Tenggarong (ANTARA) - Pihak terkait di Provinsi Kalimantan Timur mencatat pernikahan usia dini hingga akhir Juni 2018 sebanyak 953 kasus, sehingga peran orangtua untuk mencegah hal ini sangat diharapkan karena secara mental usia muda masih rawan dalam membina rumah tangga.
"Berdasarkan UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, pasal 7 ayat 1 disebutkan minimal usia perkawianan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun,” ujar Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim, Halda Arsyad di Tenggarong, Senin.
Ia mengatakan itu ketika menjadi narasumber dalam Workshop Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Kabupaten Kutai Kertanegara yang berlangsung di Ruang Serbaguna Kantor Bupati di Tenggarong.
Menurutnya, jumlah anak menikah di usia dini yang sebanyak 953 kasus itu terbanyak berasal dari Kabupaten Kutai Kartanegara sebanyak 176 kasus, Kabupaten Paser 151 kasus, dan dari Kota Samarinda sebanyak 109 kasus dengan dominasi kaum perempuan.
Batas minimum perkawinan usia 17 dan 16 tahun itu pun masih ada toleransi, yakni jika ada calon mempelai kurang dari batas usia yang ditetapkan, maka harus mengajukan dispensasi perkawinan ke pengadilan agama sesuai dengan pasal 7 ayat 2.
Menurutnya, pencegahan perkawinan usia anak tidak hanya menjadi slogan tanpa mengetahui akar masalah perkawinan usia anak, karena hal ini berpengaruh juga pada faktor budaya, dorongan orangtua, kemiskinan dan ada anak yang hamil sebelum menikah.
Di samping itu, lanjutnya, ada orangtua yang merasa malu jika memiliki anak perempuan namun terlambat menikah karena ada yang menilai “tidak laku”, termasuk keyakinan menikahkan anak secara cepat adalah untuk menghindari perzinahan.
Ia juga mengatakan, batas usia minimum pernikahan berdasarkan UU Nomor 1/1974 tersebut juga mengalami disharmonisasi dengan UU Perlindungan Anak, karena UU Perlindungan Anak menyatakan usia di bawah 18 tahun merupakan usia di bawah umur sehingga perkawinannya harus dicegah.
Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa pada usia 16 tahun, seseorang belum mencapai kematangan secara psikis maupun biologis, terutama perempuan yang berdampak langsung terhadap rahimnya.
Beberapa aktivis perempuan bahkan telah mengajukan yudicial review ke Mahkama Kontitusi untuk merivisi UU Nomor 1/1974 tersebut, namun ditolak dengan berbagai alasan yang berlandaskan pada moral dan agama.
"Untuk mengurangi dan mencegah pernikahan dini, maka advokasi, edukasi, dan sosialisasi ke orangtua dan remaja perlu terus dilakukan dengan melibatkan semua pihak terkait," tutur Halda.