Agus Bei akhirnya menerima Piala Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan dari Pemerintah Indonesia. Apa artinya penghargaan itu bagi Agus yang awalnya adalah kontraktor pekerjaan konstruksi dan listrik itu?
Seminggu sebelum tanggal 2 Agustus 2017, hingga sepekan sesudahnya, di laman facebook Agus Bei berderet-deret ucapan selamat. Ada dari teman-teman dekat, kenalan jauh, tamu yang pernah berkunjung ke Mangrove Center, kawan masa SMP di Banyuwangi, hingga pejabat.
Semua sudah tahu Agus akan menerima dan kemudian menerima, penghargaan Kalpataru dari Pemerintah Republik Indonesia.
Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi, satu di antara pejabat itu. Anak sulung Agus, Resky Aprilia Bei, alumni Politeknik Balikpapan, mengunggah ulang foto dari akun instagram Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi terkait ucapan selamat itu ditayangkan.
"Proud of you, bapakke! Agus Bei," tulis Resky memberi pengantar di foto unggahan Wali Kota Rizal Effendi.
Di foto itu tampak Agus bersalaman dengan Presiden Joko Widodo setelah menerima Piala Kalpataru. Agus mengenakan busana melayu-banjar kreasi Balikpapan berwarna keemasan, dipadu dengan songkok hitam ala bugis-makassar, gambaran dari beragam campuran budaya di Kota Minyak tersebut.
Wali Kota Rizal Effendi sendiri menulis agak panjang untuk ukuran instagram, seperti kebiasaanya.
"Alhamdullillah, saudara kita Bung @agusbei juga mendapat apresiasi KALPATARU yang diserahkan langsung Presiden Jokowi. Apresiasi yang diberikan kepada mereka mereka yang menjadi perintis, pengabdi, penyelamat dan pembina lingkungan. Semoga kedepan makin banyak warga kota yang melakukan hal serupa. Salam hormat kami. Selamat bung Agus Bei Mangrove."
Kata "mangrove" memang sudah menjadi nama belakang Agus Bei, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Di Balikpapan, bila menyebut mangrove, maka yang terlintas adalah Agus Bei, lalu kelurahan Graha Indah, Sungai Somber-Kariangau, Teluk Balikpapan, dan SMAN 6, sekolah yang menjadikan tanaman mangrove atau bakau sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Semuanya memang diawali oleh Agus pada tahun 1998.
Sejak saat itu, mangrove atau bakau memberikan pengalaman-pengalaman yang kadang bertolak belakang bagi Agus Bei.
"Mulai dari dikira gila sampai diundang ke mana-mana untuk ngasih ceramah, ngajari nanam mangrove," tutur Agus seraya terkekeh.
Pekerjaan Orang Gila
Menanam mangrove atau bakau seluas 150 hektare lebih dan awalnya sendirian, sukarela tanpa bayaran uang, memang mirip pekerjaan orang gila. Medan tanam sungguh tak ramah.
Semua tahu dan melihat sendiri, mangrove, apakah Rhizopora mucronata, Rhizopora apiculata, Avicenna, Sonneratia alba, hanya mau tumbuh di medan lumpur hitam yang likat dengan sedikit bercampur pasir. Menceburkan diri ke medan seperti itu seperti melemparkan diri ke dalam perangkap yang kotor dan bau.
"Saat menanam kami juga tak berani ketika lahan yang akan ditanami terendam air, walaupn saat itu lumpur lebih lunak sehingga melangkah lebih mudah," kata Agus, pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur.
Sebabnya sederhana, air yang menggenang tanggung pada awal pasang atau akhir pasang itu memudahkan buaya berkeliaran. Agus yang pernah melihat buaya sepanjang 4 meter mengapung-apung menunggu mangsa di Sungai Somber dan rawa-rawa tempatnya menanam mangrove tentu tak mau ambil risiko.
"Menanam mangrove saja sudah cukup gila, apalagi kalau ada buayanya," kata Agus, sambil menyeruput kopi, kopi yang disebut Herman, asisten Agus, sebagai "kopi mangrove".
"Jadi perangkap kotor, bau, dan berbahaya," celutuk Herman.
Mengapa Agus menanam mangrove dan mau saja dicap gila? Di teras kantornya yang berhadapan langsung dengan deretan hijau Rhizopora mucronata, dalam kesempatan yang berbeda-beda kepada Kate Elise dari Sydney, kepada Karen Lundgren dari Stockholm, kepada Dandhy Dwi Laksono dari Jakarta, Agus bercerita.
Sekitar tahun 1997, saat awal pindah ke Graha Indah, kawasan jalan di depan rumah Agus merupakan kawasan terbuka.
Kawasan Graha Indah dibangun sebagiannya di ujung rawa-rawa pasang surut. Tak jauh dari perumahan adalah Sungai Somber yang sepanjang alirannya tumbuh pohon-pohon mangrove.
