keberhasilan membawa hampir semua UMKM ke ekosistem digital mendatang, dan sambutan pasar yang positif, adalah keniscayaan tercipta ekonomi Indonesia yang kuat bak baja, lebih tahan krisis, dan banyak menyerap tenaga kerja. Sejauh ini rata-rata 97 persen tenaga kerja terserap oleh sektor ini.
Dengan dukungan pembangunan infrastruktur teknologi informasi oleh pemerintah dan swasta, termasuk di antaranya jaringan Palapa Ring yang bakal memberikan akses internet bagi masyarakat di 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia, serta digenjotnya penetrasi perangkat mobile, memungkinkan lebih banyak UMKM mengadaptasi digital.
Fakta bahwa populasinya keempat terbesar dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat, dengan lebih dari 274 juta penduduk, Indonesia adalah pasar yang besar, bukan saja bagi UMKM dan perusahaan domestik, tapi juga bagi perusahaan-perusahaan asing.
Bersamaan dengan peningkatan kualitas produk dan layanan, digitalisasi, menciptakan ekosistem kondusif (kebijakan, perizinan, pajak, insentif, dll), serta sikap mencintai produk dalam negeri, bisa menjadi formulasi ampuh untuk menciptakan ekonomi “baja” Indonesia berbasis UMKM digital.
Menanti ekonomi "baja" Indonesia bertopang UMKM digital
Jumat, 9 Oktober 2020 16:14 WIB