Dunia anak-anak tentu saja adalah dunia bermain, tetapi di saat yang bersamaan sekaligus juga dunia mempelajari banyak hal, baik yang positif maupun mengetahui hal yang negatif.
Dengan demikian, diharapkan ketika dewasa kelak, mereka bisa menjadi manusia yang matang dalam menjalani kehidupan sosial, karena sudah mengetahui mana saja yang seharusnya dilakukan dan mana saja hal yang tidak sepantasnya dilakukan.
Meski demikian, pada kenyataannya tidak semua anak-anak dapat menjalani dunia seperti itu. Tidak sedikit di antara mereka yang melakukan tindakan melanggar hukum, yang sebelumnya hanya dilakukan orang dewasa.
Bahkan, berdasarkan data, dari hari ke hari kian banyak saja usia anak-anak --atau dalam bahasa hukum adalah mereka yang belum berusia 18 tahun-- yang terlibat pelanggaran hukum.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan aksi kriminalitas yang dilakukan anak di bawah umur tidak terlepas dari kurangnya perhatian orang tua terhadap buah hatinya. Kurangnya perhatian dari orang tua membuat anak lepas kontrol.
Kondisi ini, lanjut dia, didukung dengan sifat masyarakat yang memiliki psikologi agresif dan faktor keluarga yang sibuk sehingga gaya hidup modern tidak terkontrol. Akibatnya, anak yang memiliki keinginan lebih, ingin melakukan hal tersebut.
Devie menuturkan dirinya tidak setuju apabila dalam kasus pidana yang melibatkan anak, sang anak menjadi pihak yang terhukum karena menurut dia, sekalipun dilakukan oleh para anak remaja atau anak di bawah umur, mereka sebenarnya juga merupakan korbannya.
"Upaya pemberian hukuman kurungan tidak akan memberi efek jera, rehabilitasi harus dilakukan agar hukuman menjadi terkontrol," katanya.
Di sisi lain, ada kecenderungan peningkatan permasalahan sosial anak seperti tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, penelantaran, dan masalah-masalah sosial lainnya yang berdampak pada meningkatnya jumlah anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Kasubdit Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK) Kementerian Sosial, Puji Astuti Santoso mengatakan peran aktif pemerintah, keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga yang menyelenggarakan perlindungan bagi anak semakin dituntut untuk dapat menempatkan diri dalam posisi strategis upaya perlindungan anak di Indonesia.
"Upaya yang lebih penting dalam proses penanganan permasalahan sosial anak di Indonesia adalah pengembangan jaringan lintas sektor baik dinas/instansi sosial, aparat penegak hukum serta lembaga-lembaga lain yang berkompeten dalam upaya perlindungan anak," jelas Puji Astuti.
Salah satu tugas dan peran pemerintah, pemerintah daerah dan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak secara general adalah menciptakan lingkungan yang protektif bagi anak, kata Puji Astuti.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang kehadirannya hampir berada di seluruh provinsi, kabupaten/kota di Indonesia, merupakan potensi yang positif dalam mengembangkan jaringan kerja terhadap aksesibilitas upaya penanganan kasus-kasus anak, ujarnya
"Untuk mendukung pelaksanaan respons kasus anak, Kementerian Sosial telah menyalurkan anggaran biaya respons kasus anak kepada LPA yang telah menjalin kemitraan dengan Kementerian Sosial," jelas Puji Astuti.
Rehabilitasi ABH
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengamanatkan Kementerian Sosial untuk melaksanakan rehabilitasi sosial bagi anak yang berhadapan dengan hukum melalui lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Untuk itu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada 15 Juni 2015 telah menerbitkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Permensos Nomor 9 tahun 2015 itu menyebutkan bahwa pedoman rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) bertujuan memberikan arah dan pedoman kerja bagi pemerintah, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, LPKS ABH, dan masyarakat, terlaksananya proses rehabilitasi sosial di dalam LPKS ABH, memberikan perlindungan ABH oleh LPKS dan meningkatnya kualitas rehabilitasi sosial ABH.
