PINTU tripleks yang terkelupas terbuka di sebuah rumah yang lebih pantas disebut gubug yang hanya berdinding dari terpal dan sebagian tripleks dengan atap daun nipah.
Di dalam rumah yang terletak di bilangan RT 10 Kelurahan Timbau, Tenggarong itu, tampak seorang wanita paruh baya dalam balutan mukena lusuh mengahadap kiblat menunaikan salat Zuhur, Sabtu (28/6)
Selesai mengucapkan salam kemudian dilanjutkan dengan berzikir, kedua tangan wanita itu lalu menengadah dengan bibir agak pucat tampak menggumam memohon pada Sang Maha Pencipta.
Hanya berselang sekitar 20 detik saja, wanita itu memanjatkan do`a yang lalu bangkit menyudahi ibadah wajibnya siang itu. Mukena pun di buka kemudian digulung dalam sajadah lalu tutup kepala diganti jilbab berwarna pink.
Memang, sedikit kurang serasi dengan baju warna kuning dan celana training kuning yang di pakai Ibu yang telah 12 kali melahirkan itu.
Rupanya, tak cukup hanya berjilbab, topi hitam berlogo Pemkab Kutai Kartanegara juga dikenakannya.
Wanita paruh baya bernama Ainun tersebut lalu keluar rumah terpalnya, duduk di bangku kayu samping pintu sambil memasang sepatu, sambil menggapai sapu lidi bertangkai batang kayu dan sekop sampah kemudian tidak lupa menggembok pintu gubugnya..
Wanita kelahiran 1956 itu adalah seorang petugas kebersihan atau yang kerap diistilahkan sebagai 'Pasukan Kuning' di Tenggarong.
Ainun berjalan kaki dari rumahnya, menyusuri jalan setapak menuju gang lebih besar di bilangan jalan yang lebih populer disebut eks Rumah Sakit Kusta pal 6 dengan tujuanyaitu ke tepi jalan raya kelurahan Timbau.
"Tugas menyapu saya di sekitar Eramart Timbau," ujar Ainun sambil terengah-engah di tengah perjalanan menuju tempat tugasnya.
Menurut wanita yang sudah dua kali menjanda karena ditinggal mati suaminya itu, berjalan kaki kurang lebih lima kilo meter dari rumahnya menuju tempat tugas memang sehari-hari Ia lakukan, kalau tidak ada rekan atau teman yang berbaik hati memboncengnya ke tempat kerja.
"Saya tidak punya kendaraan, kalau tidak ada tumpangan ya jalan kaki aja sudah biasa," katanya.
Tiba di lokasi kerja, sekitar pukul 14.00 wita Ainun langsung bekerja, meski kendaraan lalu lalang, dengan cekatan sampah dan debu pasir dikumpulkannya sehingga selesai pukul 16.00 wita.
Dia tak langsung pulang, namun menuju Masjid tak jauh dari lokasi tugasnya, lalu mencuci bersih tangan dan kaki lalu berwudhu untuk menunaikan salat Ashar, setelah itu lalu pulang kembali jalan kaki menuju rumah yang dia anggap istana.
"Anak-anak saya yang sudah berkeluarga mengajak tinggal dengan mereka di kota, tapi saya senang tinggal disini karena tenang dan bisa berkebun," ujarnya.
Di rumah berukuran 8x8 meter dengan tiang kayu sungkai yang masih utuh kulit luarnya itu Ainun tak sendirian. Dia bersama seorang anak wanita berumur enam tahun yang bukan anak kandung ataupun cucu, melainkan anak angkat yang diberikan orang lain kepada dirinya, namun tetap disayangi layaknya darah dagingnya.
Sudah 17 tahun Ainun bekerja sebagai Pasukan Kuning. Dalam sehari, dua kali ia bertugas menyapu jalanan, yaitu pagi mulai pukul 06.30 sampai 9.30, dan siang pukul 14.00 sampai 16.00 wita.
Meski hujan atau panas terik disaat usianya tak muda lagi itu Ainun tetap bersemangat menjalankan tugasnya, walau tengah berpuasa bukan halangan baginya.
"Kecuali saya sudah tak kuat bangun, baru saya meninggalkan pekerjaan ini. Saya ikhlas, karena kebersihan itu sebagian dari iman, jadi saya mencintai tugas ini," katanya.
Ainun juga bersyukur dan merasa bangga kerena baru-baru ini Tenggarong meraih Adipura kategori kota kecil, yaitu penghargaan dari Pemerintah Pusat untuk kota yang dianggap bersih.
"Saya merasa usaha kami sebagai pasukan kuning berhasil, saya bangga," ujaranya sambil tersenyum.
Sejak 1997, Ainun menjadi petugas keberihan, mulai dari gaji Rp 150 ribu ditambah uang beras Rp10 ribu perbulan, hingga kini gaji yang diterimanya jauh lebih tinggi yaitu Rp 2,2 juta per bulan.
Meski demikian, Ainun tetap memilih hidup sederhana. Ternyata jawabannya sebagian gajinya ditabung sebagai usahanya menuju Tanah Suci.
"Keinginan besar saya adalah ke Tanah Suci, baik itu ibadah Haji maupun Umroh, yang penting saya bisa beribadah disana," ungkapnya.
Untuk itu Ainun tetap berprinsip untuk hidup sederhana dirumah yang tidak ada aliran listrik PLN tersebut. Meski sebagain orang beranggapan hal tersebut susah, namun tidak bagi Ainun, karena baginya hidup sesederhana di kebun sangat nyaman.
"Saya nyaman hidup seperi ini, yang penting saya bisa menabung untuk ke Tanah Suci, mudah-mudahan niat saya ini bisa tercapai," demikian ujarnya. (*)