"Bagian depan rumah ini, bekas tambak, jadi terbuka, sering kena terjang angin kencang, juga banjir pasang surut," kisah Agus.
Hutan bakau Somber terpapar dan menerima tekanan banyak aktivitas manusia. Sebagian lahan dibabat oleh berbagai perusahaan, entah untuk sekadar tambat kapal atau tongkang, perluasan kawasan industri, hingga alih fungsi sepenuhnya.
Suatu hari angin ribut dan hujan lebat benar-benar jadi bencana. Angin menerbangkan atap-atap rumah dan air pasang merendam jalan. Agus yang punya anak kecil dan sering pergi keluar kota karena bisnis advertising dan pekerjaan kontrktornya jadi khawatir. Ia juga melihat sebagian tetangganya pindah dari Graha Indah, rumah-rumah ada yang dijual.
"Kalau saya mau pindah ke mana? Rumah saya ya di sini," katanya.
Ia pun berpikir keras untuk mengubah keadaan. Agus jadi memperhatikan dan melihat bahwa lahan di sekitar kompleks itu dulunya hutan bakau.
Bapak dua anak ini juga melihat kawasan yang mangrovenya masih tegak di bagian selatan perumahan paling sedikit terpapar angin dan kerusakannya minimal.
Belajar dari internet, Agus mengetahui kalau mangrove atau bakau adalah pelindung alami. Akar-akarnya menjadi benteng dari air pasang, ketinggiannya jadi pelindung dari angin.
Maka, mulailah Agus menanam mangrove. Dimulai dari lahan di depan rumahnya. Bibitnya ia cari dari hutan bakau itu juga, dari bagian yang masih bagus. Sebagian bibit ia beli.
"Saya mulai dari tidak tahu apa-apa," kata lulusan jurusan teknik mesin Sekolah Teknik Menengah PGRI 2 Banyuwangi itu.
Dari bibit yang tercabut arus pasang atau surut, ia jadi tahu supaya kuat bertahan di lumpur bibit yang baru ditanam harus diikat di turus yang ditancap di sebelahnya.
Kemudian kawasan yang baru ditanami juga harus sering ditengok, apakah ada bibit yang gagal hidup, sehingga bisa segera diganti. Sampah plastik atau kayu hanyut juga harus dibersihkan.
Perlahan tapi pasti, pohon-pohon bakau yang ditanamnya tumbuh. Setelah tahun ketujuh, benteng mangrove-nya mulai terbentuk.
Pohon-pohon itu dari sebesar jempol saat ditanam, kini sudah sebesar lengan. Cabang dan daunnya lebat. Akar-akar tunjang dan akar napas di lumpur sudah kokoh. Angin dan pasang bukan lagi ancaman.
Apalagi kemudian ia terpilih jadi Ketua RT 85, rukun tetangga di lingkungannya itu. Agus jadi punya akses lebih luas untuk mengajak warga berpartisipasi menanam mangrove.
Sampai akhir tahun 2015, warga Graha Indah sudah menanam 20.000 lebih pohon bakau di areal seluas 40 hektare.
Kemudian satwa mulai berdatangan. Burung-burung yang lama tak terlihat, muncul di atas pucuk-pucuk mangrove. Dalam waktu-waktu tertentu, bekantan (Nasalis larvatus) kini berani mendekat sampai ke depan rumah Agus.
Monyet yang jantannya berhidung seperti terong namun berwarna merah dan berperut buncit itu juga terlihat makin banyak. Pemancing juga suka memancing di dekat bakau karena banyak ikannya.
Bakau tanaman warga sempat juga digusur orang dari perusahaan yang akan membangun sesuatu di dekat Graha Indah. Warga dan Agus memprotes, dan lahan seluas sekitar 2 hektare itu pun dipulihkan mangrove-nya.
"Sekarang saya agak mengkhawatirkan status lahan," kata Agus.
Status lahan sebagai tanah negara justru menjadi rentan perambahan. Untuk solusi pengamanan sementara, Agus dan Mangrove Center dibantu Kodim 0905 Balikpapan, sehingga keamanan kawasan itu turut diawasi TNI.
Tempat Wisata
Paduan satwa dan keteduhan hutan, serta petualangan kecil berperahu berkeliling kanal-kanal bakau, tiba-tiba saja menjadi menarik untuk wisata di tengah hiruk pikuk industri Balikpapan.
"Setiap akhir pekan orang mulai ramai berkunjung," kata Agus.
Dalam sebulan tidak kurang ada 200 trip perahu untuk berkeliling melihat hutan bakau. Satu trip rata-rata terdiri dari lima orang.
Tempat di ujung Perumahan Graha Indah itu pun mulai terkenal. Pengunjung pun berfoto ceria di atas perahu klotok dengan latar hijau hutan bakau dan menayangkannya di media sosial.