Sedangkan rehabilitasi sosial ABH ditujukan kepada anak yang belum berusia dua belas tahun melakukan tindak pidana atau di duga melakukan tindak pidana, anak yang sedang menjalani proses hukum ditingkat penyidikan, penuntutan, dan pengadilan, anak yang telah mendapatkan penetapan diversi, atau anak yang telah mendapatkan penetapan dan/atau putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Rehabilitasi sosial ABH bertujuan agar ABH dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang meliputi kemampuan dalam melaksanakan peran, memenuhi hak-hak anak, memecahkan masalah, aktualisasi diri, dan pengembangan potensi diri, dan tersedianya lingkungan sosial yang mendukung keberhasilan Rehabilitasi Sosial ABH.
Peraturan itu juga menyebutkan bahwa rehabilitasi sosial ABH dapat dilakukan di dalam LPKS dan/atau di luar LPKS. LPKS merupakan lembaga yang telah ditetapkan oleh Menteri Sosial.
Adapun bentuk kegiatan rehabilitasi sosial oleh LPKS tersebut antara lain motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan sosial, konseling psikososial, dan kegiatan lainnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, LPKS membentuk Rumah Antara yang merupakan bagian dari proses layanan LPKS yang berfungsi sebagai tempat sementara bagi anak untuk memperoleh layanan lanjutan.
Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Samsudi menjelaskan anak yang berhadapan dengan hukum bukan hanya merupakan pelaku, melainkan juga bisa korban bahkan saksi.
Ia mengatakan aturan UU tidak membolehkan menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum, dengan pengadilan pidana umum, melainkan dengan diversi.
Anak yang mendapatkan perlakuan diversi itu itu merupakan anak yang berumur kurang dari 12 tahun dengan tuntutan pidana kurang dari tujuh tahun dengan berbagai macam kasus.
"Mereka harus mendapatkan perhatian khusus, sebab mereka masih kecil. Itu sudah menjadi kesepakatan semua pihak, di mana anak yang menjadi pelaku ataupun korban tidak perlu dalam sistem peradilan umum, tapi diversi, yang artinya anak harus di panti rehabilitasi ABH apapun kasusnya," ujarnya.
Samsudi mengatakan, latar belakang adanya pendirian LPKS selain merupakan tindak lanjut dari UU Sistem Peradilan Pidana Anak, juga sebagai upaya untuk tetap memberikan hak anak untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut dia, mereka tidak layak berada di balik tahanan, sebab justru ke depannya bisa menimbulkan sifat negatif, seperti niatan untuk balas dendam. Jika mereka masih kecil, namun dalam penanganan perkara seperti perkara orang dewasa dan bergabung dengan orang yang lebih dewasa, dikhawatirkan mereka menjadi tambah pintar dan terpengaruh.
Kasus anak yang berhadapan dengan hukum, tambah dia, cukup banyak. Ia berharap, tingkat kesadaran masyarakat juga semakin tinggi dan ikut membantu dalam penanganan anak yang sedang berperkara dengan hukum, salah satunya dengan memperlakukan anak tersebut dengan baik.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menambahkan, saat ini ada 4,1 juta kekerasan dan penelantaraan terhadap anak yang tidak terwadahi oleh institusi dan tidak mendapatkan bantuan maksimal, di antaranya adalah ABH.
"Anak di bawah 16 tahun yang melakukan pelanggaran tidak dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakat (LP), sebab hal itu bakal menimbulkan terganggunya tumbuh-kembang dan bisa terkontaminasi dalam LP yang mayoritas dihuni orang dewasa," katanya.
Mensos mengatakan, dari jumlah 4,1 juta tersebut, ABH baru ditangani oleh lima panti. Namun hingga akhir Desember 2015 rencananya akan ada penambahan menjadi 11 panti yang fokus terhadap pembinaan dan tumbuh-kembang anak. (*)
Rehabilitasi Sosial bagi Anak Bermasalah Hukum
Rabu, 16 Desember 2015 16:47 WIB