Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Mendengar nama Taman Hutan Raya (Tahura), bayangan kita akan langsung menerawang pada sebuah kawasan yang ditumbuhi pepohonan yang lebat, kicauan burung serta berbagai ekosistem yang akan memberikan kesejukan.
Namun, bayangan itu langsung sirna seketika ketika melihat kondisi Tahura Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, sebagian kecil di Kabupaten Panajam Paser Utara dan sebagian kawasan terpotong oleh jalan poros Samarinda-Balikpapan.
Untuk menuju kawasan dapat ditempuh dengan jalan darat dari Samarinda kurang lebih 1,5 jam atau dari Balikpapan kurang lebih 45 menit.
Namun, di sepanjang jalan poros Samarinda-Balikpapan terdapat puluhan bahkan ratusan warung berada di sisi kanan dan kiri jalan yang merupakan kawasan Tahura Bukit Soeharto.
Ketika rombongan Komisi III DPRD Kaltim bersama Dinas Kehutanan, Dinas Pertambangan, Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda serta sejumlah wartawan melakukan inspeksi mendadak (sidak) di jalan kolaborasi kawasan Tahura, keasrian hutan Kalimantan sudah tidak tampak lagi.
Sebelum memasuki kawasan Tahura Bukit Soeharto di kilometer 38 jalan poros Balikpapan-Samarinda aktivitas tambang batu bara sudah sangat terasa.
Bahkan, rombongan sempat berpapasan dengan sejumlah kendaraan tambang.
Di sepanjang jalan juga terlihat tanaman kelapa sawit, kebun serta rumah-rumah warga.
Sebelum memasuki jalan kolaborasi, debu aktibat aktivitas tambang terlihat membumbung ke angkasa dan deru mesin kendaraan besar pengangkut batu bara terdengar hingga beberapa meter.
Memasuki kawasan Tahura Bukti Soeharto, suasana tambang batu bara tidak serta-merta hilang tetapi justru kian terasa.
Puluhan mobil pengangkut batu bara terlihat menunggu di persimpangan ketika rombongan Komisi III DPRD Kaltim melintas di jalan kolaborasi tersebut.
Bahkan, rombongon Kimisi III DPRD Kaltim sempat menyaksikan aktivitas pembakaran di dalam kawasan Tahura Bukit Soeharto tersebut.
Daun pohon tak lagi terlihat hijau sebab ditutupi debu, kicau burung ditelan suara deru kendaraan tambang dan tidak terlihat adanya satwa yang melintas.
"Ini sih tidak terlihat seperti sebagai kawasan hutan tetapi tak ubahnya kawasan tambang," celetuk seorang wartawan.
Pada sidak tersebut, diperlihatkan lima jalan kolaborasi yang dijadikan `hauling` atau jalur pengangkutan batu bara oleh 15 perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di sekitar kawasan Tahura Bukit Soeharto.
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim, Andi Harun mengatakan, lima jalan kolaborasi yang berada di kawasan Tahura Bukit Soeharto, yakni jalan sepanjang 6,4 kilometer digunakan oleh lima perusahaan, jalan sepanjang 8,5 kilometer digunakan tiga perusahaan, jalan kolaborasi sepanjang 9,7 kilometer dan "stock pile" atau pelabuhan seluas 3 hektare digunakan empat perusahaan.
Selain itu, jalan sepanjang 9,3 kilometer dan pelabuhan seluas 2,6 hektare digunakan satu perusahaan, serta pelabuhan dengan luas 30 hektare dengan jalan kolaborasi sepanjang digunakan oleh dua perusahaan.
"Banyak penyimpangan yang dilakukan perusahaan tambang batu bara terkait dengan penggunaan jalan kolaborasi di kawasan Tahura Bukit Soeharto. Salah satunya, kita menemukan adanya pembakaran yang semestinya itu menjadi tanggung jawab para perusahaan untuk mengawasi," katanya.
Di samping itu, kata Andi Harun, pos jaga di setiap jalan kolaborasi terlihat tidak layak, apalagi pos jaga itu harus aktif selama 24 jam. Namun, jika melihat kondisinya, tidak mungkin pos itu aktif sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
Pihak DPRD Kaltim, lanjut dia, akan segera mengajukan penutupan jalan kolaborasi di kawasan Tahura Bukit Soeharto itu.
"Sejak prosesnya saja sudah aneh dan penerapan di lapangan juga tidak sesuai. Jadi, jika kawasan Tahura Bukit Soeharto akan dikembalikan lagi ke konsep awal, semestinya jalan kolaborasi itu ditutup. Kami akan mempertanyakan keluarnya izin jalan kolaborasi itu. Jika perlu, akan ditempuh melalui jalur hukum," ungkap Andi Harun.
Komisi III DPRD Kaltim menilai banyak kejanggalan atas terbitnya izin kolaborasi di kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto itu mulai proses hingga dari segi manfaat yang diperoleh pemerintah terkait penggunaan kawasan hutan konservasi tersebut.
