Penajam (ANTARA News Kaltim) - Warga Kerok Laut Kelurahan Penajam, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), menuntut Chevron Indonesia Company membayar ganti rugi atas tanah dan rumah warga yang terkena dampak aktivitas perusahaan tersebut.
"Kami sudah lama berdomisili di lingkungan ini, jauh sebelum Chevron masuk dan beroperasi. Kami merasa sangat dirugikan. Kami menerima kebisingan dari pagi hingga malam hari, juga menerima bahaya dari aktivitas angkutan kendaraan perusahaan yang memotong jalan umum," jelas Aspar, warga Kerok Laut Kelurahan Penajam, Sabtu.
Belum lagi, tambah Aspar, terjadinya abrasi akibat akvitas Chevron di pesisir sungai. Apalagi dalam waktu dekat ini perusahaan bakal kembali melakukan pengerukan alur sungai di sepanjang kawasan yang berdekatan dengan rumah tinggal warga.
Ia mengatakan, warga Kerok Laut telah menyampaikan tuntutan mereka kepada DPRD PPU dan pihak Chevron di Gedung DPRD PPU pada Jumat (13/7).
Sebelumnya, kata dia, warga juga sudah pernah melakukan pertemuan dengan Chevron dan menyampaikan keberatan-keberatan.
Namn Chevron, kata Aspar, menolak keberatan itu dengan alasan kegiatan perusahaan telah sesuai dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang disetujui oleh Kantor Lingkungan Hidup (KLH) PPU.
"Tapi dalam penyusunan Amdal, hingga UPL dan UKL, warga yang berdampak langsung tidak pernah dilibatkan. Padahal dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah jelas warga yang terkena dampak harus dilibatkan dalam penyusunan aturan-aturan tersebut," tegas Aspar.
Oleh karena itu warga menuntut agar diberikan kompensasi sesuai dengan UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Warga juga meminta pembayaran ganti rugi tersebut dilakukan sebelum Chevron memulai aktivitasnya kembali.
"Sebab kami tidak mau terjadi hal seperti saudara-saudara kami di Desa Girimukti dan Tanjung baru yang realisasi ganti ruginya baru setelah bertahun-tahun nasibnya digantung oleh perusahaan," ucap Aspar.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD PPU, Andi M Yusuf, mengatakan, apa yang disampaikan oleh warga merupakan hal yang wajar dan harus diakui dampak dari kegiatan Chevron sangat dirasakan oleh masyarakat.
"Kita tidak mencari siapa yang salah dan benar, tetapi mencari jalan keluar yang terbaik. Kami melihat perlu ada tim kecil dari kedua pihak. Pembayaran kompensasi dapat dibicarakan kemudian asalkan kedua belah pihak sepakat," ujarnya.
Menurut Andi Yusuf, jalan musyawarah dan duduk bersama merupakan media terbaik dalam mencari jalan keluar masalah tersebut.
Sedangkan Acting Manager Policy, Government and Public Affairs Chevron Indonesia Company, Sainur Arif, menanggapi bahwa pada intinya manajemen Chevron setuju untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat yang rumahnya atau lingkungannya terkena dampak aktivitas pengerukan alur sungai tersebut, namun ganti rugi baru bisa dilakukan setelah tim penilaian melakukan analisis dampak serta melihat fakta di lapangan.
"Kami telah membentuk tim untuk menilai tempat-tempat mana saja yang terkena dampak kegiatan kami di sungai tersebut, dan pembayaran baru bisa kita lakukan setelah dilaksanakan kegiatan pengerukan berdasarkan penilaian tim," papar Sainur Arif.
Berdasarkan data dari pihak Kelurahan Penajam, lanjutnya Sainur Arif, terdapat 200 rumah warga yang bakal terkena dampak kegiatan pengerukan alur sungai tersebut.
Jumlah itu bisa berkurang atau lebih bergantung kepada hasil analisis dan kajian tim Chevron di lapangan.
Kegiatan Chevron di Kerok Laut, Penajam, tersebut adalah bagian dari aktivitas eksplorasi.
Aktivitas kapal yang lalu lalang merupakan bagian dari uji seismik untuk mengetahui berbagai hal mengenai kandungan minyak atau gas yang ada di dalam tanah.
Umumnya uji seismik berdampak minim terhadap lingkungan. Yang menjadi keluhan biasanya kegiatan pendukungnya, seperti hilir mudik kapal yang dikeluhkan warga Kerok Laut.
Di sisi lain, UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) yang menjadi dasar aktivitas Chevron merupakan dokumen pengelolaan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan atau kegiatan yang sudah jelas standar cara penanganan, atau sudah diketahui teknologi pengelolaan dampak atau limbahhya.
Perusahaan juga sudah memiliki prosedur tetap dan memiliki kemampuan untuk menjalankan prosedur atau teknologi penanganan dampak tersebut.
UKL-UPL juga disebut arahan teknis dari instansi berwenang, yaitu KLH atau BLH di provinsi atau kabupaten- kota untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Karena itu juga, pemegang UKL-UPL tidak wajib membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), studi atau prosedur mengenai langkah-langkah yang diambil suatu unit usaha untuk mengelola dan memantau lingkungan hidup di wilayah kerjanya, yang sebelumnya dipresentasikan dulu di depan pihak-pihak yang berwenang dan kemudian diberi penilaian.
UKL-UPL diatur dalam Peraturan Menteri LH Nomor 12 Tahun 2010 sebagai langkah teknis dari Pasal 35 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (*)
Warga Kerok Laut Tuntut Chevron Bayar Kompensasi
Sabtu, 14 Juli 2012 16:09 WIB