Balikpapan, (ANTARA) - Sejak keluar dari jalan aspal di Segah selepas Sido Bangen, jalan ke Kampung Long Duhung, Kecamatan Kelay, Berau, adalah mengikuti jalan tanah yang sebagian berpasir dan sebagian lagi jalan tanah laterit. Bila hujan, jalan itu dipastikan akan licin dan bila lengah dan tak awas, mobil akan mudah tergelincir. Selama setengah jam, pemandangan di kiri dan kanan adalah lahan terbuka dan kemudian perkebunan sawit.
Lalu padang semak, dan kemudian kawasan dengan pohon-pohon kecil. Sepanjang jalan itu ada setidaknya tiga lapangan terbuka. Satu di kanan yang sudah mulai tertutup semak, satu di kiri jalan dengan sejumlah kayu gelondongan tergeletak, dan satu lagi bak showroom alat berat. Sejumlah eksavator dan buldozer, juga truk-truk, parkir berderet-deret.
“Itu lapangan penumpukan kayu dari perusahaan-perusahaan yang dulu mendapat izin menebang kayu di sini,” tutur Matias, Ketua Badan Permusyawaratan Kampung Long Duhung. Jalan itu pun dulu dibuat dan dipelihara perusahaan penebangan kayu.
Lalu di mana hutan yang menjadi sandaran hidup dan jiwa Orang Mapnan di Long Duhung?
“Selamat datang di Wungun,” kata Dixon ketika ketinting, perahu bermesin tempel dengan baling-baling as panjang, yang dikemudikannya memasuki sebuah muara sungai kecil di Bluq Glop, 15 menit ke hulu dari kampung.
Sungai (bluq) Enyiu berada di bawah bayangan pohon-pohon besar. Sinar matahari sore sudah tidak banyak lagi menembus kanopi hutan, membawa suasana mencekam bagi yang baru pertama kali masuk di dalamnya.
“Tangganya sudah lapuk,” kata Misakh Lungui, 60 tahun, menunjuk tebing sungai tempat biasa mereka naik ke darat. Sudah tidak ada tangga lagi di situ, tapi Flora, istri Misak, tak kesulitan untuk naik ke darat. Begitu juga para perempuan yang lain seperti Marsiti yang bertubuh mungil namun lincah. Dengan berpegang pada pohon kecil di ujung tebing, sebentar semua sudah naik ke darat.
Ada jalan setapak memintas hutan yang turun lagi ke sungai di sisi sebelahnya, dan bersambung ke daratan di seberangnya. Di ujung jalan setapak itu, lebih kurang seratus meter dari sungai, di bagian tertinggi tanah lapang, berdiri sebuah pondok papan sederhana.
“Ini pondok kami menginap untuk berbagai acara,” terang Misakh. Di dalam pondok bisa untuk berbaring 15 orang. “Dipas-paskanlah,” katan lelaki yang lama menjadi kepala kampung Long Duhung itu.
Urusan Orang Mapnan di hutan apalagi kalau bukan berburu, mengumpulkan buah-buahan, dan bila diperlukan, mencari tanaman obat. Sekali-sekali ada pertemuan dan berbincang-bincang. Di masa kekinian sekarang, di lapangan di depan pondok juga digelar upacara peringatan hari kemerdekaan, lengkap dengan pengibaran bendera merah putih yang diiringi lagu Indonesia Raya.
Hutan Wungun Bluq Enyiu ini ada di sebelah timur kampung. Luasnya 1400 hektar. Sejak April 2016 warga secara resmi memintanya dikecualikan dari konsesi PT Mardhika Insan Mulia untuk dikelola masyarakat.
Menurut Misakh, Hutan Wungun itu menyediakan mereka hewan buruan seperti rusa dan babi hutan, dan beragam buah-buahan hutan. Langsat dan durian ada diantaranya. Di cabang-cabang pohon-pohon merantinya bergantungan sarang-sarang lebah, menyediakan madu dan royal jelly yang bernilai ekonomi tinggi selain satu obat terbaik untuk menjaga kesehatan.
“Leluhur kami juga dimakamkan di sini,” tutur Dixon, sambil mengunyah langsat yang dipetiknya sehari sebelumnya dari hutan, ia mengenang masa Orang Mapnan sebagai suku pengembara penjelajah hutan.
Untuk melestarikan hutan itu pula sejak 2013 Orang Mapnan antusias terlibat dalam Program Karbon Hutan Berau, program kemitraan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi Kalimantan Timur, pemerintah Kabupaten Berau, dan didukung sejumlah mitra, diantaranya Yayasan Konservasi Alam Nusantara, lembaga swadaya masyarakat yang masih lebih dikenal dengan nama TNC, The Nature Conservancy.
"Program itu bertujuan bagaimana Berau dapat tetap membangun sambil mempertahankan hutan," kata Wakil Bupati Berau Agus Tantomo dalam kesempatan terpisah.
Warga Long Duhung pun rajin berpatroli di Wungun. Tidak hanya Dixon, bahkan juga kaum perempuan seperti Marsiti. Mendatangi hingga ke sudut-sudut hutan dan berhari-hari perjalanan.
“Itu aksi nyata yang kami bisa lakukan,” kata Misakh Lungui. ***3***