"Daerah bahkan negara tidak memperoleh manfaat terhadap eksploitasi sumber daya alam (SDA) batu bara. Masalah kawasan hutan konservasi di kawasan Tahura Bukit Soeharto mulai kisruh saat Menteri Kehutanan yang saat itu dijabat MS Ka`ban menerbitkan SK 577/Menhut-II/2009 yang menetapkan kawasan Tahura seluas 67.766 hektare namun tanpa dilengkapi tata batas yang telah disahkan sehari sebelum dia diganti," ungkap Andi Harun.
"Kita telah melihat lima jalan kolaborasi yang telah diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kemenhut. Anda lihat sendiri, pos jaga yang ada di setiap ujung yang dikatakan beroperasi selama 24 jam tetapi kondisinya tidak memadai," katanya.
Andi Harun mengatakan, Komisi III juga mencatat, sebagian perusahaan tambang baru yang tidak mematuhi kesepakatan izin kolaborasi yang telah mereka buat dan kami juga tadi menemukan adanya pembakaran lahan di kawasan Tahura.
Komisi III DPRD Kaltim, lanjut dia, akan memanggil kembali 15 perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di dekat Tahura Bukti Soeharto.
"Target kami jalan izin kolaborasi itu ditutup namun kami akan terlebih dahulu memanggil pihak perusahaan yang menggunakan jalan itu serta yang beroperasi dekat kawasan Tahura untuk menyamakan visi," kata Andi Harun.
Kewenangan penutupan jalan itu, ujarnya, ada pada Menteri Kehutanan dan semestinya pihak kementerian kehutanan memahami kemungkinan resiko akibat digunakannya kawasan itu sebagai jalur "hauling" batu bara.
Kawasan Konservasi
Awalnya, kawasan Bukit Soeharto hanya ditetapkan sebagai Hutan Lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 818/Kpts/Um/11/1982 tentang Penetapan Hutan Lindung Bukit Soeharto seluas 27.000 hektare.
Kebijakan tersebut kemudian dilanjutkan pada 1987 yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 245/Kpts-II/1987 tanggal 18 Agustus 1987 tentang Perubahan status kawasan hutan lindung Bukit Soeharto seluas kurang lebih 23.800 hektar menjadi hutan wisata dan penunjukan perluasannya dengan kawasan hutan sekitarnya seluas kurang lebih 41.050 hektare sehingga luas Hutan Wisata Bukit Soeharto kurang lebih 64.850 hektare.
Pada 1991 dikeluarkan lagi ketetapan kawasan Hutan Wisata Bukit Soeharto seluas 61.850 hektare sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai Hutan Wisata melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 270/Kpts-II/1991, 20 Mei 1991.
Kawasan itu kemudian berubah setelah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. SK.419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, tentang Perubahan fungsi Taman Wisata Alam Bukit Soeharto seluas 61.850 hektare menjadi Taman Hutan Raya.
Nasib kawasan Tahura Bukit Soeharto kian tidak jelas ketika terbit SK Menteri Kehutana No.557/Menhut-II/2009, tanggal 19 September 2009 dengan luas areal menjadi 67.766 hektare yang berdampak pada tidak jelasnya tapal batas wilayah hutan menyebabkan beberapa perusahaan tambang batu bara masuk ke kawasan tersebut.
Padahal, tujuan penunjukan wilayah ini adalah untuk melindungi, menjaga kelestarian dan menjamin pemanfaatan potensi kawasan dan berfungsi sebagai wilayah untuk koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli yang dapat dipergunakan untuk kepentingan penelitian, pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Ekosistem Tahura Bukit Soeharto terdiri dari hutan campuran Dipterocarpaceae dataran rendah, hutan kerangas, hutan pantai, semak belukar dan alang-alang.
Berbagai jenis tumbuhan yang ada di kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto telah berubah sebagai ekosistem hutan tanaman yang merupakan upaya rehabilitasi dengan berbagai jenis tanaman seperti Acasia (Acasia mangium), Sengon (Albasia sp.), Mahoni (Swietenia mahagoni spp), flora asli yang didominasi jenis Meranti (Shorea sp.).
Sebagian juga merupakan hutan penelitian berupa persemaian berbagai jenis flora seperti Mahang (Macaranga hypoleuca), diantaranya jenis dilindungi seperti Ulin (Eusideraxylon zwageri), Kayu arang (Diospyros sp.), dan Kempas (Koompassia malaccensis), Palaman (Iristania spp), Resak (Vatica spp), Bayur (Pterospermum spp), Gmelina (Gmelina arborea), Karet (Havea brasiliensis), Rotan (Calamus sp), Aren (Arenga catechu), Ketapang (Terminalia catappa).
Pada kawasan itu juga terdapat berbagai fauna yakni Orang Utan (Pongo Pygmaeus), terdapat di Fasilitas rehabilitasi Pusat Reintroduksi Orang Utan Wanariset Samboja, Beruang Madu (Helarctros malayanus), Macan Dahan (Neofelis nebulosa), Landak (Hystrix brachyura), Owa-Owa (Hylobates muelleri).
Selain itu, Burung Enggang (Buceros rhinoceros), Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Trenggiling (Manis javanica), Rusa Sambar (Cervus unicolor), Kuau Besar (Lophura sp), Biawak (Varanus salvator), Tupai (Tupaia sp), Musang (Cynogalesp), Babi Hutan (Sus sp), Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus). ***3***