Pengunjung juga dengan sukarela menyumbang. "Donasi untuk mangrove," kata Kate Elise, yang juga membeli cendera mata berupa topi rimba dan kaus Mangrove Center.
Seiring dengan isu penyelamatan lingkungan yang makin kuat di tengah kerusakan alam dan alih fungsi lahan yang makin masif, apa yang dilakukan Agus dengan menanam mangrove itu tiba-tiba menjadi contoh penting.
"Bahwa masih ada harapan kalau kita mau berbuat. `Angus` memberi contoh apa yang bisa kita lakukan," kata Alexander Dereims, seorang pewarta dari Paris, Prancis.
Alex kesusahan melafalkan nama Agus dan selalu menyebutnya `Angus`. Namun, Alex dengan senang hati menghabiskan waktu sehari penuh bersama Agus dan krunya, turut masuk lumpur menanam bakau pada pagi hari dan merekam aksi bekantan berloncatan dari pohon ke pohon di sore hari.
Agus menjamu Alex makan siang berupa ikan bakar yang diolah tetangganya yang jago masak.
Maka media-media utama, cetak, elektronik, datang, untuk meliput. Mereka dari Balikpapan, Jakarta, sampai dari Paris, Prancis, seperti Alex.
Liputan media membawa perhatian. Semuanya berkembang. Pengunjung pun sekarang disebut ada dari dalam dan luar negeri, tidak lagi hanya dari Balikpapan dan luar Balikpapan. Ada pengunjung biasa yang berwisata saja, ada pengunjung untuk belajar, studi banding, penelitian, wawancara.
Walau tidak resmi, Mangrove Center juga menjadi kawasan konservasi. Balai Karantina Ikan Balikpapan sesekali melepaskan ratusan kepiting yang tidak lolos karantina ke hutan bakau.
Mangrove Center juga memproduksi bibit mangrove, terutama pohon bakau atau Rhizopora mucronata dan Rhizopora apiculata.
Menurut Agus, dalam sebulan sekurangnya ada pesanan 1.000 bibit. Pembibitan dikerjakan masyarakat yang bergabung dalam kelompok bernama Sonneratia, nama latin pohon parepat, satu jenis mangrove juga.
Di satu pojok Sungai Somber, Kelompok Sonneratia juga punya keramba jaring apung untuk mengembangkan ikan kerapu. Hasilnya juga untuk meningkatkan kesejahteraan anggota.
Gang di depan rumah Agus dirapikan. Di ujung jalan dibuat dermaga dan jalan titian dari kayu ulin. Dengan standar keselamatan yang jadi kebiasaan warga Kota Minyak, jalan titian dibuatkan pagar dan setiap pengunjung wajib mengenakan jaket pelampung sebelum naik ke perahu.
"Saya dibantu kawan-kawan dari perusahaan migas, Pertamina, Total Indonesie, Chevron. Mereka bantu buatkan pagar, ngasih pelampung, merapikan dermaga. Kawan-kawan dari perbankan bantu perahu buat keliling dan patroli mangrove," kata Agus mengingat-ingat.
Belakangan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) membantu membuatkan menara pengawas, pos pengamatan, dan perahu patroli. Menteri KLH saat itu, Balthazar Kambuaya, datang langsung dan meresmikan pos pengamatan yang dibangun dari kayu ulin yang kokoh di samping dermaga.
Tahun 2016. Pemkot Balikpapan menjadikan Mangrove Center sebagai satu tujuan wisata favorit hutan bakau di Kota Minyak itu.
Jadwal bulanan Agus jadi penuh. Ia diundang berbicara ke mana-mana untuk berbagi pengalaman, membagi teknik dan ilmu menanam dan membuat bibit bakau.
Ia pernah duduk semeja dan berdiskusi dengan pakar mangrove Dr Dietrich E Bengen. Kini Agus mencurahkan waktu dan tenaga sepenuhnya untuk Mangrove Center.
Agus membuktikan nasihat lama, jadilah pemberi, maka akan banyak menerima. Berbuatlah yang terbaik dan ikhlas, maka yang terbaik juga yang akan terjadi.
"Kalau kita baik kepada siapa saja, termasuk alam dan lingkungan, mereka juga akan berbuat baik kepada kita. Kalau kita bersyukur, Allah akan ganti," kata Agus kepada Dandhy Dwi Laksono, jurnalis video yang mampir dalam perjalanannya keliling Indonesia dengan naik sepeda motor.
Dandhy merekam suasana mangrove center dari udara. Julien Boluen dari TV5Monde merekam Agus yang sedang duduk di perahu klotok, berpatroli hingga ke kanal-kanal kecil melihat bakau yang ditanamnya.
Konsistensi Agus dan kemudian didukung warga Graha Indah, kini sudah terbayar lunas. (*)