Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Pemkab Kutim), Kalimantan Timur, menyatakan bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA) dijamin Undang-Undang Dasar 1945, sehingga pemerintah daerah setempat menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang penetapan MHA.
"Pengakuan dan perlindungan MHA menjadi isu penting sebagai wujud pelaksanaan UUD 1945, terutama pasal 18 B ayat (2)," kata Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Kabupaten Kutim Poniso Suryo Renggono, saat membuka Kegiatan Penguatan Kapasitas Panitia Pengakuan dan Perlindungan MHA Kutim, di Sangatta, Kamis.
Dalam ayat (2) itu menyebut "Pengakuan dan penghormatan negara atas kesatuan-kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".
Dalam implementasi di daerah, menurut dia, pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-hak ekonomi dan sosial budaya, termasuk sumber-sumber kehidupan di wilayah adat seperti tanah, hutan, laut dan perairan masih berjalan lambat.
"Hal ini tidak saja disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan panitia MHA tentang tata cara pemberian pengakuan dan perlindungan bagi MHA, tapi juga faktor kehati-hatian dalam mengambil keputusan," ujarnya.
Baca juga: DPMPD Kaltim fasilitasi pengakuan delapan Masyarakat Hukum Adat
Namun ia menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan hak MHA sangat penting karena keberadaan mereka telah ada jauh sebelum terbentu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan pengakuan MHA dan pemenuhan hak MHA, kata dia, Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Kemudian, Pemkab Kutim pada 2020 telah menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 37 tahun 2020 tentang pedoman identifikasi, verifikasi dan penetapan MHA.
"Kedua regulasi ini dapat dijadikan rujukan panitia MHA Kabupaten Kutim untuk melakukan pemberian kepastian hukum bagi MHA melalui pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (PPMHA)," katanya.
Ia juga menyatakan penguatan kapasitas bagi panitia hari ini mempunyai arti penting dalam rangka menyamakan persepsi, peningkatan kinerja, koordinasi dan kolaborasi dalam upaya percepatan pemberian pengakuan MHA.
"Setelah hari ini, saya harap para peserta lebih terampil dan mampu memahami tata cara hingga mekanisme melakukan identifikasi dan verifikasi dokumen pengajuan pengakuan dan perlindungan dari MHA sesuai ketentuan perundang-undangan," kata Poniso.
Baca juga: Pemprov Kaltim fasilitasi pengakuan delapan Masyarakat Hukum Adat
"Pengakuan dan perlindungan MHA menjadi isu penting sebagai wujud pelaksanaan UUD 1945, terutama pasal 18 B ayat (2)," kata Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Kabupaten Kutim Poniso Suryo Renggono, saat membuka Kegiatan Penguatan Kapasitas Panitia Pengakuan dan Perlindungan MHA Kutim, di Sangatta, Kamis.
Dalam ayat (2) itu menyebut "Pengakuan dan penghormatan negara atas kesatuan-kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".
Dalam implementasi di daerah, menurut dia, pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-hak ekonomi dan sosial budaya, termasuk sumber-sumber kehidupan di wilayah adat seperti tanah, hutan, laut dan perairan masih berjalan lambat.
"Hal ini tidak saja disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan panitia MHA tentang tata cara pemberian pengakuan dan perlindungan bagi MHA, tapi juga faktor kehati-hatian dalam mengambil keputusan," ujarnya.
Baca juga: DPMPD Kaltim fasilitasi pengakuan delapan Masyarakat Hukum Adat
Namun ia menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan hak MHA sangat penting karena keberadaan mereka telah ada jauh sebelum terbentu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan pengakuan MHA dan pemenuhan hak MHA, kata dia, Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Kemudian, Pemkab Kutim pada 2020 telah menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 37 tahun 2020 tentang pedoman identifikasi, verifikasi dan penetapan MHA.
"Kedua regulasi ini dapat dijadikan rujukan panitia MHA Kabupaten Kutim untuk melakukan pemberian kepastian hukum bagi MHA melalui pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (PPMHA)," katanya.
Ia juga menyatakan penguatan kapasitas bagi panitia hari ini mempunyai arti penting dalam rangka menyamakan persepsi, peningkatan kinerja, koordinasi dan kolaborasi dalam upaya percepatan pemberian pengakuan MHA.
"Setelah hari ini, saya harap para peserta lebih terampil dan mampu memahami tata cara hingga mekanisme melakukan identifikasi dan verifikasi dokumen pengajuan pengakuan dan perlindungan dari MHA sesuai ketentuan perundang-undangan," kata Poniso.
Baca juga: Pemprov Kaltim fasilitasi pengakuan delapan Masyarakat Hukum Adat